DENPASAR, BALIPOST.com – Bali sejatinya sudah cukup tegas menolak proyek geothermal di Bedugul. Namun, pemerintah pusat rupanya masih belum menyerah untuk menghidupkan lagi geothermal. Meski dengan mengorbankan kesucian dan kawasan hutan lindung.
Kali ini lewat Komisi VII DPR RI dengan dalih Bali akan menghadapi persoalan besar yakni defisit energi pada 2024 jika tidak ada pembangkit baru. “Disampaikan oleh PLN tadi tentu menganalisis pertumbuhan dari listrik di Bali yang cukup besar, tetapi pasokannya terbatas,” ujar Ketua Komisi VII DPR RI, Gus Irawan Pasaribu saat melakukan kunjungan kerja ke Pemprov Bali, Kamis (14/2).
Rombongan Komisi VII awalnya diterima langsung oleh Gubernur Bali Wayan Koster di Ruang Rapat Gabungan DPRD Bali. Namun di pertengahan, gubernur harus menghadiri acara lain sehingga digantikan oleh Wakil Gubernur Bali, Tjok Oka Artha Ardhana Sukawati didampingi Sekda Provinsi Bali, Dewa Made Indra.
Kendati sudah ada interkoneksi Jawa-Bali, Gus Irawan menyebut pasokan listriknya masih terbatas di 350 MW. Solusi yang disiapkan PLN pun masih bersifat jangka pendek seperti mobile power plant dan marine power plant. Sementara untuk mewujudkan geothermal, terkendala masalah budaya.
Padahal menurutnya, suatu proyek besar secara umum pasti memunculkan pro dan kontra. “Sama juga di kampung saya sudah produksi 330 MW. Itupun ada penolakan, pasti, sampai sekarang pun masih ada orang yang merasa tidak puas,” kata Politisi Gerindra Dapil Sumatera Utara 2 ini.
Gus Irawan juga menyebut Bali tidak memiliki banyak alternatif energi baru terbarukan. Menolak geothermal bahkan disebut menyia-nyiakan rahmat Tuhan.
Namun pihaknya tidak memaparkan secara detail mengenai hasil kajian terkait geothermal, terutama dari aspek lingkungan. Gus Irawan hanya menyebut geothermal tidak merusak hutan, tapi sebaliknya memberi kewajiban bagi korporasi untuk merawat hutan. “Kalau soal kajian secara ekonomis sudah pasti banyak untungnya. Memanfaatkan sesuatu yang hari ini tidak bermanfaat apa-apa menjadi bermanfaat, dan Bali sangat butuh,” imbuhnya.
Diwawancara terpisah, Wakil Gubernur Bali Tjok Oka Artha Ardhana Sukawati dengan tegas menyatakan Bali tidak akan mengorbankan alam dan budaya dengan menghidupkan lagi geothermal. Mengingat, Bali hanya memiliki potensi alam dan budaya yang selama ini menjadi kekuatan pariwisata.
Potensi sumber daya energi memang terbatas. Namun, memaksakan geothermal hanya akan menjadi paradoks. “Kalau kita ikuti kebutuhan listrik kita, maka budaya kita akan terkorbankan. Oleh sebab itu, harus dicari win-win solusinya apa. Apa tidak ada upaya-upaya lain, di satu sisi sumber budaya kita tidak terganggu, disisi lain listrik ini terpenuhi,” ujarnya.
Bertolak belakang dengan Komisi VII, Wagub yang akrab disapa Cok Ace ini justru menyebut Bali banyak memiliki potensi energi baru terbarukan. Diantaranya, energi matahari dan angin. Untuk memenuhi kebutuhan listrik minimal di 2024, Pemprov saat ini juga sudah mengupayakan pembangkit listrik tenaga gas dan energi listrik dari mengolah sampah.
Pihaknya meyakini, Bali akan menemukan teknologi lain kedepan untuk memenuhi pasokan listrik. “Ini (geothermal) paradoks sekali. Keyakinan masyarakat akan terganggu. Oleh sebab itu, biarlah yang sudah jalan ini, artinya energi dari sampah, kemudian mengganti batubara menjadi gas,” tandasnya.
Sebelum menghadiri acara lain, Gubernur Bali Wayan Koster sempat menyampaikan kepada Komisi VII DPR RI bahwa Bali hanya memiliki kekayaan berupa adat istiadat, tradisi, seni, dan budaya. Inilah aset utama Bali yang mendatangkan kesejahteraan lewat pariwisata. Itu sebabnya sejak dilantik menjadi gubernur, pihaknya ingin menjaga keharmonisan alam Bali beserta isinya dengan budaya sebagai haluan sesuai visi yang diusung.
“Di Bali, kami sedang menyiapkan regulasi berupa perda dan pergub untuk melakukan konservasi alam yaitu pantai, laut, danau, sungai dan sumber mata air lainnya agar tidak tercemar dan tidak diberdayakan secara berlebihan,” ujarnya.
Terkait energi, lanjut Koster, harus berorientasi pada energi yang menjaga lingkungan alam dan menjamin keberlanjutan pembangunan itu sendiri. Itu sebabnya, pembangkit listrik di Celukan Bawang yang sudah beroperasi dengan bahan bakar batubara agar diganti dengan gas.
Kalaupun tidak bisa diganti, paling tidak dilakukan perbaikan agar lebih sehat dan tidak terlalu tinggi polusinya. Untuk rencana pembangkit baru, harus memakai bahan bakar gas atau akan dicabut ijinnya.
Hal sama berlaku pula pada pembangkit lain seperti di Pesanggaran dan Gilimanuk. Selain itu, mendorong pembangkit listrik dengan energi baru terbarukan seperti tenaga surya dan air. “Sejalan dengan energi baru terbarukan, kami juga ancang-ancang regulasi baru penggunaan sepeda motor listrik. Kami menunggu Perpres-nya selesai untuk ditindaklanjuti dengan Perda supaya di Bali menggunakan kendaraan bermotor ramah lingkungan,” tandasnya. (Rindra Devita/balipost)
Bapak gubernur dan pak wakil, punya alasan kuat bahwa aset Bali untuk menopang pariwisata adalah adat dan budaya, tentu saja ini benar. Namun di sisi lain. kebutuhan listrik terus meningkat termasuk untuk keperluan pariwisata itu sendiri. Adanya cadangan panas bumi di Bali adalah potensi penghasil listrik yg besar dan tentu hasil kajian ilmiah para pakar, ini juga benar. Lalu apakah pembangunan pembangkit geothermal ini sudah pasti merusak adat, budaya (dan juga keyakinan) masyarakat Bali? Ini yg masih abu-abu, pro kontra, tergantung dari sudut pandang, analisis, segi kepentingan pribadi dan kelompok, bahkan -maaf- daya nalar masing-masing. Bahkan bisa dibilang, kedua frase tersebut benar, tetapi belum tentu saling berhubungan. Penggantian bahan bakar utama dari coal (batubara) ke gas, memang enak di dengar untuk menurunkan polusi (emisi debu yg mencemari lingkungan), akan tetapi cost (biaya) untuk memproduksi setiap Kwh energi listrik akan meningkat. Sudah setujukah konsumen membeli dengan harga yang tinggi akibat perubahan ini. Pak wagub katanya mau mengganti dengan energi dari pengolahan sampah dan angin. Apakah keduanya bisa menutupi peningkatan kebutuhan listrik di Bali? Jangan -jangan pak wagub hanya beretorika belaka, belum secara utuh memahami masalah ini. Coba hitung potensi sampah dan angin ada berapa? Lalu setiap kwh listrik yg dihasilkan harus dijual berapa? Bisa-bisa produsennya (dan juga negara) harus nombokin triliunan setiap tahunnya, bila harga jual listrik tetap seperti sekarang.
Hebat benar bpk gub Koster dan bpk wakil gub Cok Ace menolak geotamol yg pasti merusak alam; budaya; kearipan lokal bali yg menjadi penentu pariwisata bali. Untuk bahan listrik ada sampah2; mstahari; angin; air yg dpt diolah untuk tenga listrik
mungkin yang dimaksud GEOTHERMAL bukan GEOTAMOL.