Nicolas Maduro. (BP/istimewa)

Oleh I Made Sulaba

Peristiwa politik yang terjadi di Venezuela sekarang adalah masalah klasik. Dari sisi politik, peristiwa itu merupakan perebutan kekuasaan antara kelompok konservatif dengan pembaru di negara tersebut. Dilihat dari ideologis, merupakan upaya perebutan pengaruh antara sosialis dengan demokrasi. Dan aktor-aktor internasional terlibat di sana, Amerika serikat dan sekutunya menghadapi Rusia dan sekutunya.

Strategi untuk memperebutkan pengaruh juga klasik: turun ke jalan dan merangkul militer. Tidak ada yang baru dari peristiwa politik di negara yang pernah kaya karena kaya minyak tersebut jika dikaitkan dengan model pencarian pengaruh pada setelah abad yang lalu.

Nicolas Maduro yang kini memegang jabatan sebagai presiden digoyang oleh kelompok oposisi yang dipimpin oleh Juan Guaido. Maduro merupakan tokoh sosialis, didukung Rusia dan Cina. Sedangkan Guaido adalah tokoh demokrasi yang mendapat dukungan Amerika Serikat dan sekutunya di sebagian negara Eropa.

Maduro masih dapat merangkul militer sedangkan Guaido mendapat dukungan parlemen serta jutaan rakyat yang turun ke jalan berunjuk rasa. Ia sendiri menjabat sebagai ketua parlemen. Konflik antara  penguasa dengan oposan ini berlangsung sejak tahun lalu ketika parlemen tidak mengakui pemilu presiden  dan pelantikan Maduro yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi. Tetapi memanas kurang lebih  sejak tiga minggu terakhir di jalanan kota Caracas, ibu kota Venezuela.

Konflik klasik seperti yang diutarakan di atas, tidak lain dari upaya perebutan pengaruh. Dan seperti yang terjadi sejak zaman kuno, apabila salah satu pihak tidak mampu memenangkan persaingan atau tidak puas dengan keadaan, pasti akan meminta bantuan dari kekuatan asing.

Kekuatan ini pasti dipandang mempunyai pengaruh dan sumber daya yang kuat. Dan itulah posisi Amerika Serikat dan Rusia (Uni Soviet pada masa lalu). Tidak dapat dimungkiri kalau Venezuela masih menyimpan kekayaan minyak yang terpendam, dan itulah yang menjadi salah satu incaran dari Amerika Serikat dan Rusia.

Baca juga:  Menyoal Impor Guru

Akan tetapi tetap ada unsur lain yang menjadi daya tarik asing di sini. Bagi Rusia, keberhasilan menguasai Venezuela akan membuat pengaruhnya di Amerika Latin bertambah besar setelah meredupnya Kuba sepeninggal Fidel Castro. Tentu juga Rusia tidak mau kehilangan muka karena terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat dikabarkan juga sebagai akibat dari “bantuan” Rusia.

Amerika Serikat, sebagai sebuah negara adidaya tidak akan mau kehilangan muka untuk memperdalam pengaruhnya di Amerima Latin setelah berhsil di Argentina dan Brazil. Di sini akan (dan sudah) terlihat bagaimana big data yang konon diugunakan Rusia untuk membantu kemenangan Trump tersebut, tidak akan begitu bermanfaat manakala berkaitan dengan pengaruh kekuasaan. Artinya, mereka yang dibantu akan dapat mengabaikannya setelah kekuasaan itu berhasil diraih.

Jelas juga bagi kedua belah pihak, keberhasilan menanamkan pengaruh di Venezuela, akan mampu mengontrol lautan Atlantik yang sekarang ramai lalu lintas laut maupun angkasa di atasnya. Politik mencari bantuan asing dan bersedia membantu asing itu, tetap hidup di dunia sekarang. Tidak hanya Venezuela yang menjadi model tetapi itu juga terjadi di Irak, Libanon, Yaman, sampai Suriah.

Dalam konteks seperti yang diuraikan di atas, sumber daya ekonomi mungkin menjadi sasaran utama. Akan tetapi, itu hanya salah satu. Pada zaman sekarang, ketika dunia sudah demikian dikuasai banyak informasi dan informasi itu dapat disarikan menjadi data-data yang demikian bermanfaat, maka sumber daya ekonomi itu dapat digeser menjadi upaya memperluas budaya dan nilai. Inilah yang menjadi sumber daya baru yang hendak disebarkan oleh negara-negara luar kepada negara-negara domestik.

Baca juga:  Pertemuan Puan dan Jokowi di MIKTA Tak Singgung Soal Politik

Untuk apa penyebaran nilai dan budaya ini? Pada akhirnya juga bertujuan untuk mendapatkan sumber daya ekonomi. Warga yang terpapar oleh nilai dan budaya dari negara luar, akan secara mudah diperintahkan untuk bergerak dalam bidang apa pun untuk kepentingan nasional negara yang memengaruhi.

Tujuan ekonomi juga akan dilakukan mereka untuk kepentingan ekonomi dari Indonesia harus melihat ini sebagai sebuah kewaspadaan. Terhadap sifatnya yang klasik tersebut, Indonesia mestinya dapat melihat pengalaman Asia Tenggara pada dekade enam puluhan sampai tujuh puluhan pada abad ke-20.

Bagaimanapun, masa itu merupakan masa suram bagi kawasan Asia Tenggara. Kekuatan asing mulai dari Cina, Amerika Serikat, Uni Soviet, sampai dengan Prancis terlibat pada konflik di Asia Tenggara. Vietnam, Kamboja, Laos, sampai dengan Malaysia dan Singapura juga terkena pengaruh itu.

Satu yang menjadi musabab campur tangan itu adalah adanya ketidakstabilan di dalam negeri, baik karena faktor ekonomi dan terutama karena prsaingan para elite politik. Di Vietnam misalnya, kelompok komunis dan demokratik mencoba saling bersaing.

Karena sama-sama tidak mempunyai kekuatan untuk menang, mereka minta bantuan asing. Maka terlibatlah Amerika Serikat, Cina, dan Uni Soviet. Di Korea, bangsa itu bahkan terbagi menjadi dua sampai sekarang.

Sumber daya tinggi yang dimiliki Asia Tenggara dan Asia Timur adalah jalur  pelayaran internasional yang luar biasa strategis dan dengan demikian juga angkasa di atasnya. Selat Malaka, Samudra Indonesia, Samudra Hindia sampai dengan Samudra Pasifik semua terhubung dengan kawasan Asia Tenggara.

Baca juga:  Sukseskan Pengawasan Hajatan Politik, Bawaslu Gandeng MDA Karangasem

Indonesia pun tidak dapat dilepaskan dari pengaruh ini. Kira-kira peristiwa G/30-S yang terjadi pada tahun 1965 merupakan puncak kulminasi dari kekhawatiran akan persaingan antara Amerika Serikat dengan Uni Soviet dan Cina. Ada yang menyebutkan jutaan korban jiwa terjadi di Indonesia pada saat itu, tanpa perang tanpa perlawanan. Sangat mengerikan dan sangat mengecewakan.

Kita jelas tidak menginginkan peristiwa seperti di Venezuela itu terjadi di Indonesia saat ini. Juga tidak menginginkan terjadi berbagai peristiwa mengerikan seperti dekade enam pulahan dan tujuh puluhan di Asia Tenggara. Karena itu, segala perbedaan pendapat yang kini terjadi pada level elite politik dan masyarakat, harus segera diakhiri.

Semua harus sadar bahwa kita di Indonesia ini sedang melihat konflik elita yang cukup panas. Ini sudah berlangsung lama, sejak 2014. Wacana yang muncul di ruang publik banyak dihiasi pertentangan.

Hulunya jelas adalah upaya merebut kekuasaan, upaya merebut pengaruh. Hilirnya yang terlihat di ruang publik adalah wacana yang saling bertolak belakang dan saling serang. Harap diingat, konflik yang diperlihatkan di ruang publik melalui wacana, mengandung tingkat bahaya yang tinggi. Wacana tersebut akan tersampaikan secara menjalar dan ditafsirkan macam-macam secara beranting dan akumulatif. Bayangkan hilir konflik yang terjadi akibat akumulasi penafsiran tersebut. Terakhir, yang kita khawatirkan adalah benturan sosial.

Jadi segeralah bersikap untuk mempersatukan negara ini. Hindari konflik, luruskan wacana, dan  tampilkan wajah bersahabat di ruang publik. Tujuannya agar Indonesia tidak diincar oleh pengaruh luar. Negara kita bersisian langsung dengan Selat Sunda, Selat Malaka, Samudra Hindia. Juga kaya dengan berbagai sumber daya alam.

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *