Pertumbuhan ekonomi Bali selalu di atas rata-rata nasional. Namun tidak demikian halnya dengan pemerataan. Di Bali masih timpang. Terbukti penduduk miskin di Bali masih banyak. Artinya, kemajuan pariwisata yang mendongkrak pertumbuhan ekonomi, belum sepenuhnya dinikmati oleh masyarakat Bali.
Apalagi saat ini, sebagian besar usaha pariwisata dilakoni penduduk luar. Ini sungguh memprihatinkan, di tengah pariwisata budaya yang sangat diagung-agungkan. Mengapa? Karena pelaku budaya dan penjaga budaya belum merasakan kemajuan pariwisata. Artinya, pariwisata belum memberikan keadilan kepada krama Bali.
Selain itu, pertumbuhan ekonomi Bali yang ditopang sektor tersier seperti finance, perbankan, dan lainnya, hanya dinikmati oleh penduduk dengan pendidikan tinggi dan kelas masyarakat yang tinggi. Semuanya ini sebenarnya sudah disadari sejak lama. Berjayanya kapitalis takkan memberikan kontribusi yang besar terhadap kesejahteraan rakyat.
Apalagi berharap keadilan. Makanya ketika Ida Bagus Mantra menjadi Gubernur Bali, digagaslah terbentuknya Lembaga Perkreditan Desa (LPD). Bahkan sampai kini LPD masih ada dan keberadaannya terus diperkuat. Sebab, diyakini LPD akan mampu berperan untuk menopang ekonomi pedesaan. Ideal memang.
Namun faktanya ada beberapa LPD yang mengalami kebangkrutan. Ada pula LPD yang berlomba-lomba menarik tabungan masyarakat. Setelah banyak ujung-ujungnya dibungakan di bank. Tidak digulirkan kembali ke masyarakat.
Padahal tujuan LPD ada adalah untuk mendorong tumbuhnya usaha-usaha baru di desa. Sebab, kita masih memerlukan banyak pengusaha. Utamanya di desa-desa. Tujuannya, bukan semata-mata mau keluar dari krisis tetapi itu juga sebuah bagian dari desain bagaimana upaya menggerakkan roda ekonomi lebih cepat dan berdampak lebih cepat pula terhadap kemakmuran rakyat.
Selain itu upaya menumbuhkan pengusaha muda ini juga untuk mengerem dominasinya kaum kapitalis. Banyak hal yang harus dipikirkan. Jangan sampai kehadiran investor justru menimbulkan masalah baru, baik sisi ekonomi maupun kultural.
Langkah lebih tepat bagaimana manusia Bali juga bisa berlaku sebagai investor. Tidak saja dalam konteks finansial, juga bagaimana manusia Bali itu bisa menjadi sosok yang mampu menjaga keutuhan aset yang dimilikinya. Baik budaya, alam, ekonomi dan sebagainya. Kalau itu bisa dilakukan, maka itu juga sebuah investasi yang sangat besar.
Untuk itu sudah saatnya krama Bali dan pemerintah daerah yang kini sudah otonom memberikan perhatian lebih besar kepada masalah kemandirian. Kemajuan yang ingin dicapai dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat haruslah bersamaan dengan peningkatan kemandirian.
Bangsa yang ingin dibangun bukan hanya yang maju, tetapi juga mandiri. Konsep kemandirian ini bukanlah kemandirian dalam keterisolasian, tetapi mandiri untuk memenangkan pasar di era global.
Selain itu, tujuannya agar Bali tidak bergantung pada satu sektor, pariwisata. Mesti ada sektor lain yang dikembangkan secara serius.
Pertanian jangan dilupakan. Memang ada kesan kuat ketika Bali memilih jalan pariwisata maka pertanian dikesampingkan. Ini bukan lagi kesan tetapi fakta yang tak bisa diganggu gugat. Banyak indikator yang mendukung simpulan ini. Alih fungsi lahan, banyaknya subak yang terbengkalai, animo anak muda yang tidak lagi melirik pertanian dan sebagainya.
Fenomena ini mesti segera disikapi secara serius. Tidak bisa tidak, sinergisitas antara banyak sektor harus dilakukan. Kalau tidak maka hasilnya tidak optimal. Sektor pertanian saat ini bukan masa lalu yang hanya dikenang.
Sektor agraris bukan pula hanya tempelan pariwisata. Ini harus dikerjakan lagi secara sungguh-sungguh. Swasembada pangan bukan lagi impian. Ke depan harus ada sinergi dalam pengembangan sektor pariwisata dan pertanian. Bagi Bali hal ini tentu belum terlambat asal ada niat dan rencana aksi yang jelas.