Oleh Djoko Subinarto
Berbagai risiko teror yang dihadapi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) justru harus membuat KPK semakin tegas dalam menindak para koruptor. Pada saat yang sama, pihak kepolisian dituntut untuk mampu mengungkap setiap tindakan teror terhadap KPK setuntas-tuntasnya.
Baru-baru ini, dua pegawai KPK mengalami penganiyaan tatkala mereka sedang melakukan penyelidikan dugaan kasus korupsi. Lewat rilisnya, Kepala Biro Humas KPK Febri Diansyah menjelaskan bahwa kedua pegawai KPK yang sedang bertugas melakukan pengecekan di lapangan terhadap informasi masyarakat tentang adanya indikasi korupsi telah mendapat tindakan yang tidak pantas dan dianiaya, hingga menyebabkan kerusakan pada bagian tubuh.
Beberapa waktu sebelumnya, kediaman dua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Agus Rahardjo dan Laode M. Syarif, sempat mendapatkan teror dari orang-orang tak dikenal. Seperti luas diberitakan berbagai media, ditemukan sebuah bom pipa palsu yang ditempatkan di kediaman Ketua KPK Agus Rahardjo di kawasan Perumahan Graha Indah, Bekasi. Pada saat yang hampir bersamaan, ditemukan pula botol berisi spiritus dan sumbu api di tempat Wakil Ketua KPK Laode M. Syarif di kawasan Kalibata, Jakarta Selatan.
Teror tentu bukan hal baru bagi mereka yang bekerja di KPK. Teror adalah bagian dari risiko pekerjaan KPK. Sebagai lembaga yang bertugas memerangi korupsi, KPK pasti bakal selalu menghadapi berbagai perlawanan dari kelompok yang paling terancam dengan keberadaan lembaga ini, yakni para koruptor. Maka, teror terhadap personel KPK mungkin dapat kita baca sebagai bentuk perlawanan dari kaum koruptor.
Menilik sejarah, pendirian KPK tidak dapat dipisahkan dari semangat reformasi dan keinginan besar bangsa ini untuk menyelamatkan roh demokrasi. Pasalnya, sudah sejak lama sebagian pejabat dan wakil rakyat kita yang terpilih lewat mekanisme pemilu selalu lebih condong menyuarakan, memikirkan, dan memperjuangkan kepentingan pribadi dan kelompok mereka lewat cara-cara yang korup. Buntutnya, negara kita pun menjelma sebagai salah satu negara paling korup di dunia. Virus korupsi pun merajalela menyusup dalam sendi kehiduapan berbangsa dan bernegara kita.
Selain menurunkan tingkat pertumbuhan ekonomi, korupsi merongrong fondasi tata kelola pemerintahan yang baik. Karenanya, dalam konteks penyelenggaraan kehidupan bernegara di negeri ini, jangan heran pula kalau sebagian kalangan kini lebih suka memelesetkan konsep trias politika yang kita anut menjadi trias koruptika lantaran kinerja yang semakin buruk yang ditampilkan oleh ketiga cabang kekuasaan negara yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Hasilnya, mesin demokrasi yang kita jalankan menjadi identik dengan transaksi kepentingan jangka pendek dan bukan proses jangka panjang yang menyejahterakan dan membahagiakan rakyat.
Tatkala praktik demokrasi ujungnya hanya membawa perubahan besar kepada segelintir masyarakat, bisa jadi yang sesungguhnya terjadi adalah praktik kleptokrasi. Kasarnya, kleptokrasi adalah kekuasaan berada di tangan para pencuri. Dengan demikian, para pencurilah yang menguasai negara. Ciri menonjol kleptokrasi adalah maraknya praktik korupsi yang dilakukan secara terorganisasi dan sistematis. Praktik korupsi ini dilakukan terutama oleh para pejabat negara, aparat birokrasi, dan anggota parlemen.
Dalam hal berdirinya KPK, sudah barang tentu, kelompok kleptokratlah yang paling terancam oleh keberadaan lembaga ini. Karenanya, setiap ada peluang sekecil apa pun bakal mereka pergunakan untuk melemahkan dan — jika mungkin — melenyapkan KPK. Sejauh ini, KPK memang menjadi lembaga yang paling menonjol dalam pemberantasan korupsi di negeri ini. Publik pun jauh lebih memercayai KPK ketimbang lembaga-lembaga lainnya. Survei Indo Barometer belum lama ini menempatkan KPK sebagai lembaga yang memiliki tingkat kepercayaan publik paling tinggi, yaitu 82 persen.
Mantan Penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abdullah Hehamahua dalam sejumlah kesempatan menyebut bahwa para koruptor memiliki tiga kekuatan yakni uang, geng, dan senjata. Dengan demikian, koruptor dapat menggunakan salah satu atau ketiga kekuatan tersebut untuk menyerang KPK atau siapa pun yang mengancam maupun mengganggu kepentingan para koruptor.
Publik tentu saja mendorong KPK tetap konsisten dalam pemberantasan dan penangkalan korupsi. Risiko teror justru harus membuat KPK semakin tegas dalam menindak para koruptor. Ingat, seperti juga terorisme, korupsi adalah kejahatan luar biasa, yang perlu dilawan dengan cara-cara yang luar biasa pula.
Di sisi lain, publik juga perlu terus mendorong pihak kepolisian untuk mengungkap setuntas-tuntasnya berbagai teror yang dilakukan terhadap para personel KPK. Sejauh ini, pihak kepolisian kita senantiasa dapat dengan mudah dan cepat dalam mengungkap kasus-kasus kejahatan lainnya.
Namun, entah mengapa, dalam soal teror terhadap KPK, publik melihat pihak kepolisian seperti kesulitan dalam mengungkapnya. Ambil contoh, misalnya, pada kasus Novel Baswedan. Jangankan membekuk dalangnya, untuk mengetahui siapa pelaku penyerangan terhadap Novel Baswedan saja hingga kini masih gelap.
Tentu saja, sangat penting bagi kepolisian untuk mampu membongkar setiap kasus teror yang ditujukan kepada para personel KPK. Ini agar publik tidak memiliki persepsi buruk ikhwal adanya tebang pilih dalam soal penegakan hukum di negeri ini.
Penulis adalah kolumnis dan blogger