Oleh I Wayan Suartana
Tahun Baru Çaka 1941 yang jatuh pada tanggal 7 Maret 2019, memberikan spirit mulat sarira dalam segala aspek kehidupan, termasuk kepedulian bisnis dalam konteks pengelolaan lingkungan dan sosial. Nyepi dengan Catur Brata Penyepian yaitu Amati Geni (tidak menyalakan api), Amati Karya (tidak melakukan aktivitas), Amati Lelungan (tidak bepergian) dan Amati Lelanguan (tidak bersenang-senang) merefleksikan relevansi nilai-nilai pembangunan berkelanjutan.
Nyepi berarti sepi, hening dan damai, wahana reflektif, keseimbangan diri menuju tujuan hidup yang hakiki dan harmoni. Secara kodrati, perusahaan pun didirikan seperti halnya manusia mempunyai tujuan yang seimbang yaitu menguntungkan secara ekonomi, diterima secara sosial dan ramah lingkungan.
Bila ketiga ini tidak dilaksanakan, diyakini perusahaan akan mengalami gangguan. Lalu, apa spirit Nyepi diletakkan dalam kerangka pengelolaan bisnis khususnya lembaga jasa keuangan?
Keuangan berkelanjutan adalah sebuah paradigma baru yang sedang digulirkan oleh otoritas lembaga keuangan saat ini sebagai implementasi tujuan pembangunan berkelanjutan. Konsep ini kelihatan sangat ideal, tetapi bisa jadi terbentur tembok zona nyaman yang selalu menganggap laba sebagai bottom line.
Nampaknya cara berpikir counter explanation berupa rasa penyesalan di awal barangkali bisa mereduksi skeptisme yang berkembang. Ini persoalan deskriptif dan akan menjadi konvensi bersama bila sudah menjadi kewajiban. Kesadaraan dan kesukarelaan lebih memiliki makna dan leverage, tetapi lagi-lagi terbentur oleh kodrati insani moral hazard dalam diri manusia. Dengan membaca dan memaknai persoalan deskriptif, paradigma ini suka atau tidak suka harus diterima dan dilaksanakan untuk menyelamatkan bumi dari kerusakan yang lebih parah.
Berbagai bencana alam terakhir ini mengindikasikan dan diduga disebabkan terjadinya ketidakseimbangan bentang alam secara sengaja maupun tidak sengaja. Bentang alam bukan hanya sekadar konstruk sosial, tetapi menjadi variabel dioperasikan dalam semesta dunia.
Kesengajaan bisa saja dalam bentuk eksploitasi alam untuk memaksimumkan utilitas atau terjadinya perilaku yang merusak alam, padahal hakikat pembangunan berkelanjutan adalah terjadinya proses produksi dan konsumsi yang mampu memenuhi kesejahteraan manusia secara terus-menerus, tahun demi tahun dan bersambung dari generasi ke generasi. Artikulasi kehidupan menjadi sebuah pertanda bahwa bumi yang kita pijak ini bukan warisan, tetapi titipan yang diestapetkan ke generasi berikutnya.
Karena itu menjadi menarik mengikuti fakta empiris pada hari raya Nyepi. Dari berbagai sumber, pada saat perayaan hari raya Nyepi di Pulau Bali terjadi reduksi emisi gas karbondioksida sebanyak kira-kira 20.000 ton dalam sehari, penghematan listrik sekitar 70 persen bila dirupiahkan ekuivalen sekitar Rp 4,5 miliar, penghematan air dan penghematan bahan bakar lainnya.
Bali sehari tanpa polusi (bahkan mendekati nol persen) sebagai sumber terjadinya perubahan iklim dan anomali cuaca. Ukuran-ukuran seperti itu menunjukkan aktualisasi nyata esensi pembangunan berkelanjutan dan spirit untuk mengubah perspektif dengan mengubah cara pandang pembangunan konvensional yang bertujuan mengejar keuntungan jangka pendek melalui eksploitasi menjadi pemberdayaan dan pemanfaatan sumber daya alam yang dapat memberi manfaat ekonomi, sosial dan lingkungan hidup bagi seluruh pemangku kepentingan.
Nilai-nilai Keuangan Berkelanjutan
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menerbitkan peraturan tentang penerapan keuangan berkelanjutan untuk lembaga jasa keuangan, emiten, dan perusahaan publik sebagai wujud implementasi roadmaap keuangan berkelanjutan. Roadmaap menunjukkan strategi pencapaian keuangan berkelanjutan harus dilakukan secara bertahap dengan tingkat capaian yang terukur.
Dukungan menyeluruh dari sektor jasa keuangan untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan dengan menyelaraskan kepentingan ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup. Hal tersebut disebutkan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 51 /POJK.03/2017 Aturan ini bertujuan untuk peningkatan daya tahan dan daya saing lembaga jasa keuangan, emiten, dan perusahaan publik melalui pengelolaan risiko sosial dan lingkungan hidup. Luarannya berupa laporan berkelanjutan (Sustainability Report) diumumkan kepada masyarakat yang memuat kinerja ekonomi, keuangan, sosial, dan lingkungan.
Keuangan berkelanjutan dapat dilihat dari dua sisi. Pertama, dari sisi supply, lembaga jasa keuangan misalnya bank menyediakan portofolio produk-produk keuangan yang berorientasi pada pelestarian lingkungan dan memiliki eksternalitas negatif sosial rendah. Bank menyediakan skema khusus kredit yang diperuntukkan bagi perusahaan yang bergerak di bidang konservasi dan energi terbarukan. Contohnya obligasi hijau.
Sebaliknya, kita bisa membayangkan jika seluruh portofolio kredit diberikan kepada debitur yang kredibilitas dalam pengelolaan lingkungan masih dipertanyakan atau diragukan. Bila hal itu terjadi, lewat mekanisme pasar yang fair maka semestinya bank dan perusahaan tersebut ‘’dihukum’’ oleh pasar yang diproksikan harga saham yang jatuh.
Dari sisi demand, calon debitur harus betul-betul melaksanakan semangat keberlanjutan dalam operasi perusahaan. Risiko tidak hanya bertumpu pada masalah-masalah keuangan semata, tetapi juga memasukkan risiko bencana alam dalam profil risiko bisnisnya. Operasi kegiatan lembaga jasa keuangan sehari-hari memengaruhi secara langsung kualitas lingkungan hidup, seperti masalah sampah, air dan limbah.
Hemat kata, pintu masuk perusahaan itu bisa beroperasi adalah tata ruang dan rencana mitigasi bencana yang tersusun rapi dan bisa dilaksanakan. Produk dan jasa yang disediakan lembaga jasa keuangan berpotensi menyebabkan terjadinya pencemaran apabila tidak melakukan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup dengan baik dan benar.
Semakin banyak perusahaan yang menggunakan produk-produk lembaga keuangan yang berorientasi hijau, maka perusahaan tersebut semakin peduli dengan lingkungan. Hulu (lembaga jasa keuangan) dan hilir (perusahaan yang dibiayai) mempunyai cara pandang yang sama dan kolaboratif dalam memandang persoalan sosial dan lingkungan.
Bentuk kepedulian ini menjadi kanal penghubung pertumbuhan pembangunan, keadilan sosial serta menghemat pemakaian sumber daya alam. Semangat dan filosofi Catur Brata Panyepian aktual dalam konteks ini. Degradasi lingkungan terutama pada sumber daya alam dan juga kekayaan/aset lingkungan menjadi hal yang harus dihindari bagi seluruh umat manusia.
Sederhananya, keuangan berkelanjutan dari sisi nasabah lembaga keuangan bank dan nonbank diterapkan dengan cara penghematan sumber energi seperti listrik, panas, dan sebagainya seperti yang dilakukan pada saat Nyepi Sipeng. Keuangan berkelanjutan boleh disebut suatu rekayasa sosial yang dialokasikan untuk mengelola sistem pembayaran, risiko manajemen, mengatur pola hidup dan menabung pada investasi yang berguna.
Ada kecenderungan keraksasaan yang disebabkan Panca Klesa. Panca Klesa itu adalah Awidya artinya kebodohan dan kegelapan, Asmita artinya mementingkan diri sendiri atau egois, Raga artinya suka mengumbar hawa nafsu, Dwesa mudah marah, membenci dan dendam, Abhiniwesa artinya adanya rasa takut.
Awidya itu adalah kegelapan. Hal itulah yang harus disepikan setiap saat, apalagi bagi seorang pengusaha yang banyak berkecimpung dalam kancah Panca Klesa itu. Kalau seseorang dapat mengendalikan Panca Klesa, maka dalam menyusun rencana bisnis maupun dalam melaksanakan rencana tersebut selalu dalam keadaan rasional penuh perhitungan dan pengendalian diri. Dengan menyepikan gejolak panca klesa dan panca indriya itu, akan dapat membangkitkan kesadaran rohani yang kuat.
Kesadaran spiritual itu akan dapat melihat berbagai kekurangan dan peluang untuk memperbaiki kekurangan dalam kehidupan bisnis. Sesungguhnya menyepikan gejolak hawa nafsu itu bisa dilakukan tiap hari oleh setiap entitas bisnis. Sepi adalah bunyi yang tersembunyi dan bunyi akan mengatakan “selamatkan bumi ini dari kerusakan parah” dengan menerapkan prinsip-prinsip keuangan berkelanjutan secara konsisten. Kalau tidak dari sekarang, kapan lagi. Kalau tidak kita, siapa lagi.
Penulis, Guru Besar FEB Unud