Oleh I Wayan Nuka Lantara
Beberapa hari terakhir, ramai dibicarakan ide menjadikan Bali sebagai destinasi wisata halal. Ide ini langsung menjadi topik utama karena terlontar dari seorang tokoh politik yang saat ini memang sering tercatat menyampaikan berbagai ide untuk memperoleh sorotan dalam kontestasi mereka menjelang Pilpres 2019 yang akan dilakukan beberapa bulan lagi.
Paling tidak ada dua argumen besar yang mendasari ide tersebut. Pertama, kesuksesan wisata Bali sebagai salah satu destinasi wisata utama dunia, yang dikenal toleran dan sesuai (ramah) terhadap wisatawan mancanegara dari berbagai penjuru dunia dengan latar belakang budaya masing-masing yang berbeda-beda, termasuk untuk wisatawan dari negara-negara Timur Tengah. Kunjungan Raja Salman tahun lalu juga memberikan impresi bahwa Bali juga sukses menjadi destinasi pariwisata bertema wisata halal.
Kedua, beberapa negara lain seperti Thailand dan Jepang juga sudah membuka diri sebagai destinasi wisata halal, dengan menyediakan layanan dan infrastruktur yang sesuai dengan syarat-syarat objek wisata halal. Di samping itu, pusat investasi berbasis syariah yang perkembangannya bahkan mengalahkan potensi di negara-negara pusat bisnis syariah di Timur Tengah, justru adalah London (Inggris) dan Malaysia. Mestinya Bali juga bisa meniru upaya tersebut.
Tapi, dalam kenyataannya, ide yang disertai argumen tersebut justru sebagian besar memperoleh penolakan dari masyarakat dan pelaku pariwisata di Bali. Argumennya juga cukup kuat. Pertama, Bali selama ini dikenal dengan wisata alam dan budaya “khas Bali” dengan keunikannya sendiri yang justru menjadi daya tarik bagi wisatawan dari berbagai latar belakang budaya yang berbeda.
Menurut data BPS, jumlah wisatawan mancanegara ke Bali hingga akhir 2018 mengalami peningkatan hingga 58% dibanding tahun 2017, dan tingkat hunian kamar hotel secara rerata juga melebihi 50%. Sebuah capaian yang cukup baik. Tanpa harus menghilangkan ciri khas budaya Bali-pun, terbukti bahwa Bali tetap menjadi magnet bagi wisatawan mancanegara, mengapa harus diubah?
Kedua, dalam ilmu pemasaran paling dasar, dikenal istilah S-T-P (segmenting, targeting, dan positioning). Populasi yang beragam dipecah-pecah menjadi berbagai segmen sesuai karakteristik dan kebutuhan masing-masing (segmenting), lalu dipilah dan dipilih lagi segmen-segmen yang dianggap paling potensial untuk dijadikan target (targeting), dan selanjutnya disusun program pemasaran sesuai kesan yang ingin diciptakan di benak segmen yang dijadikan target (positioning).
Pertanyaannya sama lagi, jika selama ini positioning wisata Bali sudah terbukti sukses dengan proses pencarian dalam sejarah panjangnya, mengapa harus diubah lagi?
Ketiga, salah satu upaya utama pemerintahan Jokowi adalah menambah pilihan destinasi pariwisata, dengan cara membuka destinasi-destinasi wisata baru dengan keunikannya masing-masing, sehingga menambah pilihan bagi para wisatawan domestik dan mancanegara, dengan pembenahan objek wisata, perbaikan akses transportasi, akomodasi, dan komunikasi.
Yang dibutuhkan justru adalah ekstensifikasi destinasi wisata baru di berbagai daerah di Indonesia, bukan intensifikasi destinasi wisata yang sudah terbukti mengalami pertumbuhan. Bukankah sudah ada destinasi yang memang mengambil positioning wisata halal seperti di di Lombok (NTB), atau beberapa daerah lain yang lebih cocok seperti Aceh atau Sumatera Barat misalnya, yang jika serius digarap justru akan memberi dampak yang lebih signifikan.
Keempat, menjadikan Bali sebagai wisata halal juga membutuhkan upaya yang serius. Pada dasarnya, wisata halal disusun dengan dua pendekatan utama, negative screening maupun positive screening.
Negative screening kira-kira bisa diartikan bahwa wisata halal seharusnya didukung upaya menghilangkan hal-hal yang bertentangan dengan prinsip halal, seperti diskotek, pantai tempat orang boleh berpakaian dan berbaur dengan bebas, dan lainnya. Positive screening bisa diartikan harus dibangun daerah khusus yang sesuai dengan syarat wisata halal, seperti hotel khusus syariah, restoran dan tempat wisata halal, penyediaan SDM yang sesuai dan seterusnya.
Dengan berbagai argumen di atas, pertanyaannya kembali sama dengan di bagian awal tulisan ini. Masih perlukah Bali memosisikan dirinya menjadi destinasi wisata halal, dengan segala konsekuensi ekonomi dan budaya yang nantinya akan muncul?
Sudahkah dilakukan kajian cost-benefit yang menunjukkan bahwa manfaat lebih banyak dibanding ongkos (moneter dan non-meneter) yang muncul jika Bali diubah menjadi destinasi wisata halal, pada saat daerah lainnya justru lebih berpotensi diubah atau malah sudah mendeklarasikan positioning sebagai destinasi wisata halal?
Apakah pelaku pariwisata dan masyarakat di Bali sudah siap mendukung upaya-upaya penyediaan sarana-prasarana serta SDM yang memadai? Mohon maaf jika tulisan ini malah berujung pada pertanyaan yang tidak bermutu, karena penulis pun masih bingung dan masih mencari-cari jawabannya.
Penulis, staf pengajar FEB UGM, Yogyakarta