Seorang pengendara motor melintas di depan RTH Sukasada. (BP/mud)

Keinginan untuk meningkatkan PAD dengan mengoptimalkan pemanfaatan ruang terbuka sah-sah saja. Akan salah besar jika keinginan itu didomplengi kepentingan investor untuk meraih untung besar dari nama besar Bali.

UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang secara tegas menyebutkan 30 persen dari daerah aliran sungai (DAS) harus berupa tutupan hutan. Sedangkan di perkotaan, 30 persen berbentuk ruang terbuka hijau.

Persoalan kini tinggal pada kepatuhan terhadap aturan yang telah dibuat serta penegakan hukumnya. Sebab, aturan tata ruang juga telah memberikan sanksi administrasi ataupun pidana bagi pelanggaran yang dilakukan.

Harus diakui faktor utama yang mengakibatkan rusaknya RTRW Bali akibat peran penguasa yang berlebihan mengeksploitasi Bali. Visi dan misi yang semestinya menjadi acuan kerja penguasa di Bali hanya macan kertas tanpa makna.

Tata ruang yang seharusnya menjadi landasan pertama untuk mencegah kerusakan dan bencana alam tidak diimplementasikan dengan baik. Membangun tanpa merusak tata ruang Bali dan tetap memperhatikan arsitektur Bali memang sangat ideal.

Persoalannya, mampukah itu dilaksanakan sehingga Bali tetap ajeg? Untuk mewujudkan Bali yang ajeg, perlu perjuangan dan kerja keras semua pihak untuk melawan investor rakus. Lemahnya implementasi Perda Tata Ruang disebabkan beberapa hal. Sistem manajemen yang lemah.

Baca juga:  Bersama Menuju Harapan Baru

Seperti yang sering diungkapkan, Bali dikunjungi turis karena budaya, alam dan keaslian Bali. Bali harus memiliki ciri khas Bali agar tak ditinggalkan wisatawan. Bali terlalu kecil untuk dipadati ruko. Luasnya yang 5.632,86 km2 atau 0,29 persen dari luas Kepulauan Indonesia, kini Bali makin berkembang terutama sebagai pusat pariwisata.

Selain tata ruang, kini muncul lagi soal rencana revisi ketinggian bangunan. Persolana tersebut masih jadi perdebatan. Para bupati di Bali, menanggapi beragam. Ada yang setuju atau pula yang tak setuju ketinggian bangunan diubah. Mereka yang setuju lebih menitikkan pada perubahan ketinggian bangunan untuk rumah sakit dan sekolah.

Namun kalangan agamawan sebagian besar menolak. Walaupun penerapannya terbatas atau di zona tertentu. Alasannya, ketinggian bangunan melebihi 15 meter akan membuka pintu kehancuran buat Bali, dan indikasi runtuhnya pondasi terakhir masyarakat menjaga Bali. Sebab wisatawan ke Bali untuk merasakan taksu Bali dari budayanya yang lestari.

Baca juga:  Dorong, Peran Sektor Pertanian

Selain itu, jika terjadi kelonggaran untuk fasilitas umum seperti sekolah dan rumah sakit, tidak menutup kemungkinan ke depan kelonggaran akan diberikan kepada hotel atau tempat hunian. Ketika itu, alasannya juga sama, untuk menekan alih fungsi lahan. Seperti patok jalur hijau yang setiap saat bisa berubah. Tergantung kepentingan pemilik modal. Oleh karena itu, kita mesti tetap mengacu pada Perda yang mensyaratkan ketinggian bangunan maksimal 15 meter. Sebab ini salah satu yang bisa menjamin Bali bertahan seperti sekarang hingga 100 tahun lagi.

Untuk itu, wacana ini mesti disikapi dan dikaji secara matang. Pijakannya, apakah kebijakan itu menguntungkan masyarakat Bali? Ataukah kebijakan itu hanya sebagai jalan masuk bagi para investor yang ingin mengeruk keuntungan material sebesar-besarnya di Bali, dengan mengorbankan kepentingan masyarakat Bali yang lebih besar.

Sebab, Perda tentang ketinggian bangunan yang diberlakukan saat ini sejatinya telah memberikan nilai kearifan lokal yang mampu memberikan nilai lebih bagi kelestarian budaya Bali. Generasi pendahulu Bali yang memformulasikan kebijakan itu tentunya sudah memiliki pertimbangan yang sangat matang mengapa bangunan di Bali tidak boleh lebih tinggi dari 15 meter. Tentu dalam rangka memproteksi Bali.

Baca juga:  Semakin Diminati Investor, Penjualan ORI023 di BRI Naik Hingga 2 Kali Lipat

Untuk itu para pengambil keputusan di Bali sekarang, jangan berpikir pragmatis dan hanya berorientasi kepada kepentingan material. Keunggulan kultural yang digagas para panglingsir Bali jangan diubah dengan konsep yang tidak jelas. Terlebih apa yang diwariskan selama ini telah diakui mampu memikat hati para wisatawan.

Jangan sampai kita mengusung konsep pariwisata budaya hanya di mulut saja. Pola pengembangan pariwisata yang mengusung konsep pariwisata budaya tentu saja tidak akan nyambung jika mentoleransi pendirian bangunan yang menjulang tinggi yang justru merusak keindahan alam dan nilai religius Bali itu sendiri. Konsep yang diusulkan ini justru sangat potensial merugikan Bali dalam segala hal, termasuk melemahkan identitas Bali yang mengusung konsep Tri Hita Karana.

BAGIKAN

1 KOMENTAR

  1. Jangan terburu-buru menuduh para investor tsb rakus. Mereka tidak rakus, tapi cerdik membaca peluang. Yang rakus itu adalah para pejabat yg telah memberikan ijin kepada para investor, dengan mengendorkan pengawasan yg menjadi wewenangnya.sehingga cenderung melanggar aturan yang ada, menjadikan aturan laksana macan kertas tanpa makna tadi. Siapa pejabat yg tidak tergiur oleh kompensasi yg ditawarkan para investor di tengah gejolak kemewahan yg kian masif dipertontonkan di Bali, baik oleh pendatang maupun penduduk asli Bali. Mereka berlomba menunjukkan harta benda, properti, liburan mewah, pesta besar-besaran, ngaben dengan biaya fantastis,pernikahan “wah” buat anaknya dsb. Untuk ikut berada pada posisi ini, tentu tidak cukup dengan mengandalkan dari gaji semata. Apakah dengan godaan seperti ini, masih juga melihat “perarem”? Bapak tinggal jawab sendiri he..he..he…

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *