Oleh GPB Suka Arjawa
Kurang dari seratus hari pemilihan umum ini ruang publik di Indonesia penuh dengan berita yang tidak mengenakkan. Ada komentar tentang mantan menteri yang dikabarkan telah melakukan pembohongan utang Indonesia.
Soal seorang figur publik yang disebut-sebut menistakan kitab suci, selebriti yang masuk penjara sampai dengan cucu presiden yang disebut-sebut terlibat dalam kampanye. Termasuk juga mobil Esemka dikomentari mobil bohong-bohongan. Satu lagi adalah tabloid yang dibicarakan telah ikut mengotori ruang politik Indonesia.
Berbagai berita di atas tidak akan menimbulkan penafsiran yang bercabang-cabang apabila terjadi tidak dalam kerangka Pemilu 2019. Akan tetapi, latar politis dari berbagai berita tersebut menjadi demikian kental karena orang awam pun akan paham dengan makna dari berbagai komentar yang muncul dari hal tersebut.
Ditambah dengan berbagai berita bencana alam yang terjadi belakangan ini, maka dapat dikatakan tekanan-tekanan sosial kepada masyarakat cukup tinggi dan mengganggu konsentrasi masyarakat menjelang pemilihan umum mendatang.
Berita-berita tersebut hadir di ruang publik yang berdaya jangkau luas sampai pada ruang privat keluarga di ruang tamu dan ruang tidur. Kalaupun generasi muda sekarang tidak begitu banyak yang suka dengan media elektronik, akan tetapi ruang publik yang digenggamnya juga mempunyai segmen yang juga tidak berbeda.
Ujaran kebencian yang memutus nalar pendidikan politik terlalu banyak yang berseliweran di ruang genggam itu dan juga mengacaukan pemikiran mereka untuk dapat melakukan pilihan secara lebih baik pada bulan April nanti.
Dikaitkan dengan wujud pemilu yang akan datang, fenomena berita di atas sangat bertentangan dan jauh dari harapan masyarakat. Wujud pemilu nanti merupakan yang paling berbeda dari pemilu-pemilu sebelumnya. Bahkan, praktik pemilu nanti, disebut-sebut yang paling berbeda di dunia, kalau dikatakan bukan yang paling aneh.
Seperti yang sudah sering disebutkan, bahwa pemilu nanti akan dipolakan dengan lima pilihan sekaligus, yaitu memilih presiden dan wakil, memilih anggota DPD, DPR pusat, DPRD tingkat satu, dan DPRD tingkat dua. Tentang hal ini, kita dan penyelenggara pun seharusnya hati-hati juga.
Problem yang muncul di sini adalah benturan antara kepercayaan diri penyelenggara dengan pengetahuan masyarakat. Mungkin ada kepercayaan bahwa masyarakat pemilih sudah dipandang paham dengan jumlahnya pilihan yang harus dipilih pada saat pemilu nanti. Padahal, belum tentu juga demikian.
Yang harus dipikirkan adalah hubungan antara sejarah pemilu di Indonesia dengan kelompok pemilih yang berusia di atas 65 tahun. Bahkan, mungkin di atas 60 tahun. Mereka-mereka ini adalah pemilih yang telah mempunyai pengalaman memilih sekitar sepuluh kali sejak tahun 1971.
Semua pola pemilihan pada pemilu-pemilu sebelumnya tidak sekompleks sekarang. Bahkan, sebagian besar pemilu itu memakai satu kertas untuk memilih pilihannya. Maka, dengan pola pemilihan terhadap lima pilihan untuk Pemilu 2019 ini, mereka akan kebingungan.
Hanya untuk mencoblos lima pilihan ini mereka akan kebingungan. Kebingungan yang terjadi di bilik pencoblosan dapat berakibat tidak baik.
Dengan usia ini kepanikan akibat ketidakpahaman tentang pola pemilihan dan pencoblosan, mereka akan serampangan memilih. Ada kemungkinan pilihan seenaknya saja untuk kelima pilihan itu atau sama sekali tidak milih demi mempercepat keluar dari bilik suara.
Apabila ini terjadi, maka kualitas pemilu kita akan tidak baik. Banyak pilihan yang ngawur dan bukan tidak mungkin memengaruhi kualitas legislatif Indonesia secara keseluruhan. Atau hal sebaliknya juga dapat terjadi.
Usia di atas 60 tahun kemungkinan akan memerlukan waktu yang banyak di bilik suara. Kebingungan akan pola pemilihan tersebut akan memungkinkan mereka berlama-lama di bilik suara sehingga menyita waktu bagi pemilih yang lain. Penyitaan waktu ini akan memberikan efek lain yang bisa jadi memengaruhi panitia pemilihan.
Misalnya untuk memperingatkan sang pemilih. Peringatan ini akan berpengaruh secara psikologis yang akhirnya berpengaruh juga pada kualitas pilihan. Dari informasi pelaksana pemilu di daerah didapatkan bahwa dalam sebuah simulai, waktu yang diperlukan untuk menjatuhkan pilihan di bilik suara berentang antara 5 sampai 8 menit.
Bayangkan misalnya jika ada delapan puluh orang lansia saja yang molor satu menit di bilik suara dalam menjatuhkan pilihnya, akan mempunyai risiko beranting di tempat pemungutan suara. Salah satu risiko adalah perlewatan batas akhir pencoblosan yang jam satu siang itu.
Persoalan lain yang harus diperhatikan adalah kertas suara dan nama kontestan. Sebagian pemilih berusia lanjut kemungkinan besar akan terkejut manakala membuka dan melihat satu kertas suara yang panjangnya mendekati satu meter.
Banyaknya partai politik dan jumlah calon anggota legislatif membuat kertas suara mempunyai panjang hampir sebesar halaman koran. Bagi mereka yang memaknai pemilu ini sebagai sebuah ‘’wisata’’ akan menikmati ragam kertas suara yang selebar kertas koran ini.
Akan tetapi, bagi mereka yang tidak mempunyai pemaknaan demikian, kertas suara ini justru akan membikin ribet suasana. Belum pernah dalam sejarah kepemiluan di Indonesia, kertas suara yang dipakai selebar itu. Apalagi kemudian tidak ada foto calon legislatif. Bagi pemilih yang kurang hafal dengan nama pilihannya, pasti akan memicu pemborosan waktu untuk mencari-cari nama tersebut.
Untuk mereka yang berusia manula, ini merupakan persoalan tersendiri. Apalagi misalnya bagi mereka yang buta huruf atau tertinggal kacamata. Jangan lupa bahwa masih ada pemilih yang buta huruf, sekalipun itu di Bali.
Yang menjadi kekhawatiran besar juga adalah ketidakadaan informasi soal calon. Dalam arti belum tentu setiap pemilih yang ada di Indonesia itu, sudah mengetahui lima calon yang dipilihnya dalam pemilu nanti. Mungkin untuk pilihan presiden, mayoritas sudah mengetahui kandidat dan sudah juga memutuskan pilihannya.
Tetapi dominasi berita yang kebanyakan mengupas soal pasangan presiden dan wakil, membuat calon DPR(D) dan DPD tidak banyak yang diketahui. Itulah berbagai problem yang kira-kira masih menjadi pekerjaan rumah bagi bangsa Indonesian yang menjalankan demokrasi dalam sistem pemerintahannya. Pendapat bahwa menjalankan demokrasi itu berat memang terbukti berkali-kali di Indonesia.
Lalu apa hubungannya dengan ruang dan berita publik yang demikian absurd dan kontradiktif terhadap sistem demokrasi kita seperti yang dikemukakan pada awal di atas?
Dominasi berita negatif, konflik, bohong, hoax dan sejenisnya di media massa menjadi penghalang bagi sosialisasi politik segala ketentuan dan informasi tentang Pemilu 2019 nanti. Maka, media massa cetak maupun elektronik harus sadar bahwa dirinya merupakan agen demokrasi yang paling memegang garda depan.
Harus berani menjamin memuat berita positif dan mendidik dan dalam hal penyelelenggaraan pemilu ini, memberikan kesempatan lebih banyak kepada berita yang mampu memberikan praktik sosialisasi kepada masyarakat. Inilah peran utama mereka sebagai agen pembaru masyarakat.
Penulis, staf pengajar Sosiologi, FISIP Universitas Udayana