Ilustrasi. (BP/istimewa)

Oleh GPB Suka Arjawa

Setelah sukses menggelar Asian Games ke-18 tahun 2018 yang lalu, Indonesia mengajukan diri menjadi penyelenggara Olimpiade tahun 2032. Surat resmi untuk mengajukan diri menjadi tuan rumah ini telah disampaikan melalui Kedutaan Besar Indonesia di Swiss, surat pengajuan dari Presiden Indonesia telah disampaikan kepada  Presiden Komite Olimpiade Internasional yang bermarkas di Swiss.

Paling lambat, kepastian tentang siapa yang menjadi tuan rumah tahun 2032 tersebut akan diketahui tahun 2024. Setelah Jepang tahun 2020, kemudian Paris tahun 2024, Los Angeles akan menjadi tuan rumah Olimpiade tahun 2028. Jika berhasil, Indonesia akan menjadi tuan rumah setelah itu.

Apa urgensi Olimpiade bagi Indonesia?

Keberanian untuk mengajukan diri menjadi tuan rumah ini telah menjadi sebuah kemajuan tersendiri bagi Indonesia. Paling tidak kepercayaan diri sudah mulai tumbuh. Keberanian ini tidak lepas dari keberanian dan keberhasilan Indonesia menyelenggarakan Asian Games dan Asian Para Games di Jakarta tahun 2018 yang lalu.

Keberhasilan ini memberikan pesan besar kepada Indonesia dan mampu mengungkap sisi lain dari masyarakat dan kemampuan bangsa Indonesia. Seperti kita rasakan dan ketahui bersama, hajatan politik dan berbagai komentar politik (dan politisi) di Indonesia, paling tidak sejak tahun 2014, menenggelamkan sisi sumber daya masyarakat yang sesungguhnya mempunyai potensi luar biasa yang mengagumkan.

Politik baru muruk yang diperlihatkan oleh para politisi Indonesia, secara tega-tegaan menyita perhatian dan mendominasi ruang publik sehingga menutupi potensi sumber daya besar yang dimiliki bangsa Indonesia. Membandingkan sumber daya tersebut dengan politik, terasa politik (dan politisi) Indonesia itu secuil.

Baca juga:  Memupuk Pendidikan Karakter Saat Belajar di Rumah

Sumber daya terpendam yang kemudian terlihat saat Asian Games (dan Asian Para Games), sunguh beragam yang apabila dikategorisasikan  komposisinya sedemikian. Dari sisi kehidupan sosial Indonesia, ternyata Asian Games memunculkan sikap gotong royong Indonesia. Bahkan, sifat gotong royongnya yang asli. Gotong royong asli itu berakar dari desa dan terkubur oleh lelaku politik lelakut dari politisi sejak zaman reformasi ini.

Sebagian dari “pekerja” Asian Games adalah sukarelawan dan mereka-mereka itu adalah anak-anak muda. Anak-anak muda itu adalah anak yang sadar dengan kepentingan negara dan bangsa, bukan pemuda cengeng yang tiap saat tangannya memegang HP atau ngomong cuk..cak..cuk… di sembarang tempat tanpa prestasi apa-apa.

Sukarela itu adalah dasar dari gotong royong dan itu muncul dari sebuah kesadaran. Pada masyarakat tradisional pada masa lalu, kesadaran itu bersumber dari keterbatasan diri dan pentingnya kerja sama untuk mencapai tujuan. Pada masa modern, dan terlihat pada Asian Games itu adalah kesadaran akan pentingnya kerja sama untuk mencapai tujuan negara secara bersama-sama.

Sekaligus juga melalui sukarelawan itu memperlihatkan jati diri sebagai bangsa Indonesia. Inilah sumber daya anak bangsa yang tertutup oleh perilaku lelakut para politisi kita yang tega-teganya menyita ruang publik. Ada lagi sukarelawan yang lebih dahsyat, yaitu memungut sampah (termasuk putung rokok) di areal lomba saat itu.

Yang kedua, dari sisi seni dan pengelolaan  seni itu sendiri. Para pemirsa televisi sudah melihat bagaimana Tari Saman saat pembukaan Asian Games demikian memukau penonton di seluruh Asia, bahkan mungkin dunia. Pengelolaan tarian tersebut memerlukan kecekatan, disiplin, dan sikap profesional.

Baca juga:  Rekontruksi Moralitas Pemilu 2024

Dapat dilihat, bagaimana ribuan penari (yang masih muda-muda itu) mampu bergerak cepat sambil menyalin warna baju hanya sepersekian detik untuk ditampilkan menjadi tarian yang indah. Tanpa profesionalisme penari dan koreografernya, tidak akan mungkin mampu menghasilkan tarian yang memukau dunia.

Tari itu adalah asli Indonesia, tepatnya di Aceh. Dan tari itu hanya satu dari ribuan tari tradisional yang dimiliki oleh Indonesia di berbagai pelosok tanah air. Bisa dibayangkan, jika ribuan tari tradisional itu dapat digali dan dikoreografikan dengan indah, berapa dunia yang akan kagum dengan Indonesia. Dari tarian ini saja sudah dapat dilihat bahwa ada dua sumber daya yang dimiliki Indonesia yang kurang diketahui sebelumnya, yaitu tarian dan kemampuan untuk mengelola tarian tersebut (baik oleh penari maupun koreografer).

Ketiga, dilihat dari sisi kemampuan meningkatkan prestasi. Banyak yang menyebutkan bahwa prestasi gemilang Indonesia di Asian Games disebabkan oleh keberhasilan pencakk silat meraih medali. Cabang olahraga ini merupakan cabang asli tuan rumah sehingga negara-negara lain tidak akan mampu bersaing dengan Indonesia. Pernyataan ini memang benar. Akan tetapi, setiap tuan rumah mendapatkan hak untuk menggelar cabang olahraga yang menjadi favoritnya.

Bahwa Indonesia berhasil melobi dan memasukkan pencak silat sebagai salah satu cabang di Asian Games 2018 yang lalu, itu merupakan keberhasilan diplomasi. Di sinilah kelihatan lagi satu poin bagi Indonesia, di mana kemampuan diplomasi tersebut dapat meluluskan apa yang menjadi tujuan Indonesia. Masuknya pencak silat pada pesta olahraga ini, bukan saja keberhasilan diplomasi tetapi sekaligus tindakan pengenalan diri yang lebih luas di dunia dengan tujuan agar kelak dapat diterima di Olimpiade.

Baca juga:  Filosofi Hanoman dan Vaksinasi di Zona Hijau

Keempat adalah soal fasilitas. Indonesia menggelar perhelatan Asian Games ini tanpa membangun fasilitas olahraga yang baru. Indonesia menggunakan fasilitas yang sudah ada, “sisa-sisa’’ dari Asian Games tahun 1962. Stadion Utama Gelora Bung Karno, termasuk gedung tua yang ada di Jalan Asia Afrika, Jakarta dipoles lagi, dan  ternyata berhasil memuaskan peserta dan juga penonton.

ni menandakan bahwa kita sesunggunya mempunyai pikiran dan strategi minimalis tetapi mendapatkan hasil maksimal. Inilah yang seharusnya mampu menjadi inspirasi dan contoh bagi pengembang rakus yang suka menghancurkan gedung-gedung tua untuk membangun kompleks pertokoan baru.

Banyak lagi yang harus dilihat, seperti misalnya kemampuan menjaga keamanan selama kegiatan Asian Games berlangung.

Itulah sumber daya dan modal sosial yang harus dipakai oleh Indonesia berdiplomasi lagi untuk bisa menggelar Olipmiade pada tahun 2032. Tidak banyak negara mempunyai kemampuan seperti itu, dan ternyata Indonesia mampu menggali potensi sumber daya tidak kelihatan yang tertutup oleh gaduhnya politisi pemula di panggung politik.

Indonesia sangat perlu menjadi tuan rumah Olimpiade untuk menggali sumber daya tidak kelihatan tersebut demi memberikan kepercayaan diri kepada masyarakat kepada bangsa dan negaranya. Keberhasilan menghelat kegiatan yang bertaraf internasional menjadi modal besar untuk mengeratkan persatuan bangsa, memelihara dan memperbesar sikap nasionalisme dan membungkam serta membikin malu para politisi gadungan yang lebih banyak mengumbar keguncangan kepada masyarakat.

Penulis adalah staf pengajar Sosiologi FISIP, Universitas Udayana

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *