MANGUPURA, BALIPOST.com – Bupati Badung I Nyoman Giri Prasta membuka Pesamuhan Sulinggih se-Badung tentang upacara Tumpek. Pesamuhan Sulinggih yang diprakarsai oleh PHDI Badung ini berupaya menyatukan persepsi soal pelaksanaan upacara tumpek.
Acara dihadiri Dharma Upapati Parisada Provinsi Bali, Ketua DPRD Badung I Putu Parwata, Dharma Upapati Parisada Badung Ida Pedanda Gede ketut Putra timbul, Ketua Harian PHDI Badung Gede Rudia Adiputra, Dinas Kebudayaan Badung,Kabag Humas Badung Ngurah Thomas Yuniarta serta para Sulinggih se-Badung. dilaksanakan di ruang Kriya Gosana “Pusat Pemerintahan Kabupaten Badung Mangupraja Mandala,” Senin (25/2).
Pesamuhan Sulinggih ini untuk meluruskan upacara yang berkaitan dengan rerahinan tumpek bagi umat Hindu. Ini tentu sangat penting mengingat upacara rerahinan Tumpek (ada 6 tumpek) merupakan praktik Sada Cara (bagian lingkup kecil dari lingkup acara).
Tatwa Susila dan Acara wajib dilaksanakan oleh umat Hindu, namun karena pemahaman umat belum utuh dan seimbang, menyebabkan terjadinya keberagaman praktik upacara agama. Selain itu kurang dipahami maksud, tujuan, serta maknanya.
Bupati Badung I Nyoman Giri Prasta dalam sambutannya mengatakan Pemerintah Kabupaten Badung sangat mengapresiasi dilaksanakannya pesamuhan sulinggih ini. “Harapan kami melalui paruman sulinggih ini kita dapatkan arah yang baik dan benar. Berdasarkan Sruti dan smerti dilakukan proses pembelajaran kepada umat se-dharma dan dari dialog para Rsi muncul lah berbagai kitab ulasan, seperti kitab Mantra, Brahmana, Upanisad, Araniaka, Purana, Sad Darsana, Manawa Dharmasastra, Sarasamuscaya, termasuk di Bali muncul lontar, lontar tatwa, tutur, upacara, wariga, usada, babad, arsitek, seni sastra, dan lain-lain,” ujarnya.
Juga terdapat ratusan ribu lontar yang isinya aspek termasuk upacara dengan uraian materi yang beragam pula. Paruman Sulinggih ini dipandang sangat diperlukan untuk menemukan kesepahaman dalam tafsiran, mengingat tidak adapun satu lontar yang memuat tentang upacara sebagai kebenaran mutlak. “Semoga dengan paruman sulinggih ini kita dapatkan satu persepsi tentang upacara Tumpek. seperti Tumpek Landep adalah hari peringatan untuk memuja Bhatara Siwa dan hari Yoganya Sang Hyang Pasupati,” sebutnya.
Bupati Badung mengatakan di masyarakat banyak umat membuat dan menghaturkan upacara otonan pada mobil, padahal banten otonan/ayaban mestinya diaturkan (disuguhkan) kepada obyek yang bernyawa atau berkekuatan niskala atau berjiwa. Seperti, manusia, binatang, tumbuhan, Dewa pitara/leluhur maupun Hyang Widhi. Demikian pula dengan Saniscara Kliwon Kuningan yang merupakan turunnya para dewata diiringi oleh para pitara (leluhur) ke dunia untuk menganugerahi kesucian di dunia serta menikmati upacara haturan nikmatnya. “Namun fakta di masyarakat bisa sedikit berbeda. Karena itu paruman sulinggih ini dapat menjadikan satu rumusan kebersamaan dalam pelaksanaan upacara Tumpek bagi umat Hindu se-dharma,” tegasnya
Sementara itu, Ketua Panitia Gede Rudia Adiputra melaporkan maksud dan tujuan dilaksanakannya paruman ini adalah untuk penyamaan persepsi oleh umat se-dharma dan meluruskan apa dan bagaimana upacara rerahinan tumpek dilaksanakan. Kemudian sikap dalam pelaksanaan sehari-hari mendapat motivasi dalam pelaksanaan upacara tumpek itu sendiri secara skala niskala itu berjalan seimbang oleh krama umat se-dharma. “Agar agama dengan perkembangan teknologi di era globalisasi ini dapat berjalan seimbang,” jelasnya.
Ia mengatakan umat Hindu tidak bisa melakukan ritual semata tanpa mengimplementasikan dalam kegiatan se hari-hari dalam upacara. “Ini kami libatkan semua sulinggih semoga paruman ini dapat menemukan rumusan persamaan persepsi. Jika ini sudah dirumuskan, maka kami dari ulahka akan menyusun buku untuk dijadikan pedoman dalam perayaan upakara dan upacara perayaan tumpek oleh krama se-dharma,” paparnya.
Dalam acara tersebut Bupati Badung I Nyoman Giri Prasta menerima sebuah buku Dharmatula dari Ketua Panitia Gede Rudia Adiputra. (Adv/balipost)