Suasana rapat terkait perpanjangan pembahasan revisi Perda RTRWP Bali, di gedung dewan, Jumat (28/12). (BP/dok)

Oleh Agung Kresna

Tarik-ulur masih saja berlangsung dalam upaya revisi Peraturan Daerah (Perda) Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Bali Nomor 16 Tahun 2009. Kali ini giliran para kepala daerah di tingkat kabupaten/kota menyuarakan aspirasi wilayahnya dalam roadshow Pansus DPRD Bali yang membahas revisi perda tersebut.

Masing-masing kepala daerah memiliki cara pandang yang berbeda dalam menyikapi revisi (utamanya terkait ketinggian bangunan) di wilayah masing-masing. Setiap bupati/wali kota memang memiliki hak dan kewenangan dalam menata ruang dan bangunan di wilayah masing-masing.

Era otonomi daerah di Indonesia yang bergulir sejak 2004, secara signifikan telah mengubah paradigma pengelolaan pembangunan. Otonomi daerah di Indonesia diputuskan diletakkan di kabupaten/kota.

Kewenangan politik pembangunan yang sebelumnya cukup besar dan terpusat di Jakarta, menjadi tersebar di seluruh pelosok Indonesia. Tersebar di 415 kabupaten, satu kabupaten administrasi, 93 kota, dan  lima kota administrasi. Pemerintah provinsi sekadar menjadi penghubung pemerintah pusat dengan kabupaten/kota.

Perubahan ketentuan tentang ketinggian bangunan (yang biasanya dirumuskan dalam Koefisien Luas Bangunan/Floor Area Ratio), memang menjadi hal krusial dalam revisi kali ini. Hal ini mengingat bahwa perubahan ketentuan KLB secara tidak langsung akan memberi dampak cukup signifikan terhadap kemampuan daya dukung suatu lingkungan/kawasan. Sehingga para bupati/wali kota merasa bertanggung jawab dalam menjaga perubahan beban yang akan terjadi di wilayahnya sesuai kondisi masing-masing.

Ketentuan tinggi bangunan di Bali, secara yuridis (seperti tersebut dalam penjelasan pasal) pasal Perda RTRWP Bali dikenai ketentuan setinggi-tingginya 15 meter atau empat lantai, kecuali untuk bangunan yang secara teknis dan berdasarkan peraturan perundang-undangan mutlak memerlukan ketinggian di atas 15 meter. Sementara secara adat dan budaya yang bernapaskan Hindu, Bhisama Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) menyatakan ketinggian bangunan dibatasi 15 meter.

Baca juga:  Desa Adat Hanya Terima "Tuyuh"-nya

Daya Dukung Lingkungan

Sementara dengan perkembangan pembangunan yang ada, ada usulan ketinggian bangunan sekolah, rumah sakit dan kantor pemerintah bisa di kisaran 25-30 meter. Dalam hal ini sebaiknya memang kita tidak sembarangan melakukan perubahan ketentuan tentang ketinggian bangunan, tanpa melalui kajian yang mendalam dari para ahli.

Adanya ketentuan sebagaimana tercantum dalam Perda RTRWP Bali, tentu dahulu disusun berdasar pertimbangan analisis yang matang dari para ahli, sesuai daya dukung lingkungan sosial, ekonomi dan budaya. Tidak ada salahnya jika kita belajar dari daerah lain dalam menata ketinggian bangunan.

Kota Paris justru membatasi ketinggian bangunan maksimum hanya empat lantai di pusat kota. Ketinggian bangunan lebih dari empat lantai tetap diizinkan di kawasan jauh dari pusat kota, dengan alasan perlindungan bangunan cagar budaya yang banyak bertebaran di pusat kota, serta keterbatasan kapasitas daya dukungan lingkungannya.

Sementara Kota Yogyakarta memberlakukan pembatasan ketinggian bangunan pada kawasan Jalan Malioboro yang dianggap sebagai area sumbu filosofi Kota Yogyakarta. Pembatasan ketinggian dilakukan dengan cara menarik garis langit (skyline) bersudut 45 derajat dari as jalan ke arah kanan dan kiri jalur jalan, sebagai batas ketinggian bangunan.

Baca juga:  Kelelahan Fisik Akibat WFH, Dampak Ikutan Pandemi COVID-19

Sedang kawasan Jeron Beteng yang merupakan area Kraton Yogyakarta memberlakukan ketinggian bangunan maksimal dua lantai, dengan dasar filosofi ketinggian bangunan tidak boleh melebihi ketinggian bangunan Cepuri Kraton Yogyakarta.

Sekarang bagaimana dengan pembatasan ketinggian bangunan di Pulau Bali? Realitas kondisi Pulau Bali yang kental dengan adat, budaya dan tradisi religi Hindu, sudah selayaknya jika menggunakan zonasi ketinggian bangunan berdasarkan keberadaan cagar budaya/bangunan suci Hindu dan tata ruang kota/wilayah kosmologi Hindu dalam menata ketinggian bangunan di seantero Pulau Bali. Dengan berpegang pada filosofi keseimbangan Tri Hita Karana.

Keberadaan suatu cagar budaya/bangunan suci Hindu menjadi dasar menata zonasi ketinggian bangunan dengan berpedoman pada zonasi yang ada pada bangunan tersebut. Ketinggian bangunan dapat ditentukan sesuai keberadaannya di zona penyangga, pengembangan atau penunjang dari suatu situs/kawasan/bangunan suci Hindu.

Filosofi tatanan zonasi suatu bangunan suci Hindu dapat menjadi panduan dalam menata ketinggian bangunan sekitar, agar bangunan suci tersebut semakin terlindungi kesuciannya. Sementara itu, ketinggian bangunan di suatu kabupaten/kota dapat diatur sejalan dengan kebijakan otonomi daerah yang dimilikinya.

Masing-masing kabupaten/kota melalui RTRW kabupaten/kota dapat mengatur ketinggian bangunan yang ada di wilayahnya sesuai kapasitas daya dukung lingkungan (alam, sosial, budaya, dan ekonomi) yang dimiliknya. Sehingga diharapkan setiap kabupaten/kota akan mampu menjaga tata ruang wilayahnya, demi kepentingan ekonomi tanpa mengorbankan kelestarian lingkungan Bali dalam jangka panjang.

Baca juga:  Tugas Lain yang Juga Melekat pada Politisi

Di sisi yang lain, tata ruang kota/wilayah yang sesuai kosmologi Hindu juga dapat menjadi batasan dalam menata ketinggian bangunan di Pulau Bali. Pada kawasan Catus Patha sebagai suatu Pempatan Agung suatu kota berkosmologi Hindu, ketinggian bangunan dapat dibatasi dengan menggunakan pola skyline agar aura dari Catus Patha tidak menjadi hilang/tenggelam akibat kehadiran bangunan baru di sekitarnya.

Jika pola skyline ini diterapkan dalam menata ketinggian bangunan di seluruh pelosok Pulau Bali, niscaya akan terbentuk suatu pusaka saujana yang indah dengan tetap terkandung aura budaya dan tradisi Bali serta sekaligus merupakan refleksi hubungan antara manusia dengan budaya dan lingkungan alamnya dalam satu kesatuan ruang dan waktu yang luas.

Pada akhirnya dengan menata ketinggian bangunan sesuai otonomi daerah dengan berbalut filosofi kosmologi Hindu, akan semakin meneguhkan identitas Bali dalam tata ruang kota/wilayahnya. Identitas adat-budaya dan tradisi Bali akan semakin melekat dalam degup pembangunan yang sedang berlangsung di seantero Pulau Bali. Krama Bali akan kian bangga dengan jati diri Bali yang mereka miliki dan tetap lestari melekat dalam keseharian kehidupan sosial, ekonomi dan budaya krama Bali seiring filosofi Tri Hita Karana.

Penulis, arsitek, Senior Researcher pada Centre of Culture & Urban Studies (CoCUS) Bali, tinggal di Denpasar.

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *