Oleh Juandi Manullang
Pada tahun politik ini, kabar bohong atau hoax boleh jadi akan berembus semakin kencang menerpa masyarakat. Namun, ada cara yang baik untuk meredamnya yaitu diimbau masyarakat lebih kritis dan aktif mencari sebuah kebenaran berita agar tidak cepat terhasut atau terprovokasi oleh berita hoax tersebut.
Baru-baru ini, kita juga diterpa hoax mengenai tujuh kontainer berisi surat suara yang telah dicoblos di Tanjung Priok. Masih teringat pula dengan jelas, hoax yang dilakukan Ratna Sarumpaet pada waktu yang lalu.
Fenomena itu menjadikan buruknya proses demokrasi kita saat ini. Hoax menghancurkan demokrasi dengan memanipulasi pikiran rakyat untuk mempercayai berita yang tidak jelas kebenarannya.
Gampangnya masyarakat percaya terhadap hoax yang disebarkan dari media sosial tersebut membuktikan bahwa masih banyak masyarakat yang lemah terhadap literasi digital. Oleh sebab itu, penguatan pemahaman menggunakan literasi digital menjadi lumrah disebarluaskan. Apalagi Sabtu ini, insan pers merayakan Hari Pers Nasional (HPN).
Pasalnya, hoax sekarang banyak beredar di media sosial, sehingga masyarakat diimbau untuk bijak menggunakan media sosial tersebut. Masyarakat diimbau tidak terpolarisasi oleh maraknya peredaran hoax di media sosial.
Harus mampu berpikir kritis dalam menyerap sari-sari informasi yang beredar di media sosial. Bagi masyarakat akar rumput pun yang paling rentan terdampak berita hoax, seharusnya semakin dicerdaskan dengan literasi digital itu agar hoax mampu untuk diredam.
Menyebarluaskan Literasi Digital
Dalam kehidupan saat ini, terutama pada tahun politik sekarang, menyebarluaskan literasi digital adalah cara jitu meredam hoax di media sosial. Literasi digital itu dapat dijelaskan arti, maksud, dan tujuannya kepada masyarakat melalui seminar-seminar, sekolah maupun universitas dan di media sosial juga. Melalui cara-cara itu, masyarakat menjadi tahu apa itu literasi digital dan maksud serta tujuannya.
Menurut Staf Ahli Menteri Komunikasi dan Informatika sekaligus Guru Besar Ilmu Komunikasi Universitas Airlangga Surabaya, Henri Subiakto, literasi digital ialah sikap dan kemampuan seseorang memanfaatkan teknologi digital untuk mengakses, menganalisis, dan mengevaluasi informasi. Karena penegakan hukum itu ada di hilir. Hulunya ialah pencegahan melalui literasi digital. Selain hukum, perlu ada pendekatan budaya melalui literasi digital kepada masyarakat.
Selain itu, masyarakat juga seharusnya mampu untuk kritis dalam membaca setiap informasi yang beredar di media sosial. Sebagai contoh, setelah masyarakat membaca sebuah informasi dari berita yang beredar di media sosial, langkah yang harus diambil adalah masyarakat mencari kebenaran informasi tersebut dari berita yang terpercaya keakuratannya dan media yang telah dikenal oleh khalayak ramai dan terdaftar dalam Dewan Pers. Cara itu sangat relevan untuk meredam penyebaran hoax.
Masyarakat jangan cepat percaya terhadap setiap berita yang beredar di media sosial dan cepat menyebarkan berita kepada masyarakat lainnya tanpa mencari kebenaran yang sebenarnya. Dengan membiasakan diri cepat menyebarkan berita yang belum pasti, maka yang terjadi akan terjadi tindak kriminal di dunia maya (cyber crime), sehingga terjadilah penindakan oleh pihak kepolisian atas pelanggaran Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Oleh karenanya, sekali lagi, masyarakat harus kritis dan mencari kebenaran informasi terlebih dahulu. Tak perlu gampang untuk menyebarkan sebuah berita. Andalkan kecerdasan dan kekritisan berpikir demi menciptakan kekondusifan kehidupan menjelang pesta demokrasi 2019 ini. Selanjutnya, penting pula peran masyarakat secara masif dalam memberikan edukasi mengenai literasi digital ini. Perlu saling berbagi informasi penting seputar literasi digital ini sampai ke akar rumput.
Antarmasyarakat ke masyarakat lainnya perlu saling berinteraksi dan belajar bersama bagaimana memaknai literasi digital dengan baik. Hal-hal apa yang harus dilakukan dalam media sosial dan cara-cara dalam memaknai informasi yang beredar di media sosial. Saat ini, fenomena menjungkirbalikkan kebenaran dalam tahun politik semakin sering terjadi. Matinya kepakaran seperti ditulis Tom Nichols dalam buku ‘’The Death of Expertise’’ (2017) telah terjadi fenomena global. Literasi instan di media sosial menjadi pilihan masyarakat yang lemah tradisi membaca.
Dalam hal ini, memang masyarakat lebih menyukai membaca berita yang beredar di media sosial dan malas dalam mencari kevalidan informasi yang sebenarnya. Sulit untuk mengkaji kebenaran informasi yang beredar. Oleh karenanya, pantas bila dikatakan masyarakat sekarang lebih suka informasi yang instan, tidak mau capek mencari informasi yang benar.
Berawal dari itulah, mengapa kita terus dihajar dengan peredaran berita hoax. Hal itu karena masyarakat banyak yang menyukai informasi instan tadi. Maka, tugas kita juga untuk berdiskusi dan saling mengajari masyarakat untuk lebih bijak bermedia sosial dan mengembangkan literasi digital.
Berkaitan dengan itu juga, partai politik juga diimbau dalam mengarungi tahun politik ini untuk lebih waspada dan sanggup membendung potensi hoax. Ikut dalam menciptakan kekondusifan kontestasi politik ini. Sadar pula para politisi untuk menahan diri dalam menyebarkan berita yang berujung hoax dan fitnah.
Penulis adalah Alumnus Universitas Katolik Santo Thomas Sumatera Utara dan penulis lepas tinggal di Medan