Capres nomor urut 01 Joko Widodo (kiri) berjalan bersama capres no urut 02 Prabowo Subianto sebelum mengikuti Debat Pertama Capres & Cawapres 2019, di Hotel Bidakara, Jakarta, Kamis (17/1). (BP/ant)

Oleh Dewa Gde Satrya

Memasuki tahun 2019, dukungan ke dua pasang capres-cawapres mengalir dari berbagai kalangan. Di antara mereka, kelompok terpelajar dari kalangan alumni Perguruan Tinggi (PT) juga menyatakan arah dukungan politiknya.

Di Jakarta, baik Jokowi maupun Prabowo, sama-sama mendapat dukungan dari alumni PT yang berbeda. Di Surabaya juga demikian, dukungan dari alumni PTN diarahkan ke Jokowi.

Survei yang dilakukan LSI pada Januari 2019, Denny JA menyatakan, pemilih yang merupakan kaum terpelajar mencapai 11,5 persen. Sebanyak 18,1 persen lainnya belum menentukan dukungan. Di ranah ini, dukungan dari kalangan civitas akademika PT menarik untuk ditinjau.

Civitas akademika sebenarnya yang memiliki eksistensi utama adalah mahasiswa, sementara dukungan yang diberikan mengatasnamakan PT datang dari kalangan alumni. Mengasosiasikan alumni PT sebagai agent of social change sebenarnya tidak ada salahnya, oleh karena status sebagai alumni PT memungkinkan para alumni dekat dengan identitas atau jati diri mahasiswa.

Tanpa berlarut dalam dikotomi gerakan alumni PT sebagai gerakan moral atau gerakan politik, namun yang perlu menjadi perhatian sentral adalah gerakan yang mengatasnamakan PT haruslah elegan, bermartabat dan mencerahkan yang akan memenangkan hati masyarakat. Dengan tiga tipikal gerakan ala alumni PT (elegan, bermartabat, dan mencerahkan) yang ditampilkan di sejumlah aksi dukungan ke capres akan menentukan keberhasilan pencapaian tujuan gerakan.

Baca juga:  Pemanfaatan Teknologi dan Pengembangan Sikap Empati

Karena itu, dalam setiap aktivitasnya berorganisasi dan bergerakan, alumni PT haruslah mencerminkan idealisme pendidikan. Keberhasilan maksud gerakan mahasiswa angkatan 98 misalnya, selain ditinjau dari aspek-aspek organisatoris seperti adanya isu sentral, juga esensi mahasiswa sebagai gambaran manusia dewasa yang ideal dan layak diharapkan tampak nyata.

Gerakan mahasiswa waktu itu yang tetap relevan hingga saat ini dan masa selanjutnya haruslah mencerminkan model manusia akademik dengan kepemilikan tiga hal sekaligus, yaitu attitude yang baik (perilaku etis, jujur, rajin, disiplin, dan amal saleh), keunggulan psikomotorik (keterampilan dalam mengidentifikasi dan memecahkan masalah, terampil bekerja), dan kognitif yang unggul (pengetahuan luas dan mendalam).

Gabungan dari ketiga aspek tersebut menjadikan gerakan yang membawa nama PT terbebas dari cap gerakan yang tidak berbobot dan hanya menimbulkan keresahan. Sebaliknya, dengan empati dan kepercayaan yang tinggi dari masyarakat, gerakan yang membawa nama PT haruslah pertama-tama menunjukkan kegiatan yang bersimpatik, atraktif, dan harmonis di antara bauran massa. Dan karena itu gerakan yang membawa nama PT amat berbeda dengan barisan ribuan massa partai politik.

Secara luas, sebagaimana dikhawatirkan publik, masalah keamanan diharapkan tetap terkendali, namun tiada pengawasan yang represif yang hanya akan menimbulkan korban. Di sektor kehidupan yang sensitif terhadap kerumunan massa, seperti industri jasa dan pariwisata, masalah keamanan seperti ikan dan air, tak terpisahkan dan saling memengaruhi.

Baca juga:  Dilema Penegakan Hukum Saat Pandemi

Untuk menghasilkan gerakan yang membawa nama PT yang mampu memenangkan hati masyarakat, maka gerakan itu sendiri haruslah berbasis akademik, sebagaimana dunia perguruan tinggi adalah dunia akademik. Pertama, dunia akademik memiliki budaya tersendiri yang disebut budaya akademik. Kedua, dalam budaya akademik, peran pikiran (rasio) lebih dominan dibanding peran emosi.

Ini berbeda dengan dunia pergaulan sehari-hari. Ketiga, semua pernyataan memiliki argumentasi yang dapat dinilai benar dan salahnya. Keempat, setiap argumentasi harus dapat ditelusuri fakta-fakta yang mendukung. Kelima, kejujuran merupakan prasyarat utama. Keenam, segenap nilai dalam dunia akademik termuat dalam etika akademik (Daldiyono, 2009: 46).

Kepemimpinan Heroik

Praktik kepemimpinan menjadi lesson learning yang berharga mahasiswa dalam berorganisasi dan melakukan gerakan. Sebagaimana dialami mantan tokoh mahasiswa era 66 dan 98 yang beberapa di antaranya menduduki kepemimpinan nasional, era melakukan konsolidasi gerakan mahasiswa merupakan masa-masa kaderisasi kepemimpinan yang berharga.

Di antara sejumlah referensi dan praktik gaya kepemimpinan yang efektif, sekiranya yang tercermin dalam setiap aksi mahasiswa adalah gaya kepemimpinan heroik. Model kepemimpinan yang semestinya secara alamiah dimiliki oleh setiap orang itu berakar pada gagasan bahwa kita semua adalah pemimpin, dayanya berasal dari dalam, menjadi cara hidup dan bukan sebatas tindakan, dan bahwa seluruh kehidupan kita penuh dengan kesempatan-kesempatan untuk memimpin.

Baca juga:  Masa Kehidupan Baru: Rasionalisasi atau Tendensi

Kepemimpinan heroik tidak mengandalkan mekanisme perintah dan kontrol seperti sedianya dipahami dan dijalani pada model kepemimpinan umumnya. Sebaliknya, kepemimpinan heroik mendasarkan pada empat hal, yaitu kesadaran diri, ingenuitas, cinta dan heroisme (Chris Lowney, 2005).

Di situ, tampak bahwa kepemimpinan heroik tidak haus kekuasaan dan tidak menghendaki nasib buruk pada setiap orang yang dipimpin. Sebaliknya, dengan penuh cinta menghendaki supaya setiap orang yang dipimpin mampu menjadi pemimpin bagi dirinya sendiri dan lingkungan sosial di mana pun mereka berada. Dengan demikian, mereka dapat menyemangati orang yang lain untuk mempraktikkan hal yang serupa.

Model kepemimpinan heroik ini diyakini sedang dijalankan oleh alumni PT yang mengalirkan dukungan ke capres tertentu. Harapannya pula, capres dan cawapres terpilih nantinya, juga menjalankan amanah rakyat, memberi kesejahteraan kepada masyarakat. Dan di sanalah gagasan kepemimpinan heroik menjadi nyata.

Penulis, dosen Hotel & Tourism Business, Fakultas Pariwisata, Universitas Ciputra Surabaya

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *