MATERI Ranperda tentang Desa Adat sejatinya tidak hanya soal Lembaga Perkreditan Desa (LPD). Namun, hal ini rupanya cukup menyita perhatian, terutama menyangkut rencana perubahan nama LPD menjadi Labda Pacingkreman Desa dan rencana pembentukan Lembaga Otoritas Perekonomian Adat (LOKA).
Untuk meluruskan pemahaman di masyarakat, Gubernur Bali Wayan Koster menggelar kegiatan ramah tamah dengan LPD di rumah jabatan Gubernur Bali, Jaya Sabha, Jumat (15/2). Sedikitnya ada 1.100 orang pengurus LPD di Bali hadir dalam kegiatan ramah tamah tersebut.
Sekda Provinsi Bali Dewa Made Indra mengatakan, LPD adalah kekuatan ekonomi untuk membangun dan memperkuat desa adat. Para prajuru atau pengurus LPD bahkan disebut sebagai pahlawan ekonomi desa adat.
“Ramai diberitakan di media massa seolah-olah Bapak Gubernur akan menghapuskan LPD. Padahal itu sama sekali tidak benar,” ujarnya.
Dewa Indra menegaskan, semangat Gubernur adalah memperkuat LPD dan menjamin agar LPD ke depan tetap kuat. Bahkan semakin kuat posisinya.
Dikatakan, desa adat dengan segenap institusi di dalamnya termasuk LPD tidak boleh seperti saat ini saja. Pasalnya, dinamika kehidupan terus berubah dan berkembang semakin maju.
“Kalau desa adat tidak diperkuat, posisinya tidak semakin diberdayakan, bukan tidak mungkin ke depan akan semakin lemah kemudian semakin tertinggal,” jelas mantan Kepala Pelaksana BPBD Provinsi Bali ini.
Ketua Lembaga Pemberdayaan LPD (LP-LPD), I Nyoman Arnaya mengatakan, saat ini tercatat ada 1.433 LPD di seluruh Bali dengan total aset Rp 21 triliun. Aset tersebut hampir menyamai Bank BPD Bali, bahkan lebih besar. Sebab, dari Rp 24 triliun aset BPD Bali, Rp 4 triliun merupakan dana LPD di bank tersebut.
Kemudian, LPD mampu menyerap 8.000 pegawai dan 4.000 pengawas internal. Di sisi lain, LPD juga perlu menjaga kepercayaan masyarakat adat yang menaruh dana Rp 18 triliun di LPD.
“Jika ini kita abaikan maka yang paling rugi adalah krama adat Bali, bahkan kita bisa membuat krama adat Bali menjadi miskin kalau salah dalam memahami tentang LPD Bali,” ujarnya.
Arnaya menambahkan, LPD saat ini terbagi menjadi tiga kelompok. Pertama, kelompok LPD besar yang asetnya di atas Rp 50 miliar berjumlah 90 LPD dan menguasai 60 persen dari total aset LPD. Kedua, kelompok LPD dengan aset antara Rp 10 miliar sampai Rp 50 miliar yang berjumlah tidak lebih dari 300 LPD. Ketiga, kelompok LPD dengan aset di bawah Rp 5 miliar yang jumlahnya hampir 900 LPD.
“Dari sisi kesehatan LPD, masih banyak yang perlu kita perbaiki karena tidak semua LPD dalam kondisi sehat. Masih perlu kita bangun bersama-sama,” jelasnya.
Menurut Arnaya, pihaknya bersama BKS LPD kini sedang membangun konsep Stiti Loka LPD Bali. Artinya, bagaimana menjaga, melindungi, mengayomi LPD Bali. Jika konsep ini bisa dipadukan dengan visi Gubernur, pihaknya meyakini LPD bisa menguasai Bali yang sesungguhnya.
“Ketika berbicara LPD, ada tiga komponen yang harus dilihat. LP-LPD, BKS-LPD, dan LPD. Tiga komponen ini adalah benang tridatu dari LPD Bali. Konsep kita menjaga LPD Bali adalah bagaimana LPD Bali itu modern, dinamis, tradisional, tapi tetap metaksu sehingga taksu Bali terjaga dari LPD,” terangnya.
Ketua Badan Kerja Sama (BKS) LPD Provinsi Bali, I Nyoman Cendikiawan mengatakan, LPD saat ini membutuhkan adanya peningkatan kualitas SDM untuk IT dan pengembangan sarana kantor dalam blue print LPD 5 tahun ke depan. Perbaikan kualitas dikatakan lebih penting ketimbang meributkan soal nama LPD.
Tawarkan Satu Pasal
Sementara Gubernur Bli Wayan Koster sempat memberikan dua pilihan kepada para prajuru atau pengurus LPD se-Bali dalam kegiatan ramah tamah di Jaya Sabha.
Pertama, LPD tetap bernama Lembaga Perkreditan Desa seperti sekarang. Namun untuk jangka panjang ketika LPD tidak terjaga lagi oleh regulasi di atasnya, kemudian bubar, Koster meminta agar para pengurus LPD tidak menyalahkan dirinya.
Pilihan pertama ini langsung dijawab “iya” oleh para pengurus LPD yang hadir. “Bapak bisa bilang iya sekarang, tapi bapak juga bisa dengan mudah lari dari tanggungjawab,” jawab Koster.
Untuk pilihan kedua, Koster menawarkan nama Labda Pacingkreman Desa yang diatur dengan perda tersendiri. Namun, rencana pembentukan LOKA (Lembaga Otoritas Perekonomian Adat) akan dihilangkan.
“Praktiknya seperti sekarang, tapi bernama kearifan lokal, kemudian diatur dengan hukum adat. Keluar kita dari UU ini (UU No.1 Tahun 2013 tentang LKM, red) dan lebih berkelanjutan, terproteksi,” jelasnya.
Kendati demikian, Koster rupanya tidak ngotot memaksakan nama Labda Pacingkreman Desa. Selagi masih nyaman dengan nama Lembaga Perkreditan Desa, mantan anggota DPR RI ini mengikuti kemauan para prajuru LPD. Itu sebabnya dalam Ranperda tentang Desa Adat memuat Pasal 95 yang berbunyi, Perda No.3 Tahun 2017 tentang LPD tetap berlaku sepanjang belum ditetapkan Perda yang mengatur tentang Labda Pacingkreman Desa.
“Kan solusi yang bagus ini yang saya tawarkan. Nanti suatu saat kalau sudah sadar, baru kita masuk. Kalau tidak, ya… biarin aja yang ada sekarang. Kan begitu maunya,” jelas Ketua DPD PDI Perjuangan Bali ini.
Pilihan tersebut akhirnya disepakati, karena dengan adanya Pasal 95 pada Bab XVIII tentang Ketentuan Penutup dalam Ranperda tentang Desa Adat, Perda tentang LPD (Lembaga Perkreditan Desa) tetap berlaku. Namun pasal itu juga bisa menjadi payung hukum jika kelak disepakati adanya perubahan nama LPD menjadi Labda Pacingkreman Desa.
Sebelum memberikan pilihan tersebut, Koster sudah menjelaskan bahwa perubahan nama LPD menjadi Labda Pacingkreman Desa bukanlah untuk menghilangkan jejak sejarah. Melainkan untuk memperkuat posisi LPD ke depannya. Mengingat, nama Lembaga Perkreditan Desa sejatinya lekat dengan nomenklatur perbankan. Saat ini, LPD memang dikecualikan dalam UU tentang LKM. Tapi saat UU itu nanti dicabut, posisi LPD akan menjadi lemah bahkan hilang karena tidak memakai nama kearifan lokal dengan hukum adat.
“LPD masih bisa dikecualikan karena dia berada di rumah desa adat. Beda dengan Lumbung Pitih Nagari, namanya bukan nomenklatur perbankan tapi menggunakan nama kearifan lokal dengan hukum adat. Dia lolos ini, ada atau tidaknya UU LKM, dia tetap eksis,” jelasnya.
Itu sebabnya, lanjut Koster, LPD mesti dikeluarkan dari ranah UU LKM agar bisa terus selamat ke depannya. Di sisi lain, LPD memang dibentuk dengan awig-awig dan perarem. Tapi operasional dan tata kelolanya tidak menggunakan hukum adat. Hal ini pun dapat menjadi masalah, karena LPD suatu saat bisa digugat ke Mahkamah Agung. Kalau ada penyimpangan atau korupsi, maka yang memproses adalah Tipikor, Polda, dan Kejaksaan.
“Ini bahaya. Maka dari segi nama pun dia harus lebih aman menggunakan nama kearifan lokal berdasarkan hukum adat. Saya tawarkan namanya Labda Pacingkreman Desa. Tata kelolanya, operasionalnya juga menggunakan hukum adat,” terangnya.
Koster berharap, tidak ada lagi polemik yang muncul setelah adanya kesepakatan terkait LPD. Sebab, ribut-ribut soal LPD telah menutupi banyak materi penting dalam Ranperda tentang Desa Adat yang dirancang untuk memperkuat desa adat di Bali.
Diwawancara terpisah, Ketua Pansus Ranperda tentang Desa Adat di DPRD Bali, I Nyoman Parta membenarkan pembahasan Ranperda tentang Desa Adat terganggu oleh polemik tentang LPD. Padahal, LPD hanya bagian kecil dari persoalan yang diatur di dalam Ranperda tersebut. Namun kini setelah ada titik temu, pembahasan Ranperda bisa dilanjutkan kembali.
“Terlalu banyak hal-hal yang sangat saya yakini akan memperkuat desa adat ke depan yang ada di dalam Ranperda desa adat ini. Cuma jadi kabur, jadi tidak kelihatan gara-gara polemik tentang LPD,” ujarnya.
Parta mencontohkan materi Ranperda terkait desa adat sebagai subjek hukum. Materi ini dikatakan penting agar desa adat, salah satunya, tidak lagi dihantui oleh OTT Tim Saber Pungli. Kemudian menyangkut posisi harta-harta milik desa adat yang akan diatur dengan Baga Utsaha Padruwen Desa Adat (BUPDA). (Adv/balipost)