Patung Catur Muka yang merupakan ikon Kota Denpasar. (BP/wan)

Oleh Putu Rumawan Salain

Dua kata penting dalam tullisan ini adalah heritage dan kebudayaan. Selanjutnya dikaji bagaimana peran, fungsi, dan makna heritage pada kebudayaan dengan wadah objek kajian di Kota Denpasar. Kajian singkat ini didedikasikan bagi Kotaku-Rumahku Denpasar yang akan memperingati hari jadinya yang ke-231 pada 27 Februari tahun 2019.

Bila Kota Denpasar dipandang sebagai kanvas lukisan maka tidak berlebihan jika dikatakan bahwa ruang kanvas tersebut semakin tidak menyisakan kekosongan, dipenuhi oleh beragam perwajahan berupa fungsi dengan pertumbuhan penduduk yang memadatinya, sehingga menyisakan berbagai persoalan. Kini, kita harus melihat lukisan tersebut, masihkah dijumpai warisan masa lalu, atau karya-karya adiluhung sebagai identitas zamannya?

Dapat dipahami bahwa pembangunan akan mewariskan perubahan. Hanya pertanyaannya adalah bahwa perubahan macam apakah yang diinginkan ataupun dibutuhkan bagi Kota Denpasar yang sekaligus menjadi barometer Bali. Dinamika pembangunan hingga pascakemerdekaan RI telah banyak mengubah fungsi lahan, kepemilikan lahan, sampai dengan bangunan yang beralih fungsi, direhabilitasi, ataupun juga didemolisi (dihancurkan), dan tentunya juga diiringi oleh perubahan sikap, etika, maupun pola pikir. Dengan demikian, yang abadi dalam pembangunan adalah perubahan.

Tidak berlebihan kiranya jika pemerintah merencanakan perancangan ke depan dengan sebuah mimpi “visi” yang mengantarkan seluruh masyarakatnya merasakan kenyamanan, keamanan, kesejahteraan, dan tentunya keadaban. Denpasar sebagai sebuah kota dengan jumlah penduduknya yang hampir mencapai 900.000 jiwa, multi-etnik, multikultur, dan dengan segala tujuan di atas bukanlah persoalan mudah.

Membangun dengan pola partisipasi yang memuliakan kreativitas kiranya menjadi tema yang terus digulirkan. Kota Denpasar yang dibangun dengan visi Wawasan Budaya  oleh Puspayoga dan Rai Dharmawijaya selaku Wali Kota dan wakilnya pada tahun 2000 yang lalu telah menunjukkan bukti berupa peningkatan demi peningkatan yang sangat dirasakan dan dinikmati oleh masyarakatnya.

Baca juga:  Residivis Begal Asal Surabaya Beraksi di Bali

Kini, wawasan budaya telah berlangsung memasuki tahun yang ke-19 telah  mengantarkan Kota Denpasar dengan berbagai capaian prestasi yang terukur “fakta” dan tidak terukur “rasa”. Bertaburnya berbagai prestasi yang telah diperoleh oleh Pemerintah Kota Denpasar dapat dikatakan bahwa visi “Denpasar Kreatif Berwawasan Budaya dalam Keseimbangan Menuju Keharmonisan” membuktikan keunggulan, capaian, maupun prestasi di pelbagai bidang seperti Kota Layak Huni, Kota Cerdas, dan lainnya.

Modal budaya unggul yang dilakoni secara kreatif bermuara pada pemanfaatan “pengelolaan” heritage sebagai warisan budaya sebagai salah satu aset pembangunannya. UNESCO memberikan definisi heritage sebagai warisan (budaya) masa lalu, yang seharusnya dilestarikan dari generasi ke generasi karena memiliki nilai-nilai luhur.

Dalam buku ‘’Heritage Management Interpretation Identity’’, karya Peter Howard memberikan makna heritage sebagai segala sesuatu yang ingin diselamatkan orang, termasuk budaya material maupun alam. Dalam piagam pelestarian pusaka Indonesia yang dideklarasikan di Ciloto 13 Desember 2003 (dalam Budihardjo, 2011:213; Salain, 2014;9) disebutkan bahwa heritage adalah pusaka. Pusaka ada tiga yaitu : 1) Pusaka alam, 2) pusaka budaya (terdiri dari pusaka budaya ragawi dan nir-ragawi), dan 3) pusaka saujana (gabungan dari pusaka alam dan budaya).

Sebelum Piagam Ciloto, Pemerintah Provinsi Bali pada tahun 1999 yang lalu melalui Proyek Cultural Heritage Conservation menyepakati penggunaan sebutan heritage sebagai warisan. Dengan demikian tampaknya di Indonesia ada dua kelompok yang memandang heritage sebagai warisan dan ada pula yang memaknainya sebagai pusaka.

Baca juga:  Jadikan Kebudayaan Fondasi Penataan Kota

Pusaka dapat saja dimaknai sebagai warisan sedangkan warisan belum tentu pusaka. Pusaka atau tidak Bali memaknai heritage sebagai warisan. Selanjutnya, warisan budaya berupa cagar budaya sering pula dituliskan untuk sebutan cultural heritage.

Dengan demikian, secara singkat dapat dimengerti bahwa heritage adalah seluruh rangkaian cipta, karsa, dan rasa yang diwariskan dari generasi ke generasi yang memiliki nilai luhur. yang oleh karena keberadaannya wajib dilestarikan dan dimanfaatkan untuk keadaban dan kesejahteraan.

Pentingnya melestarikan dan memanfaatkan heritage sebagai program pembangunan bagi Kota Denpasar yang berwawasan Budaya ditindaklanjuti dengan diperolehnya Sertifikat Anggota Kota Pusaka Dunia dari UNESCO  pada tahun 2012, kemudian sebagai anggota dari Organization World Heritage City pada tahun 2013.

Pemahaman tentang kebudayaan sangat beragam dan sangat banyak. Dari sekian banyaknya dipetik dari tokoh Indonesia dan luar negeri. Dua tokoh Indonesia yaitu Ki Hajar Dewantara dan Fuad Hassan. Ki Hajar Dewantara  memandang kebudayaan adalah buah budi manusia sebagai upaya berhadapan dengan rintangan dan kesukaran dalam hidup dan penghidupannya untuk keselamatan dan kebahagiaan dengan tertib dan damai.

Pendapat tokoh Indonesia lainnya yaitu Fuad Hassan menyatakan kebudayaan adalah suatu kerangka acuan bagi perikehidupan suatu masyarakat yang sekaligus untuk mengukuhkan jati diri sebagai kebersamaan yang berciri khas. Sedangkan ahli asing, Edward Burnett Tylor, menyatakan kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan lainnya yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat.

Baca juga:  Digitalisasi Strategi Bertahan Sektor Pariwisata

Dengan demikian, kebudayaan dapat dipahami sebagai segala upaya manusia dalam mempertahankan dan melangsungkan kehidupan dan penghidupannya. Segala hasil pikiran manusia sangat diwarnai oleh kondisi alam, iklim, keyakinan, dan tradisi. Tantangan dan keinginan untuk diakui merupakan induk bagi perkembangan kebudayaan.

Sejatinya, kebudayan itu adalah universal, yang  membedakannya adalah : 1). etika, 2). estetika, 3). identitas, 4). keberlanjutan, dan 5). pengakuan. Kelima hal tersebut selalu mengalami tantangan baik dari individu atau kelompok pelaku budaya, maupun dari luar dirinya, baik karena perubahan iklim, pasar global, iptek, dan tentunya akan lebih rumit dan kompleks di era disruption.

Tantangan perubahan yang demikian pesat dan meragam melahirkan banyak pilihan bagi masing-masing individu. Individu sebagai pelaku budaya khususnya di Kota Denpasar perlu memahami tantangan mendatang yang memberi “menawarkan” kemudahan. Cita-citanya adalah keadaban, kebahagiaan, dan kesejahteraan merupakan muara dari harapan bersama. Kebersamaan dalam kemandirian menjadi kekuatan sekaligus kelemahan dalam masyarakat yang majemuk dan multi-etnik.

Heritage dengan kebudayaan memiliki hubungan yang erat bagaikan dua sisi uang logam. Ada nilai dan identitas di masing-masing sisi. Heritage atau warisan merupakan seluruh produk budaya, baik yang abstrak, intangible, maupun tangible. Ketiganya  berlangsung sesuai dengan ruang dan waktunya. Tinggi atau rendahnya karya warisan berupa heritage akan berpeluang menggambarkan betapa tinggi nilai kebudayaannya, atau sebaliknya.

Penulis, Guru Besar Arsitektur Fakultas Teknik, Universitas Udayana

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *