JAKARTA, BALIPOST.com – Secara geografis, Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang memiliki banyak gunung yang masih berstatus aktif dan bisa meletus atau mengalami erupsi kapan saja. Kondisi ini membuat Indonesia juga menjadi wilayah rawan terdampak letusan gunung api terutama bagi masyarakat yang tinggal di sekitarnya.
Untuk mendeteksi dini letusan dan dampak antisipasi abu vulkanik yang dihasilkan gunung api terhadap penerbangan, Ditjen Perhubungan Udara Kemenhub mengintensifkan pemantauan perkembangan pengaruh sebaran abu vulkanik dari gunung api yang mengalami erupsi terkait dengan sektor penerbangan.
Dirjen Perhubungan Udara Polana B. Pramesti di Jakarta, Rabu (6/2) mengatakan, pemantauan dilakukan dengan menggunakan sistem informasi Integrated Webbased Aeronautical Information System Handling (I-WISH) yang dikembangkan oleh Ditjen Perhubungan Udara. Sistem ini diperuntukan untuk koordinasi dan komunikasi dalam pengambilan keputusan bersama khususnya dalam penanganan abu vulkanik. “Dalam sistem ini, stakeholder harus aktif terlibat menyampaikan informasi terkait tugas dan fungsi serta kewenangannya dalam hal penanganan abu vulkanik atau lebih dikenal dengan Collaborative Decision Making (CDM),” ujarnya.
Alur penanganan dampak abu vulkanik dilakukan berdasarkan referensi PM 95 tahun 2018 tentang PKPS 174 tentang Pelayanan Informasi Meteorologi Penerbangan, PM 111 tahun 2018 tentang Pelayanan Informasi Aeronautika, KM 14 tahun 2009 tentang PKPS 170 tentang Peraturan Lalu Lintas Udara, Doc 9766 Handbook On The International Airways Volcano Watch (IAVW).
Dimulai dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) yang melakukan pengamatan aktivitas pra letusan dan letusan gunung berapi, menyampaikan VONA kepada VAAC, MWO, ATS unit terdampak dan instansi terkait apabila diperlukan melalui e-mail. Kemudian Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) dengan melakukan pengamatan kondisi cuaca terus menerus yang mempengaruhi operasi penerbangan dalam wilayah tanggung jawabnya.
Selain itu, mempersiapkan informasi SIGMET dan informasi terkait lainya dalam wilayah tanggung jawabnya memberikan informasi Meteorologi Penerbangan kepada unit ATS. Menyebarkan informasi mengenai aktivitas pra letusan, letusan dan awan abu gunung berapi setiap ada perubahan, setiap 6 jam sekali atau bilamana ada perubahan signifikan kepada Ditjen Hubud (DNP dan KOBU), Airnav (unit ACC, unit kartografi, unit ATFM, NOV), VAAC, unit Penyelenggara Bandar Udara dan Badan Usaha Angkutan Udara.
Satelit Geostationer
Sementara Australian Goverment, Bureau of Meteorology dalam hal ini VAAC Darwin membantu mengawasi satelit geostationer dan polar orbiting. Apabila tersedia data ground based dan data airbone terkait untuk mendeteksi eksistensi dan pelepasan abu gunung api diatmosfer wilayah tersebut.
Mengaktifkan model volcanic ash numerical trajectory untuk memperkirakan pengerakan abu yang terdeteksi, menerbitkan informasi volcanic ash advisory (VAA) dan volcanic ash graphic (VAG) terkait pelepasan dan prakiraan abu gunung berapi yang disampaikan kepada MWO, ACC, FIC pada area yang terkena dampak dan menerbitkan updating permuktahiran informasi sampai abu tidak terindentifkasi setiap 6 jam sekali atau bilamana ada perubahan signifikant.
Terkait hal tersebut, Polana meminta jajarannya untuk secara intensif memantau operasional penerbangan yang bisa terdampak letusan gunung berapi.
Untuk Otoritas Bandar Udara (OBU) harus melakukan koordinasi dengan unit terkait dampak abu vulkanik. Melakukan kajian/telaahan atas data-data dukungan berupa Aerodrome Observation yang disampaikan oleh unit penyelenggara bandar udara, Met Office, airline staff, otoritas lokal da berupa airspace observation yan disampaikan oleh penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan . Menginstruksikan NOF untuk menerbitkan NOTAM sesuai kajian serta mengambil keputusan terhadap dampak abu vulkanik.
Untuk Direktorat Navigasi Penerbangan harus melakukan evaluasi atas pelaporan hasil observasi yang dilakukan oleh OBU serta melakukan pemantauan terhadap penanganan abu vulkanik yang dilakukan masing-masing unit terkait.
Sedangkan Unit Penyelenggara Bandar Udara (UPBU) harus melakukan pengamatan lapangan ( aerodrome observation) dengan menggunakan perangkat paper test, menginformasikan hasil aerodrome observation ke pada pihak terkait.
Khusus untuk maskapai penerbangan, harus membuat Safety Risk Assessment di jalur penerbangan terdeteksi abu vulkanik, membuat kajian Standard Operating Procedure (SOP) pada saat penerbangan di malam hari apabila terindentifikasi melalui jalur wilayah yang terkontaminasi, serta melakukan inspeksi pada pesawat udara dan pelaporan air report. (Nikson/balipost)