Pada tahun 1980–an awal, masyarakat Bali termasuk gengsi disebut desanya miskin. Apalagi warganya banyak yang menjadi KK miskin. Predikat ini mereka tak terima lantaran orang Bali nyaris sejahtera semuanya.
Makanya jadilah masyarakat sebuah banjar di Kesiman Kertalangu merusak atribut mahasiswa KKN di desa itu lantaran di koran tertulis mahasiswa universitas tertentu menggarap desa miskin.
Saat itu, pejabat setingkat kades pun belum terima desanya dikategorikan desa miskin. Setelah dipaparkan bahwa kriteria miskin indikatornya variabelnya diukur dari jumlah SD, SMP, dan SLTA negeri di desa, dominasi lulusan pendidikan warganya, banyak dan ada tidaknya fasilitas kesehatan seperti puskesmas hingga rumah sakit, dan angka harapan hidup warganya serta faktor lainnya. Barulah mereka paham menjadi desa miskin yang kemudian berubah nama menjadi kata tertinggal.
Gengsi ini kian hilang ketika pemerintah menggelontorkan dana bantuan bagi warga miskin. Maka berlomba-lombalah bupatinya mendaftarkan warganya banyak yang miskin. Mereka tak memiliki rumah layak huni seperti berlantai tanah, tak memiliki MCK dan pendapatan tidak tetap.
Kini, Bali ingin menekan angka kemiskinan menjadi 1 persen dari 4-5 persen tahun sebelumnya. Apakah bisa mencapai angka itu? Ini pertanyaan besar yang bisa dijawab mampu dan tidak.
Jika pemerintah sekadar membantu KK miskin dengan cara membangun rumah mereka menjadi layak huni, kita pasti mengatakan sangat mampu. Apa artinya dana Rp 20-25 juta per KK miskin bagi Bali. Namun yang terpenting bukan itu sasaran akhirnya. Tujuan utama pemberantasan dan peningkatkan KK miskin menjadi sejahtera adalah pemberdayaan terutama pemberdayaan SDM-nya.
Bukankah kemiskinan dekat dengan kemelaratan. Kemiskian juga diakibatkan tingkat pendidikan mereka sangat rendah bahkan nol persen memiliki keahlian atau kompetensi dasar memenangkan pendidikan. Nah, tujuan pengentasan kemiskinan pada dasarnya adalah memotong generasi miskin itu sendiri. Caranya ya… dengan memberikan pendidikan setinggi-tingginya generasi milenial KK miskin. Ini menjadi tugas pemerintah lewat SKPD-nya.
Gubernur Bali Wayan Koster tak perlu sibuk karena serahkan saja pada BUMD dan BUMN di daerah yang notabene memiliki dana besar CSR untuk menangangi mereka sampai tuntas. Dikatakan tuntas karena tugas mengentaskan KK miskin tak berhenti hanya sampai membangun rumah layak huni.
Dikatakan tuntas jika generasi KK miskin benar-benar berdaya saing tinggi. Tampung semua biaya pendidikan mereka setinggi-tingginya, kemudian carikan mereka pekerjaan hingga bisa mandiri.
Jadi, sasaran pengentasan kemiskinan bukan menyasar para orangtua mereka dewasa ini, melainkan nex generation mereka agar berdaya saing. Jika sudah mandiri, mereka inilah yang memutus angka kemiskinan itu sendiri.
Bukan sebaliknya melahirkan generasi miskin kembali. Makanya program pengentasan kemiskinan harus tepat sasaran, bukan dipolitisasi. Artinya, jika angka kemiskinan di Bali sudah tercapai satu persen sudah dianggap berhasil luar biasa, sementara anak dan cucunya menanti menjadi keluarga miskin lagi.