Bali mengusung pariwisata budaya. Begitu latah terdengar ungkapan ini saat menyinggung masalah pariwisata Bali. Tetapi, apakah yang sudah didapat budaya Bali dari pariwisata yang berkembang pesat di daerah ini. Sejauh mana perhatian terhadap budaya Bali yang telah “dijual” untuk konsumsi pariwisata? Jawabnya terkadang sangat abstrak, bahkan terkadang absurd.
Jika memang mengembangkan pariwisata budaya, maka pastilah yang diutamakan kualitas, bukan kuantitas. Namun fakta di lapangan, jumlah sepertinya lebih gampang untuk dihitung dan dijadikan target. Maka, target kunjungan pun terus ditingkatkan dan digenjot tanpa lagi memperhitungkan kualitas.
Potret digital ada wisatawan mancanegara yang mengais-ngais dan mengorek tong sampah untuk bisa makan di sini pun mencuat ke media sosial. Belum lagi wisatawan yang seenaknya masuk pura dan duduk pongah di palinggih pura.
Terakhir, patung Catur Muka pun dirusak salah satu wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Pulau Seribu Pura ini. Belum termasuk para pemasok narkoba dan pembobol ATM yang berkedok menjadi wisatawan.
Rekam digital ini menggambarkan betapa Bali kini lebih mengejar jumlah daripada kualitas. Maka ditargetlah sekian juta wisatawan mancanegara yang harus didatangkan tiap tahunnya.
Salah satunya dari negeri Tiongkok yang ternyata juga ada jaringan “Triad” di baliknya. Sampai sejauh itu, belum ada target yang ditetapkan harus dicapai untuk budaya Bali sebagai komoditi yang dijual untuk pariwisata. Barulah belakangan muncul ide atau wacana perlunya sumbangan untuk budaya Bali dari mereka yang berkunjung ke Pulau Dewata ini.
Pungutan atau sumbangan apalah namanya yang dikenakan kepada wisatawan yang berkunjung ke Bali, hendaklah benar-benar diperuntukkan bagi pelestarian, pemeliharaan dan pengembangan kebudayaan Bali. Terserah bagaimana mekanisme pemungutannya, manajemen pengelolaannya, yang penting memang benar-benar untuk pelestarian, pemeliharaan dan pengembangan budaya Bali.
Sumbangan yang terkumpul pemanfaatannya agar benar-benar mencapai sasaran sesuai tujuan mulia pungutan itu dilakukan. Kasus-kasus di masa lalu yang menimpa Pajak Hotel dan Restoran (PHR) seperti mengendap di pihak-pihak yang ditugasi/dititipi memungut, jangan sampai terjadi lagi.
Termasuk, penyalahgunaan pemanfaatan sumbangan para wisatawan tersebut. Jangan sampai muncul kasus dana sumbangan itu dipakai untuk pengadaan/membeli mobil dinas seperti dulu.
Untuk mencegah dan menjaga jangan sampai hal ini terjadi pada sumbangan untuk budaya Bali ini, pengelolaannya haruslah transparan. Di era digital seperti sekarang, hal ini bisa dengan menerapkan sistem online.
Untuk mencegah penyimpangan, penyalahgunaan maupun kebocoran dan sejenisnya, pihak terkait (stakeholder) harus bekerja sama dengan pengawas independen dan kredibel. Bila perlu, melibatkan pihak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Tim Saber Pungli. Bila ini dapat terlaksana dengan baik, niscaya pelestarian, pemeliharaan, penguatan dan pengembangan budaya Bali akan tercapai sesuai tujuan yang diinginkan.
Budaya Bali yang tetap lestari, terjaga dan terpelihara dengan baik serta terus berkembang, merupakan aset bagi pariwisata. Pariwisata budaya yang diusung Bali pun benar-benar terimplementasikan dan terealisasi seperti yang selalu didengungkan.
Tidak lagi sebatas slogan, yang dalam pelaksanaannya malah menonjolkan mass tourism dengan target jumlah kunjungan semata. Saatnya kembali pada pariwisata budaya yang sesungguhnya dengan memasang target seberapa besar sumbangan yang bisa diberikan pariwisata pada budaya Bali.