Oleh Ribut Lupiyanto
Hampir seluruh wilayah Indonesia, termasuk Bali kini masuk puncak musim penghujan. Bencana yang mengintai adalah banjir, longsor, dan angin kencang sebagaimana terjadi di Makassar dan sekitarnya. Sedangkan sebelumnya pada wilayah sama sangat mungkin terjadi bencana kekeringan. Kedua fenomena ini adalah bukti terjadinya gegar hidrologi yang menjadi pemicu hadirnya bencana hidrologi.
Kekeringan dan banjir bagaikan dua sisi mata uang yang datang silih berganti. “Terlampau banyak dan terlampau sedikit air adalah merusak dunia” demikian pepatah memperingatkan. Indonesia sebagai negara tropis semestinya makmur air dan bebas. Indonesia memiliki potensi sumber daya air nomor lima terbesar sedunia. Penyebab kekeringan di Indonesia diprediksikan karena penyimpangan iklim, gangguan keseimbangan hidrologis, dan kekeringan agronomis. Indonesia juga negara agraris yang mestinya punya ruang terbuka hijau cukup untuk mengantisipasi banjir.
Setiap orang membutuhkan setidaknya 2.000 meter kubik air per tahun, sedangkan rata-rata mereka hanya memiliki akses 1.300 meter kubik. Permintaan air yang telah melebihi pasokan yang tersedia ini menghasilkan kelangkaan air.
Permintaan ini terus bertambah seiring pertambahan penduduk dan dinamika pembangunan, sedangkan pasokan sumber daya air cenderung statis bahkan menyusut. Krisis kelangkaan air atau kekeringan menjadi hantu bagi perjalanan peradaban manusia.
Optimalisasi neraca air yang tidak tercapai bahkan menimbulkan bencana disinyalir terjadi karena karut-marut manajemen sumber daya air. Krisis air didiagnosis terjadi karena efek gegar hidrologi. Gegar hidrologi seperti halnya gegar otak, merupakan kondisi di mana pengelola negeri ini tidak mampu memahami dan gagal memfungsikan kaidah-kaidah hidrologi dalam pembangunan (Siswantara, 2011).
Gegar hidrologi menyebabkan terganggunya siklus hidrologi. Manajemen sumber daya air termarginalkan oleh ambisi kepentingan ekonomi. Malapraktik pembangunan fisik terjadi tanpa kendali. Konversi lahan terbuka menjadi area terbangun merajalela. Hutan kota disulap menjadi hutan bangunan.
Sempadan sungai yang mestinya sebagai kawasan hijau justru padat permukiman. Deforestasi marak terjadi dan mengabaikan prinsip konservasi. Lahan terbuka untuk menyerap air hujan menjadi barang langka di perkotaan. Kodatie (2004) menyebutkan akibat fenomena tersebut diprediksikan 25 persen air hujan menjadi aliran mantap dan sisanya terbuang percuma ke laut. Aliran permukaan air hujan yang selama ini hanya terbuang percuma perlu dikelola dengan baik.
Gegar hidrologi mesti diterapi total melalui manajemen sumber daya air terpadu. Manajemen dapat dilakukan dengan mengontrol dan menyeimbangkan antara aspek penyediaan (supply), kebutuhan (demand), dan alokasi (distribusi). Manajemen tidak bisa dilakukan responsif dan parsial, baik dalam hal aspek maupun spasial. S
elama ini, kekeringan hanya dijawab dengan kebijakan dropping air. Alhasil, krisis air hanya teratasi sesaat dan cepat kambuh di kemudian hari. Harmonisasi penting diciptakan antara aspek teknis, ekonomi, sosial budaya, politik, dan ekologi. Pendekatan spasial juga harus diterapkan melalui pengelolaan berbasis daerah aliran sungai (DAS).
Pembenahan ekologi secara natural hendaknya diprioritaskan sembari melakukan rekayasa lingkungan. Ruang terbuka hijau (RTH) perkotaan, sebagaimana amanat UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang wajib diupayakan minimal mencapai 30 persen dari luas wilayah. Kawasan sempadan sungai juga mesti dikembalikan fungsinya. Revitalisasi kawasan dapat dilakukan dengan strategi vertikalisasi.
Rumah susun adalah solusi manusiawi bagi pemukim liar. Rekayasa lingkungan diimplementasikan dengan prinsip optimalisasi neraca air. Salah satu strategi efektif yang layak diupayakan adalah metode pemanenan air hujan (rainwater harvesting).
Fungsi resapan daerah hulu mesti dipertahankan dengan pengendalian konversi lahan dan peningkatan vegetasi. Sedangkan pemanenan air hujan dapat menjadi solusi praktis kekurangan air sekaligus banjir. Untuk kepentingan jangka pendek, hasil pemanenan dapat langsung dimanfaatkan bagi irigasi, cuci, dan mandi, serta untuk jangka panjang dapat menambah suplai air tanah dengan meresapkannya. Air hujan dengan treatment tertentu bahkan dapat diolah untuk keperluan minum.
Banyak model pemanenan yang dapat dikembangkan, antara lain penampungan air hujan (PAH), sumur resapan, lahan terbuka, lubang biopori, polder, dan lainnya. Pola dan prioritas pemanfaatan air pun dapat dilakukan seperti memanfaatkan air hujan untuk keperluan sekunder, misalnya menyiram tanaman.
Wilayah kepulauan di Indonesia mayoritas dibelah oleh sungai-sungai. Sungai merupakan ekosistem yang membutuhkan manajemen pengelolaan DAS secara konsisten dan berkelanjutan. Manajemen DAS di Indonesia belum dikelola secara baik. Kementerian PU menyebutkan sekitar 282 DAS dalam kondisi sangat kritis dan menjadi penyebab bencana banjir dan kekeringan.
Sungai yang multipotensi juga menjadi faktor negatif citra wilayah. Sungai identik dengan kekumuhan, penuh sampah, lokasi pembuangan limbah, dan lainnya. Sungai cenderung menjadi bagian belakang belum menjadi wajah depan kawasan. Ke depan sungai mesti dikembalikan dan dibalikkan menjadi primadona kawasan. Konsep water front city dapat dikembangkan secara seimbang ekologi, sosial, dan ekonomi.
Krisis air adalah hantu masa depan manusia. Sekelompok penduduk yang kini masih aman airnya tidak ada jaminan kondisi ke depan. Diagnosis krisis air yang mengindikasikan sebab gegar hidrologi dan merekomendasikan manajemen terpadu penting disadari dan dijadikan isu bersama. Kunci implementasi manajemen sumber daya air terpadu adalah komitmen politik pemimpin negeri, kepedulian swasta, dan partisipasi masyarakat.
Penulis, Deputi Direktur C-PubliCA (Center for Public Capacity Acceleration)