Wayan Sukartini, istri Nyoman Suardana A dari Dusun/Desa Manggis Sari, Kecamatan Pekutatan Jembrana di rumah gubuk mereka yang nyaris roboh. (BP/kmb)

Oleh Kadek Muriadi Wirawan

Persoalan kemiskinan selalu muncul menjadi program prioritas pemerintah untuk segera ditangani. Hal ini bisa dipahami mengingat penurunan angka kemiskinan merupakan salah satu pertaruhan pemerintah dalam menunjukkan keberhasilan kinerjanya dalam suatu periode pemerintahannya. Begitu prestisiusnya prestasi tersebut, menyebabkan Pemerintah Provinsi Bali juga telah mengagendakan untuk dapat menekan angka kemiskinan menjadi sekitar 1 (satu) persen (Antara News.com).

Setelah selama 10 tahun ke belakang, kemiskinan di Provinsi Bali selalu bertengger pada kisaran 5-4 persen. Untuk mewujudkannya tentunya diperlukan pemetaan karakteristik kemiskinan di Bali. Selain pemetaan, evaluasi terhadap program pengentasan kemiskinan juga penting, sehingga dapat dilakukan perbaikan atau mungkin ditemukan formula yang lebih baik. Seperti seorang dokter hanya akan dapat mengobati pasiennya ketika telah melakukan suatu diagnosis yang tepat.

Beberapa konsep dan indikator kemiskinan dikembangkan dan diklasifikasikan sesuai jenis kemiskinan yang ada, di antaranya kemiskinan relatif, kemiskinan absolut, kemiskinan struktural, dan kemiskinan kultural. Namun, kemiskinan secara umum didefinisikan sebagai suatu keterbatasan seseorang dalam memenuhi kebutuhan dasarnya seperti makanan, pakaian, rumah, pendidikan dan kesehatan. Badan Pusat Statistik (BPS) telah menetapkan suatu ukuran standar untuk mengukur kemiskinan dengan menggunakan sebuah batasan yang disebut garis kemiskinan (GK).

Garis kemiskinan dibentuk oleh dua kelompok besar pengeluaran yaitu makanan dan nonmakanan. Garis kemiskinan makanan (GKM) merupakan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2.100 kilogram kalori per kapita per bulan. Sedangkan garis kemiskinan non-makanan (GKNM) adalah kebutuhan minimum untuk kebutuhan perumahan, pakaian, pendidikan dan kesehatan per kapita per bulan. Berdasarkan standar tersebut, besarnya garis kemiskinan per September 2018 di Provinsi Bali adalah 388.452 rupiah/per kapita/bulan. Jadi, seseorang akan disebut miskin jika mempunyai penghasilan di bawah angka tersebut.

Sebagai salah satu destinasi pariwisata utama tidak serta merta membuat Bali terbebas dari kemiskinan. Jika mengacu pada konsep kemiskinan di atas, dalam kurun waktu 20 tahun, terlihat bahwa tren penurunan angka kemiskinan mengalami perlambatan. Pada tahun 1999, tercatat angka kemiskinan di Provinsi Bali mencapai 8,53 persen. Angka tersebut berhasil ditekan hingga mencapai 4,88 persen pada tahun 2010. Namun setelah periode tersebut, nyaris penurunan angka kemiskinan tidak banyak mengalami perubahan. Hingga bulan September 2018, angka kemiskinan Provinsi Bali masih tercatat 3,91 persen.

Baca juga:  Sulinggih Itu Bernilai ‘’Padma’’

Beberapa kendala umum yang dijumpai dalam pengentasan kemiskinan di antaranya adanya pola pikir yang menganggap bahwa kemiskinan yang mereka alami bukanlah suatu masalah. Pola pikir tersebut memunculkan suatu agenda bagaimana mereka hidup bahagia di tengah belenggu kemiskinan dan bukannya berusaha untuk bisa keluar dari belenggu kemiskinan tersebut. Selain itu dengan tingkat kemiskinan yang cukup rendah, mengindikasikan bahwa kemiskinan yang ada saat ini sudah menyentuh lapisan kerak kemiskinan yang perlu penanganan khusus untuk mengentaskannya.

Dari gambaran per kelompok umur, kondisi kemiskinan di Provinsi Bali, separuh lebih atau di atas 50 persen penduduk miskin berada dalam kelompok usia nonproduktif yaitu pada kelompok usia (<15 tahun) dan (>50 tahun). Sedangkan sisanya berada pada kelompok usia produktif yaitu rentang usia 15-50 tahun.

Berdasarkan komposisi kemiskinan tersebut, secara matematis dapat dihitung. Jika saat ini, angka kemiskinan di Bali 3,91 persen, maka penanganan yang efektif terhadap kelompok penduduk miskin usia produktif dengan mekanisme program pemberdayaan setidaknya akan dapat menekan angka kemiskinan di Bali baru sampai kisaran angka 2 (dua) persen. Sementara jika ingin menurunkan sampai 1 (persen) sisanya dapat ditangani dengan mekanisme pemberian bantuan sosial sebab penduduk miskin dalam kelompok usia nonproduktif agak sulit diberdayakan.

Berkaca dari beberapa program pengentasan kemiskinan yang pernah dijalankan oleh pemerintah sebelumnya, seperti Simantri dalam bidang pertanian, Gerbangsadu (Gerakan Pembangunan Desa Terpadu), program beasiswa untuk orang miskin serta dana desa dari pemerintah pusat, hampir seluruh program tersebut tujuan utamanya yaitu meningkatkan pendapatan masyarakat miskin. Dengan demikian, pendapatan mereka diharapkan bisa naik dan berada di atas garis kemiskinan sehingga mereka tidak lagi disebut miskin. Keadaan ini tentunya agak rentan karena bisa saja mereka kembali tergelincir dan kembali berada di bawah garis kemiskinan.

Baca juga:  Memaknai Pandemi sebagai Pengendalian Keserakahan

Idealnya, implementasi program kemiskinan tidak sebatas pemberian bantuan. Namun, program-program kemiskinan hendaknya diformulasi dan diimlementasikan sedemikian rupa sehingga menciptakan efek belajar dan memberdayakan kepada masyarakat miskin. Efek belajar dan memberdayakan tersebut tidak akan muncul tanpa adanya pembenahan pada tingkat penghantaran (delivery system) dan mekanisme penerimaan (receiving mechanism) terhadap program pengentasan kemiskinan atau sumber daya dan bantuan yang didistribusikan.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah kita perlu mengevaluasi program-program kemiskinan yang telah dijalankan selama ini. Dari sisi mekanisme penerimaan (receiving mechanism), pertama, perlu adanya penyadaran terhadap orang miskin. Sebab, pada dasarnya kemiskinan yang mengakar disebabkan karena adanya pola pikir atau mindset seperti yang telah disebutkan sebelumnya.

Penyadaran dimaksudkan sebagai upaya menanamkan kesadaran kritis tentang potensi yang dimiliki rakyat miskin untuk keluar dari kemiskinan. Selain itu, penyadaran diharapkan akan dapat mengubah pemahaman mereka terhadap kemiskinan. Bahwa pada prinsipnya kemiskinan bukanlah nasib atau turunan namun kemiskinan sangat terkait dengan ketidaktahuan masyarakat miskin dalam menemukan solusi dan hambatan dalam hal mengakses sumber daya dalam rangka mengatasi kondisi kemiskinan yang dihadapinya.

Kedua, program pengentasan kemiskinan membutuhkan sistem pengorganisasian yang baik. Program pengentasan kemiskinan hendaknya benar-benar memerhatikan aksi kolektif. Program-program yang dijalankan hendaknya didesain untuk dapat menumbuhkan kesadaran kerja kolektif.

Masyarakat miskin diarahkan untuk dapat mengatasi kondisinya secara kolektif, sehingga muncul tindakan dan aksi yang lebih kuat serta sesuai dengan kondisi yang mereka alami saat ini. Selama ini yang terjadi adalah rakyat miskin berupaya mengatasi masalah atau keluar dari kemiskinan lebih mengandalkan usaha individual atau tergantung kepada suatu golongan tertentu atau patron.

Baca juga:  45 Negara Terjangkit, Pemerintah Pantau Varian Omicron

Kedua proses di atas idealnya bersiklus dengan program-program pengentasan kemiskinan baik yang dijalankan oleh pemerintah maupun swasta sehingga selain dapat mengangkat derajat masyarakat secara ekonomi juga memberikan efek capability building atau peningkatan kapasitas dan institutional strengthening atau penguatan kelembagaan bagi masyarakat miskin.

Selanjutnya dari sisi tingkat penghantaran (delivery system) atau pemberi bantuan (pemerintah atau swasta), yaitu terkait terhadap sistem penghantaran sumber daya kepada masyarakat miskin yang dilakukan oleh pengelola program/proyek pengentasan kemiskinan. Pertama, yang perlu diperhatikan adalah mencakup agenda penciptaan akuntabilitas, transparansi, partisipasi dan penegakan hukum yang jelas dalam pengelolaan proyek pengentasan kemiskinan.

Terhadap gagasan tersebut diperlukan komitmen pemimpin yang jelas untuk menciptakan good governance serta mempunyai keberanian dan ketegasan dalam mewujudkannya. Kedua, diperlukan pemimpin yang menyadari bahwa kerja pembangunan adalah kerja kolaboratif yaitu bahwa pengentasan kemiskinan merupakan suatu siklus yang pada akhirnya dapat pula memberdayakan masyarakat dan terbentuk kelembagaan sehingga program bisa berjalan secara berkelanjutan. Ketiga diperlukan kebijakan anggaran yang mengarah pada upaya pengentasan kemiskinan, hal ini sangat penting karena pada era otonomi ini program-program cenderung berorientasi pada peningkatan pendapatan asli daerah (PAD).

Terlepas dari beberapa hal yang telah diuraikan, yang terpenting adalah bahwa keberhasilan pengentasan kemiskinan sangat tergantung dari peran semua pihak baik pemerintah, swasta, dan masyarakat. Selain itu, perlu upaya untuk terus menyadarkan dan membongkar pemahaman yang keliru tentang kemiskinan yang ada dalam masyarakat.

Perlu pembenahan mekanisme penyaluran bantuan dan tentunya didukung oleh kebijakan anggaran yang jelas terkait reduksi kemiskinan (pro poor budgeting policy). Jika hal tersebut telah beririsan maka mudah-mudahan target kemiskinan 1 (satu) persen mungkin saja dapat terwujud.

Penulis, PNS pada BPS Provinsi Bali

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *