Suasana rapat terkait perpanjangan pembahasan revisi Perda RTRWP Bali, di gedung dewan, Jumat (28/12). (BP/dok)

Oleh I G.K. Pudjawan

Sebagai krama Bali yang mengais rezeki dari pariwisata Bali sejak tahun 1969, saya sangat risau dan sedih membaca tinggi bangunan di Bali mau diubah. Denpasar dan beberapa tempat di Bali sangat krodit dan sering macet.

Banyaknya kendaraan yang berseliweran di Bali tentunya akibat dampak positif dari pariwisata, karena para pelaku pariwisata sanggup membeli kendaraan roda empat, kadang-kadang lebih dari satu kendaraan.

Dampak pariwisata Bali sekarang ini memang sangat luar biasa, tidak saja dampak positifnya, demikian juga dampak negatifnya. Dibandingkan dengan pariwisata Bali di tahun 70-an tidak bisa dimungkiri bahwa kemajuan pariwisata Bali sekarang ini benar-benar maju, tentunya belum merata bagi masyarakat Bali.

‘’Kagiat kadi sinambering kilat’’, saya terkejut sekali seperti disambar kilat membaca Bali Post yang isinya para wakil rakyat merencanakan mengubah ketinggian bangunan di Bali. Mohon maaf dan dengan segala hormat kalau saya berpendapat bahwa bapak-bapak ini tidak salah tetapi ignorance, tidak ngeh.

Baca juga:  Haluan Pembangunan Bali 100 Tahun Dipasupati

Kebanyakan wisatawan asing yang sudah mengunjungi banyak negara, memberi tahu saya supaya ikut menjaga Bali walaupun saya hanya seorang tourist guide. Mereka-mereka itu sangat terkesan melihat sendiri bagaimana perilaku orang Bali pada umumnya.

Wisatawan asing itu memang benar-benar menyukai budaya Bali dan menginginkan orang Bali tetap menjaga budayanya. Selain itu, mereka mengagumi bangunan Bali yang bernuansa Bali, ditambah lagi pohon-pohon yang rindang.

Secara pribadi saya mengalami sendiri ketika saya mengunjungi negara lain yang kebanyakan saya kunjungi lebih dari dua kali, kecuali Amerika. Ketika mereka tahu saya dari Bali, muka mereka berubah menjadi senang dan mereka menceritakan kesan yang baik yang mereka alami selama kunjungan mereka di Bali. Dan hampir semua dari mereka ingin kembali mengunjungi Pulau Bali.

Baca juga:  “Sugihan Anak Jawa”

Pengalaman saya yang lain, ketika saya pergi ke Eropa bersama istri dan anak laki-laki saya dengan kapal pesiar yang bernama Oceana. Saya terkejut dan kagum melihat dan mendengar bahwa 75 orang Bali bekerja di kapal pesiar tersebut. Mereka-mereka yang bekerja di kapal pesiar tersebut juga heran karena tumben ada orang Bali naik kapal pesiar di tempat mereka berkerja.

Memang saya menyadari ada kekurangan dari pariwisata kita di Bali, tetapi wisatawan asing tetap memiliki minat yang tinggi untuk berkunjung ke Bali. Dari kekurangan pariwisata Bali yang nampak jelas di mata kita adalah air sungai yang tidak bersih di beberapa tempat, sampah plastik yang menggunung di mana-mana namum sudah mendapat perhatian serius dari semua pihak, sampai-sampai ada wisatawan asing yang berminat membantu. Ditambah lagi jalan-jalan yang telah ada dan sering macet, perlu ditambah atau diperlebar.

Baca juga:  Punya Tiga Amunisi Ini, Pelaku Pariwisata Percaya Diri “Open Border”

Tulisan saya ini sama sekali tidak dimaksudkan untuk mengajar ikan berenang, tetapi saya tidak bisa membayangkan kalau gedung-gedung yang tinggi bertebaran di mana-mana di Pulau Bali yang kita cintai. Belum lagi pemodal dari luar Bali ikut melakukan hal yang sama, bagaimana akan jadinya Bali ini.

Pulau Bali dari dulu diminati orang luar, malah konon kabarnya Bali mau dibeli pedagang luar. Kesimpulan saya adalah, bagi Bali it is not the size of the dog in the fight, but the size of the fight (in the dog), yang artinya kita mengedepankan kualitas bukan kuantitas.

Penulis, praktisi pariwisata Bali

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *