Oleh I Nyoman Bagia
Politik yang dipraktikkan di Indonesia cenderung memperlihatkan identitas yang menonjol. Itu dapat berwujud pada partai, suku, bahkan agama. Partai tertentu seolah tidak mau bersalaman dengan anggota partai lain. Dalam perbincangan publik, sering muncul suku tertentu akan mempunyai kecenderungan memilih partai yang sudah diplotkan.
Berbagai aksi politik yang terlihat, memperlihatkan pengaruh agama dalam kegiatan mereka. Kecenderungan ini memberikan gambaran bahwa Indonesia saat ini mempraktikkan politik identitas yang kental. Politik seperti ini merupakan kemunduran apabila dibandingkan dengan masa Orde Baru.
Justru “musuh” dari reformasi memberikan contoh yang bagus bagaimana menghindari politik-politik yang khusus tersebut. Tahun 1977, saat pemilu kedua Orde Baru digelar, dua partai dapat melaksanakan kampanye bersama, yaitu PDI dengan PPP. Jika kaus peserta kampanye menggambarkan PPP, bendera yang dipegang adalah PDI.
Ini merupakan kenangan nostalgia yang bagus untuk dipelajari kembali di Indonesia. Nasionalaisme Indonesia kian terpuruk. Tetapi bukan tidak mungkin hal ini dapat diperbaiki untuk membantu meningkatkan nasionalisme Indonesia pada masa mendatang.
Ada beberapa unsur yang harus diperhatikan untuk meningkatkan perasaan tersebut. Nasionalisme merupakan nilai yang dapat dipakai sebagai patokan sebuah bangsa untuk merasa bangga terhadap bangsa, kemudian negaranya.
Awal dari nilai tersebut ada pada rasa, dan ini dapat hinggap pada individu yang kemudian apabila menyatu dalam kelompok-kelompok yang membesar, itulah yang kemudian menjadi nasionalisme. Perasaan tersebut dapat berupa kebanggaan yang menjadi milik bersama. Dari sinilah awalnya. Pembentukan rasa bangga ini dapat dimulai dari prestasi yang mampu meningkatkan kepercayaan diri kolektif berbangsa.
Dengan demikian, dari konteks ini dapatlah dilihat bagaimana prestasi tim sepak bola Indonesia U-22 yang menjadi juara Piala AFF di Kamboja beberapa waktu lalu. Dari sisi prestasi, itu merupakan pencapaian maksimal dan pasti membuat rasa bangga bagi seluruh rakyat Indonesia.
Mungkin prestasi yang diraih ini mempunyai kategori yang lebih rendah apabila dibanding dengan keberhasilan menjadi juara Piala AFF senior yang sampai kini masih belum bisa dicapai Indonesia. Akan tetapi, dari konteks “sepinya” juara yang diraih Indonesia di ajang internasional (dalam bidang sepak bola), maka juara Piala AFF U-22 ini merupakan penghapus dahaga di tengah kekeringan.
Untuk memupuk dan membangkitkan rasa nasionalisme itu, maka prestasi tim U-22 ini dapat dipandang sebagai titik awal lagi bagi Indonesia untuk mendulang prestasi demi prestasi di bidang olahraga. Tentu cabang sepak bola yang menjadi patokan awal. Sebab, bagaimanapun cabang olahraga ini yang paling populer di Indonesia dan kepopulerannya itulah yang dapat memberikan pemantik rasa nasionalisme jika telah berprestasi.
Tanpa memandang remeh cabang-cabang olahraga yang lain, prestasi juga harus diraih karena pasti akan mempunyai kontribusi pada peningkatan rasa nasionalisme Indonesia. Keberhasilan Indonesia di Asian Games yang lalu menjadi bukti, bagaimana rasa kebanggaan berbangsa itu tumbuh setelah berhasil menyelenggarakan event tersebut, dan sukses berprestasi.
Di luar bidang olahraga, nasionalisme juga dapat ditumbuhkan melalui lagu-lagu populer. Lagu, dalam konteks sosial mempunyai kedekatan sosial yang tinggi dengan masyarakat karena “kehadirannya” langsung bersentuhan kepada individu dan kelompok. Lagu yang populer, dengan demikian, pasti akan menyentuh langsung masyarakat. Saat ini, lagu-lagu yang mengaitkan kebanggaan terhadap keberadaan Indonesia yang kaya dan indah, masih dirasa kurang.
Pada zaman Orde Baru, Grup Koes Plus mencipta seri lagu berjudul Nusantara sampai tujuh seri, dan berlanjut pada tema Nusantara setelah dekade delapanpuluhan. Lagu-lagu tersebut semuanya menjunjung tinggi Indonesia, mengagungkan masyarakatnya serta kesuburan tanah dan berbagai keunggulan Indonesia.
Seluruh seri lagu tersebut populer. Tidak itu saja, sebagai pencipta lagu Guruh Sukarno Putra juga mencipta lagu yang menyanjung Indonesia, di antaranya ‘’Zamrud Khatulistiwa’’ yang dinyanyikan oleh Keenan Nasution. Lagu ini populer di kalangan generasi muda dekade tujuh puluhan.
Lagu tersebut mampu memberikan rasa bangga dan mengingatkan masyarakat tentang keunggulan Indonesia di mata dunia. Hal inilah yang membuat dan memantik persatuan, rasa bangga dan kemudian memberikan penyemangat untuk tumbuhnya nasionalisme Indonesia di kalangan masyarakat.
Di samping karena kekuatan Orde Baru yang lebih memerintah secara otoriter, tetapi sumbangan lagu dan prestasi olahraga pada masa itu, ikut memberikan kontribusi kepada pembangkitan nasionalisme Indonesia.
Di luar olahraga dan lagu-lagu seperti yang diuraikan di atas, nasionalisme juga akan dipengaruhi oleh perilaku politisi. Pada masa Orde Baru, perilaku politisi boleh dikatakan terkontrol. Mereka dikoordinasikan dari “pusat” (Jakarta). Jika berani berbuat macam-macam akan di-drop out oleh tokoh partainya di Jakarta. Dengan demikian, di luar kelemahan yang dimilikinya, dari sisi perilaku, mereka dapat dikontrol sehingga tidak mampu berbuat macam-macam.
Misalnya membuat pernyataan yang mendeskreditkan pihak lain, termasuk partai lain dan politisi lawan. Hal ini mampu menahan pengaruh yang lebih luas kepada perilaku-perilaku yang buruk pada elite politik yang lain.
Kondisi inilah kiranya yang menjadi tantangan bagi generasi politisi sekarang. Dengan kehadiran media sosial yang sulit dikontrol, ujaran kebencian justru banyak dikeluarkan oleh para politisi sehingga ujaran tersebut dapat tertangkap sampai pada masyarakat. Bahkan, pada masyarakat yang paling bawah.
Kekurangpahaman atas makna kalimat dan simbol-simbol yang tertera di media sosial, membuat politik tersebut terkelompok menjadi beberapa bagian seperti suku, agama, ras dan sebagainya. Inilah yang memunculkan politik identitas itu meningkat sehingga membuat nasionalisme Indonesia terkikis. Kebencian pada politisi secara tidak langsung juga akan diikuti oleh suku dan agama politisi bersangkutan sehingga memunculkan rasa nasionalisme menurun.
Indonesia harus mempertahankan nasionalisme ini secara terus-menerus. Banyak alasan yang menjadi latar belakang pemeliharaan nasionalisme ini. Dalam konteks kekayaan alam, Indonesia itu tidak ada duanya di dunia sehingga negara-negara kaya yang terancam miskin di masa depan, akan mengincar Indonesia sebagai ladang kuasa mereka.
Minyak mungkin pada masa depan tidak akan terlalu berpengaruh lagi karena energi fosil ini telah digantikan oleh tenaga angin atau sinar matahari, atau tenaga air. Maka kita harus waspada dengan pengaruh negara-negara penghasil minyak sekarang yang masa depannya mulai terusik.
Juga negara industri yang kekurangan pasokan bahan baku, harus diwaspadai karena Indonesia memiliki hampir seluruh bahan baku industri. Dengan alasan inilah maka, nasionalisme Indonesia itu harus dipelihara dan dipupuk terus agar tidak goyah.