TPA Suwung. (BP/dok)

DENPASAR, BALIPOST.com – Pemprov Bali akan segera merealisasikan proyek waste to energy di TPA Regional Sarbagita atau TPA Suwung. Proyek yang akan dikerjakan oleh Indonesia Power dan Waskita Karya itu, kini sedang dalam proses feasibility study (FS).

Sisa lahan di TPA Suwung seluas 10 hektar yang memang diperuntukkan untuk sanitary landfill dan waste to energy diperkirakan tidak cukup. Oleh karena itu, proyek akan diperluas dengan mengambil lahan mangrove di sekitarnya seluas 1,4 hektar. “Sekarang (sampah) dibiarin dulu ditumpuk sampai pengolahan sampahnya bekerja, ini akan dikerjakan oleh Indonesia Power sama Waskita Karya dengan menggunakan mesin pengolah sampah berkapasitas besar,” ujar Gubernur Bali Wayan Koster usai menggelar rapat tertutup membahas proyek waste to energy TPA Suwung di Praja Sabha Kantor Gubernur Bali, Rabu (13/2).

Menurut Koster, pembangunan infrastruktur pengolahan sampah baru akan dimulai akhir 2019 dan membutuhkan waktu sekitar 2 sampai 3 tahun. Kini juga tengah diupayakan penambahan lahan TPA dengan meminta lahan mangrove seluas 1,4 hektar di Kementrian Kehutanan.

Kalau memang dipandang memenuhi syarat, pihaknya berjanji akan menukar lahan mangrove yang dipakai dengan menanam di tempat lain. Dijelaskan bila ini merupakan pilihan yang harus diambil untuk menyelesaikan masalah sampah. “Lahan yang diperlukan harus diperluas karena tidak cukup. Kan harus disitu bergeser dia, adanya mangrove. Di tempat lain nanti kita tambahin 2,8 hektar, ada di sana yang bolong-bolong itu kan banyak,” imbuhnya.

Di sisi lain, Koster menyadari pengolahan sampah dengan mesin pengolah sampah atau incenerator akan menimbulkan dampak terhadap lingkungan, sehingga akan ada studi amdal yang dilakukan. Dikatakan bila tidak ada cara lain lagi untuk memotong mata rantai sampah agar pertumbuhan sampah di TPA tidak terlalu tinggi seperti sekarang.

Baca juga:  Tingkatkan Pengalaman Konsumen, Cellular World Gandeng Samsung Hadirkan SES

Kalau dibiarkan, tumpukan sampah di TPA Suwung pada 2021 diprediksi akan setinggi 18 meter. “Saat ini tidak ada cara lain, yang bisa dipakai itu metodenya (incenerator, red). Dalam jangka panjang, kita akan mengeluarkan Pergub tentang pengelolaan sampah dari hulu sampai hilir, nanti selesainya di hulu. Kemudian dari rumah tangga sampai ke desa. Sekarang kan aliran sampahnya dari hulu sampai ke sini, kan semua berjubel disini jadinya,” jelas Ketua DPD PDIP Bali ini.

Koster pun meyakini proyek waste to energy kali ini tidak akan mengalami kegagalan seperti yang dilakukan PT. NOEI. Terlebih dengan keterlibatan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang berinvestasi di dalamnya. Pemerintah Sarbagita (Denpasar, Badung, Gianyar, Tabanan) juga akan diajak menandatangani MoU sebagai bentuk komitmen untuk menjaga pasokan sampah.

Diwawancara terpisah, Direktur Waskita Karya Energy, Hokkop Situngkir mengatakan, feasibility study (fs) penanganan sampah ditarget rampung April atau Mei 2019. Pihaknya menghadapi hambatan teknis yakni lahan TPA yang berkurang lantaran jumlah sampah terus bertumbuh.

Hal ini harus diatasi dengan mempercepat proses pembangunan waste management dan PLTSa. “Lahan yang tersedia untuk PLTSa (waste to energy, red) kan sudah diblok 5 hektar. Jadi untuk yang sekarang ada lahan juga yang merupakan mangrove, itu sudah kita sampaikan ke gubernur untuk dialihfungsikan dan kita bisa pakai untuk tempat penampungan sampah sementara yang 1,4 hektar,” ujarnya.

Baca juga:  Strategi Nasdem, Saksi Semesta untuk Menekan Golput Pileg

Dengan adanya tambahan lahan itu, lanjut Hokkop, sepanjang 3 tahun ketika PLTSa beroperasi akan bisa mengcover laju pertumbuhan sampah dengan proses pembakaran sampah menjadi energi. Pihaknya menghitung volume sampah meningkat sekitar 4 persen di TPA Suwung, melihat trending 2017, 2018, dan 2019. “Kita harapkan sepanjang 3 tahun setelah beroperasi PLTSa, sampah yang datang sama sampah yang kita tambang, yang ada di lokasi kita itu bisa kita kelola. Setelah itu, mungkin kita akan mengajukan kepada Pemprov untuk penambahan. Ada dua versinya, penambahan lokasi sampah atau menambah daya PLTSa. Jadi kita tambah lagi inceneratornya,” paparnya.

Untuk dampak ekologi, Hokkop menyebut inilah yang sedang dikaji dalam FS. Mengingat, pengolahan sampah dengan incenerator sebetulnya belum ada di Indonesia.

Untuk di TPA Suwung, pihaknya mengadopsi teknologi Jepang, Korea, Taiwan, dan Cina. Diakui bila sisa hasil pembakaran di incenerator memang akan menimbulkan dampak tertentu.

Kalau ternyata masuk dalam katagori B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun, red), pihaknya tentu akan melakukan penanganan khusus. “Kita bekerjasama dengan konsultan dari Perancis, itu yang menunjuk dari Indonesia Power,” tandasnya.

Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Bali, I Made Gunaja mengatakan, 1,4 hektar mangrove yang akan dimohonkan ke Kementrian Kehutanan tetap berfungsi sebagai Tahura. Hanya saja, pemanfaatannya menjadi sanitary landfill. “Itu kan belum tentu (dibabat, red) karena kita masih melakukan pengkajian. Rencana kebutuhan betul tidak 1,4 hektar atau berapa, jangan-jangan lebih lagi,” ujarnya.

Baca juga:  Dari Bendahara BUMdes Kerta Buana Tersangka hingga Vonis Kuat Ma’ruf Lebih Berat

Gunaja berharap masyarakat Bali dapat memahami apa yang menjadi kebutuhan terkait persoalan sampah ini.

Belum Sepakat

Wakil Walikota Denpasar, IGN Jayanegara mengatakan, pemerintah Sarbagita belum menandatangani apapun sebagai bentuk kesepakatan terhadap proyek waste to energy tersebut. Kota Denpasar khususnya masih menunggu hasil Fs yang akan dilakukan oleh Waskita Karya.

Selain itu, masih akan melihat kemampuan Pemkot Denpasar untuk ikut terlibat dalam proyek serta kuat tidaknya regulasi pendukung. Namun demikian, pihaknya mengapresiasi komitmen gubernur yang ingin membantu menyelesaikan masalah sampah di TPA Suwung. “Masalah ini memang kami hadapi di depan mata, antrian cukup panjang, bau, dan segala macam. Tentu kami wajib mendengar. Tapi yang namanya suatu keputusan atau kebijakan, kami kan harus melihat dulu hasil Fs-nya dan regulasinya biar kami tidak salah,” ujarnya.

Menurut Jayanegara, Denpasar kini memang tidak lagi memiliki tempat untuk mengelola sampah. Artinya, sanitary landfill sudah tidak memungkinkan lagi di ibukota provinsi Bali ini.

Satu-satunya penyelesaian masalah sampah adalah waste to energy. Namun, waste to energy butuh investasi yang sangat besar. “Itulah diperlukan skema-skema pembiayaan. Salah satunya kenapa rapat dilakukan hari ini (kemarin, red). Kami kan juga mendengar dulu,” jelasnya.

Sementara ini, lanjut Jayanegara, belum ada penjelasan mengenai bentuk sharing yang akan dilakukan. Apakah Pemkot Denpasar akan ikut dalam kerjasama atau mengelola sendiri. (Rindra Devita/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *