pengungsi
Proses belajar-mengajar di SMPN 3 Semarapura, Rabu (25/10). (BP/dok)

Oleh I Wayan Kerti

Di tengah hingar-bingarnya masa kampanye di media sosial, atau kampanye langsung yang dihadiri para calon atau pasangan calon, masyarakat menaruh harapan dan mimpi besar pada hadirnya wakil rakyat serta presiden yang membawa perubahan yang membawa kemaslahatan masyarakatnya lima tahun ke depan. Harapan akan hadirnya pemimpin yang lebih baik “menahkodai” negeri ini, tentu juga menjadi harapan para aparatur sipil negara (ASN) termasuk para guru. Namun mengacu pada UU No. 15 Tahun 2014 tentang Pemilu, ASN (termasuk di dalamnya guru-guru) harus bersifat netral.

Lebih lajut dijelaskan, Netral yang dimaksud adalah: (1) tidak menjadi anggota dan atau pengurus Partai Politik; (2) tidak memihak dan menunjukkan dukungan terhadap Partai Politik secara terbuka di depan publik; (3) tidak melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan politik yang dilakukan oleh partai politik; (4) tidak menggunakan fasilitas negara dan kewenangan yang diperoleh dari jabatan untuk kepentingan partai politik; (5) memberikan pelayanan yang sama & tidak diskriminatif terhadap semua golongan di masyarakat. Sesuai dengan ketentuan dalam netralitas, ASN mempunyai hak memilih sebagai warga negara sesuai dengan pilihan sendiri secara bebas dan bisa menggunakan hak memilih dengan baik dan benar, ASN dituntut untuk mengikuti perkembangan politik.

ASN harus cerdas politik, tidak boleh apatis dan buta politik. Tujuannya, mencegah ASN dan birokrasi pemerintah (termasuk dunia pendidikan) menjadi sasaran tarik-menarik kepentingan politik. Di samping itu, untuk mencegah digunakannya birokrasi pemerintah sebagai alat politik oleh partai politik.

Tujuannya agar ASN dan birokrasi pemerintah dapat memberikan pelayanan yang adil dan tidak diskriminatif bagi semua rakyat. ASN dan birokrasi pemerintah wajib berdiri di atas semua golongan dan kelompok.

Baca juga:  Kampanye di Seraya Barat, Koster-Giri Janjikan Bangun Ini

Guru-guru yang notabene bagian dari ASN tidak diperbolehkan berpolitik praktis, tetapi tidak pula apatis dan buta politik. Jadi, guru-guru pun akan turut memilih calon pemimpin daerahnya masing-masing. Akan tetapi, sebagai masyarakat intelektual, guru hendaknya ikut berpartisifasi aktif memilih pemimpin.

Itu artinya, mau tidak mau pilihan harus tertuju pada para calon wakil rakyat yang sudah ditetapkan oleh KPU/KPUD, serta kedua calon presiden-wakil presiden. Guru-guru yang jumlahnya cukup besar tersebar di sekolah-sekolah di seluruh daerah pemilihan, memiliki peran besar terhadap arah politik di daerah tersebut saat Pemilu nanti.

Guru-guru juga memiliki keluarga, para siswa (SMA/SMK yang sudah berhak memilih) secara tidak kasat mata sesungguhnya bisa mereka pengaruhi. Belum lagi di masyarakat, banyak guru-guru turut mengabdikan diri sebagai pengurus/klian adat di desa-desa atau banjar-banjar adat. Guru-guru sejatinya membawa gerbong pemilih yang besar. Akan tetapi mereka tidak boleh secara praktis (terang-terangan) berpolitik karena ada aturan yang mengatur.

Ironisnya, yang terjadi di lapangan sering tidak sesuai harapan dan peraturan/undang-undang yang berlaku. ASN (termasuk guru-guru), sering diseret-seret dalam dunia politik praktis, utamanya oleh calon incumbent. Berbagai strategi dilakukan untuk mengelabui aturan, misalnya; ada yang berdalih silaturahmi keluarga antara atasan dengan bawahan, sampai pada kegiatan pemberian bantuan-bantuan yang didomplengi politik terselubung.

Dalam posisi seperti itu, ASN (guru) bagai “makan buah simalakama”. Jika diikuti, mereka melanggar aturan, jika tidak diikuti bisa berdampak negatif terhadap kariernya. Oleh karena itu, kesadaran dari para calon dan paslon agar mematuhi peraturan tentang keberadaan ASN (termasuk guru), serta peran aktif dari para pelaksana pemilu, utamanya pengawasan dari Panwaslu agar lebih maksimal.

Baca juga:  Makna Kompetisi bagi Sekolah

Kita juga berharap tidak ada oknum-oknum ASN yang turut bermain/berpolitik praktis demi kepentingan “balas budi” (jabatan). Semoga ASN benar-benar memahami aturan dan menerapkannya dalam kegitan pelaksanaan pemilihan calon anggota legislatif, DPD, dan Presiden-Wakil Presiden yang akan berlangsung serentak pada bulan April 2019 di seluruh wilayah Indonesia.

Penulis pun berharap agar siapa pun yang dipilih oleh masyarakat menjadi wakilnya dan menjadi Presiden-Wakil Presiden RI pada tanggal 17 April, benar-benar peduli dan memperhatikan dunia pendidikan. Dunia pendidikan, khususnya para guru tentu memiliki harapan dan mimpi-mimpi sebagai sebuah perenungan untuk kita bersama, utamanya bagi kalangan dunia pendidikan.

Harapan dan mimpi tersebut, di antaranya: 1) Para wakil rakyat dan Presiden-Wakil Presiden terpilih nanti bisa membawa kemajuan dan kesejahteraan masyarakat di daerahnya dengan memberdayakan potensi masing-masing daerah secara terukur dan tepat guna. 2) Pemimpin terpilih nanti kita harapkan mampu tetap mempertahankan dan mengembangkan seni dan budaya nusantara yang adi luhung ini, bukan malah mengembangkan dan memaksakan seni dan budaya import yang malah bisa memecah persatuan dan kesatuan NKRI.

Ikon pariwisata sesungguhnya bukanlah tentang hingar-bingar dunia hiburan di club-club malam, atau keindahan alam semata, tetapi indah dan uniknya seni budaya nusantara yang ingin diketahui dan dinikmati oleh kaum wisatawan. 3) Alam Indonesia yang alami dan lestari dengan berbagai keunikan tradisionalnya, juga menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan, kita harapkan mampu dibentengi dengan peraturan perundang-undagan oleh pemimpin baru nanti, dengan prinsip “pemanfaatan dengan pelestarian” bukan “pemanfaatan dengan memusnahkan”.

Baca juga:  Perempuan Bali dalam Kancah Politik

4) Kita juga berharap warisan-warisan yang baik bisa dipertahankan dan ditingkatkan, misalnya jaminan kesehatan dan pendidikan. Pelaksanaannyalah agar lebih selektif lagi dengan melibatkan tim survei indenpenden agar tidak “kebablasan” seperti terdahulu. 5) Dari sisi kesejahteraan kita berharap pemimpin terpilih nanti bisa meningkatkan kesejahteraan ASN (utamanya guru-guru PNS/Non-PNS) secara lebih adil dan merata ke seluruh wilayahnya, sepanjang tidak bertentangan dengan aturan-payung hukum di atasnya. 6) Hal terpenting adalah agar ASN, khususnya guru-guru agar tidak diseret-seret pada politik praktis oleh kandidat atau paslon saat kampanye nanti.

Sehingga dunia pendidikan utamanya guru-guru bisa lebif fokus dan nyaman melaksanakan tugas. Selama ini, guru-guru sering menjadi “korban politik”. Mereka, khususnya guru-guru di daerah sering menjadi “korban” dengan memutasinya secara tidak adil dan irasional, padahal mereka tidak berpolitik praktis. Bisikan oknum-oknum tim sukses yang mungkin sentimen pribadi atau mengetahui bahwa guru tersebut tidak memilih jagonya saat pemilihan menjadi pemicu proses politisasi guru secara destruktif.

Sebagai calon pemilih cerdas, ASN, khususnya guru-guru harus benar-benar bisa menangkap calon pemimpin yang memiliki visi-misi sesuai dengan mimpi dan harapan untuk membangun dunia pendidikan. ASN (guru-guru) tidak latah memilih pemimpin secara tradisional yang mendasarkan pada “warna”, suku, ras, atau golongan, atau menebar politik “SARA”, tetapi memilih calon yang memiliki visi-misi yang membawa kemaslahatan masyarakat di daerah pemilihan tersebut di berbagai sisi, termasuk pendidikan.

Penulis, Guru SMP Negeri 1 Abang

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *