Suasana ritual siyat sampian serangkaiana Karya Padudusan di Pura Penataran Sasih Pejeng, yang digelar Jumat (22/2). (BP/nik)

GIANYAR, BALIPOST.com – Warga tumpah ruah mengikuti tradisi Siat Sampian serangkaiana Karya Padudusan di Pura Penataran Sasih Pejeng, yang digelar Jumat (22/2). Tradisi dan ritual yang dilangsungkan saat ngemudalan Ida Bhatara manca-manca di Pura Penataran Sasih Pejeng itu meliputi nampyog hingga mesiat sampian. Rangkaian prosesi itu diikuti para pengayah jero sutri serta para juru sirat.

Bendesa Jro Kuta Pejeng Cok Gde Putra Pemayun yang ditemui disela-sela prosesi ini mengungkapkan, ritual nampyog, mebente-bentean, maombak-ombakan hingga mesiat sampian merupakan ritual rutin yang dilakukan tatkala pujawali dilangsungkan di Pura Penataran Sasih.

Dikatakan olehnya, selama ini rangkaian ritual tersebut tidak pernah untuk tidak dilangsungkan. “Ritual ini merupakan tradisi yang wajib dilaksanakan setiap setahun sekali saat pujawali di pura. Tradisi ini selama ini juga tidak pernah tidak dilangsungkan, dan hanya digelar ketika prosesi ngamudalan Ida Bethara manca-manca di Pura Penataran Sasih Pejeng,” ucapnya.

Baca juga:  BAP Lengkap, Kasus Pembunuhan Mengening Dilimpahkan

Diterangkan rangakaian ritual dan tradisi itu diawali dengan prosesi nampyog oleh para sutri dan juru sirat. Sutri dan juru sirat ini sendiri tak lain merupakan para pengayah yang selama Ida Bhatara Pura Penataran Sasih Pejeng nyejer tak pernah lepas dari kesibukan ngayah. Nampyog tersebut dilakukan dengan cara mengelilingi areal Pura Penataran Sasih. ” Artinya tidak hanya berkeliling biasa, para sutri dan juru sirat ini melakukannya sambil menari,” jelas Bendesa Jro Kuta Pejeng.

Usai prosesi nampyog, ritual dilanjutkan dengan prosesi mabente-bentean atau saling tarik. Ritual ini dilakukan para sutri dan juru sirat dengan saling berpegangan tangan, untuk selanjutnya saling tarik-menarik satu sama lain. Tak hanya itu, sambil berpegang tangan mereka juga secara serentak bergerak ke depan dan ke belakang, layaknya sebuah gerakan ombak. Inilah yang membuat ritual ini juga disebut dengan maobak-ombakan.

Baca juga:  Tak Dimanfaatkan, Pemkab Siapkan Rumah Jabatan DPRD jadi Tempat Isoter

Pantauan Jumat siang, meski cuaca siang cukup panas namun tidak menyurutkan semangat para sutri dan juru sirat. Terlebih semangat mereka kian bertambah dengan iringan tetabuhan baleganjur. Tak ayal sepanjang ritual ini berlangsung tak hanya para pemedek yang pendak tangkil, namun wisatawan yang menunggu ritual ini juga turut antusias menyaksikan dan mengabadikannya momen ini.

“Rangkaian prosesi nampyog, mebente-bentean, hingga maombak-ombakan dilakukan sebanyak tiga kali mengelilingi areal pura dengan mengikuti arah mapurwa daksina” imbuh Bendesa Jro Kuta Pejeng yang juga anggota DPRD Gianyar ini.

Begitu rangkaian itu selesai, para sutri dan juru sirat sempat beristirahat beberapa menit, sebelum prosesi siyat sampian dilangsungkan. Dimulai dengan sebuah teriakan histeris, para sutri dan juru sirat yang sepertinya mengalami kerasukan secara berbarengan langsung berlari menuju depan pelinggih pengaruman pura serta pelinggih ratu sanghyang. Sambil mengatupkan tangan melakukan persembahyangan.

Baca juga:  Novotel Bali Nusa Dua, Hadirkan Menu Baru di "The Square Restaurant"

Usai diperciki tirta, prosesi siat sampian langsung dilakukan setelah para sutri dan juru sirat ini mengambil tumpukan sampyan, yang sebelumnya telah disediakan di halaman pura. Sampian inilah yang digunakan para pengayah sebagai senjata untuk saling serang. Ada yang memukul pada arah punggung, perut dan beberapa bagian badan lainnya. ” Ritual ini berlangsung sekitar 15 menit, sebelum para prajuru memberikan komando untuk menyelesaikan ritual siyat sampian tersebut, ” tandasnya. (manik astajaya/balipost)

 

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *