Korupsi masih menjadi masalah kronis di lingkaran birokrasi di negeri ini. Bahkan, yang lebih membudaya adalah pungutan liar. Dulu, kutipan liar kepada masyarakat yang berurusan dengan birokrasi menjadi hal yang biasa. Bahkan, sampai ada istilah kalau bisa dipersulit mengapa dipermudah.
Ungkapan ini adalah potret birokrasi masa lalu dengan berbagai pola layanannya kepada publik. Bahkan, budaya pungli juga melahirkan banyak calo di lembaga-lembaga layanan publik. Ini tentu merupakan pola layanan publik yang jauh dari harapan. Maka sangat tepat jika berbagai bentuk pungli dan korup di lingkungan harus segera ditindak. Oknumnya juga harus didepak.
Namun, mendepak birokrat kotor dan korup bukanlah perkara mudah di negeri ini. Walaupun ada ketentuan hukum, namun masih banyak Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang mendapat pengayoman dari atasanya. Ada kecenderungan tindakan korup yang dilakukan oknum PNS tersebut juga berkaitan dengan ‘’pendapatan’’ atasannya. Jika kondisinya seperti ini maka sangatlah wajar jika pemecatan terhadap PNS korup menjadi sulit. Bahkan, ada PNS yang korup sempat kembali ke jabatannya dan menikmati fasilitas negara. Ini jelas menjadi beban negara.
Saat ini, pemecatan terhadap birorasi yang korup memang masih berjalan lamban. Banyak ASN koruptor yang kasusnya telah memiliki kekuatan hukum tetap masih mendapatkan gaji dari negara. Pemerintah harus segera mencari solusi yang tepat dan cepat untuk menyelesaikan masalah tersebut. Berdasarkan data Badan Kepegawaian Negara (BKN), hingga 29 Januari 2019, total PNS terlibat tindak pidana korupsi (tipikor) berkekuatan hukum mencapai 2.357 PNS.
Dari jumlah tersebut, baru 478 PNS yang sudah dijatuhi sanksi pemberhentian tidak dengan hormat atau 20,28%. Rinciannya, 49 PNS kementerian/lembaga dan 429 PNS daerah. Berarti masih ada 1.879 PNS yang belum dipecat. Masalah lambatnya pemecatan ASN koruptor harus menjadi atensi khusus semua pihak yang terlibat.
Ada banyak beban bagi negara jika lambat melakukan eksekusi terhadap PNS korup. Pertama, selain citra birokrasi tak akan kunjung bersih, para aparatur korup ini berpotensi menularkan perilakuknya kepada PNS lainnya. Jika ini terjadi maka ada kecenderungan akan makin banyak PNS yang berpeluang melakukan korupsi.
Tindakan yang tidak tegas kepada PNS yang korup berpotensi ditiru PNS lainnya. Ini akan membuat upaya untuk menuju pemerintahan yang bersih dan profesional akan makin sulit.
Selebihnya, jika PNS korup tak segera dipecat, mereka akan menjadi beban negara. Mereka akan tetap menerima gaji padahal tindakan telah merugikan negara. Untuk itulah adalah tepat jika PNS korup terlebih telah memiliki hukum tetap dikeluarkan dari jajaran birokrasi. Atau PNS bersangkutan jangan lagi melakukan perlindungan dengan alasan apa pun.
Semua hendaknya bergerak pada upaya membangun PNS bersih dan jujur. Pemerintah mestinya bisa bertindak tegas untuk menyelesaikan masalah tersebut tanpa perlu berlarut-larut.
Ketidaktegasan pemerintah terhadap PNS koruptor yang sudah berkekuatan hukum tetap (inkrah) ini akan menimbulkan preseden buruk terhadap pemberantasan korupsi. Langkah pembiaran tersebut akhirnya tidak menimbulkan efek jera sama sekali. Karena memang sanksinya sangat tidak tegas. Bagaimana tidak enak, meski sudah dipenjara tetap menerima gaji dari negara.
Seharusnya, aparat yang terlibat melihat hal tersebut sebagai sesuatu yang sangat memalukan. Apalagi, dari kajian atau penyelidikan sementara alasan yang dikemukakan benar-benar tidak masuk akal.
Jadi, banyak PNS koruptor tidak diberhentikan segera karena salah satunya ada perasaan sungkan atau tidak enak terhadap teman kerja atau mantan atasan. Alasan yang sangat tidak masuk akal. Bagaimana tidak?
Pejabat tersebut berani mengabaikan kepentingan negara hanya gara-gara sungkan terhadap temannya yang seharusnya dipecat karena terlibat korupsi. Yang ditunggu masyarakat adalah aksi tegas dan cepat para pejabat terkait untuk memecat para PNS koruptor.