Petugas Basarnas berada di dekat ekskavator yang digunakan untuk menggali jalur evakuasi pada proses pencarian korban di pertambangan emas tanpa izin (PETI) desa Bakan, Kabupaten Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara, Senin (4/3). (BP/ant)

Runtuhnya tambang di Desa Bakan, Bolaang Mongondow mungkin hanya salah satu contoh bagi kita tentang bagaimana masyarakat kita mengabaikan keselamatan hanya demi mengejar penghasilan. Di pertambangan itu, hingga sekarang sekitar 50 sampai 100 orang masih terkubur setelah tambangnya runtuh sebelas hari lalu. Belasan sudah berhasil dikeluarkan, tetapi sebagian besar masih tertimbun.

Dengan mempertimbangkan waktu kejadian kecelakaan, maka diperkirakan mereka yang masih tertimbun itu telah meinggal. Kita prihatin dengan kondisi ini. Kita prihatin dengan begitu banyaknya korban yang tertimbun, prihatin dengan sikap mereka. Tentu saja kita juga prihatin dengan pemerintah dan kita semua, bahwa masih juga belum mempunyai keterampilan dan keahlian untuk bergerak cepat jika terjadi bencana alam seperti ini. Melihat keberhasilan Thailand  tahun lalu yang berhasil mengevakuasi tim sepak bola yang terjebak di gua, kita rasanya jauh ketinggalan.

Baca juga:  ISI Denpasar Wisuda Generasi Pertama Merdeka Belajar

Kita sudah seharusnya sadar sejak awal. Ada dua hal yang bertolak belakang di Indonesia. Alam Indonesia kaya dengan apa saja, tetapi masyarakat kita masih banyak yang kekurangan, dan banyak juga yang tidak terampil. Alam Indonesia kaya tambang, mulai dari emas sampai minyak, termasuk juga bebatuan mulia lain.

Masyarakat yang kekurangan dan tidak terampil akan melakukan penggalian, tanpa keterampilan. Kita pernah melihat ada petambang minyak manual. Ini membahayakan karena berpotensi terbakar apabila tidak hati-hati. Bukankah banyak petambang minyak yang merokok.

Ada juga masyarakat yang mengambil batu gamping atau batu kapur di tengah asap yang mengembus dari kawah gunung. Jelas juga itu berbahaya. Sebagian masyarakat kita di pantai mencari ikan dengan menyelam menggunakan tabung dari kompresor.

Juga ada yang menangkap ikan paus dengan tombak. Mungkin yang terakhir ini membawa keterampilan turun-temurun, tetapi tetap kita rasakan ada unsur bahayanya. Banyak lagi contoh lain yang dapat dilihat dan diperkirakan tingkat bahaya yang melekat kepadanya.

Baca juga:  Belajar Melalui Komunitas Belajar

Untuk itulah kemudian, apa boleh buat, pemerintah harus mampu membikin pemetaan terhadap hal yang membahayakan ini. Tidak saja pemerintah, politisi juga, karena merekalah yang langsung dekat dengan masyarakat. Dalam kasus yang berbeda, kita lihat bagaimana daerah yang rawan gempa, rawan tsunami, rawan gas beracun, banjir dan rob tetap menjadi hunian masyarakat.

Jangan lagi dibicarakan soal membalelonya para pedagang pinggir jalan yang membuat macet. Termasuk juga truk-truk yang sudah berusia tua, tetapi masih dioperasikan di jalan. Juga truk pasir yang memuat muatan melebihi kapasitas sehingga membuat jalan raya rusak.

Maka, apabila kita tidak mampunyai keterampilan dan teknologi yang kuat untuk mengatasi segala persoalan seperti yang diungkapkan di atas, sebaiknya kita mulai dari aturan. Penegakan aturan harus tegas dan kuat. Terhadap daerah-daerah yang rawan bencana, semuanya mesti ditindak.

Baca juga:  HPN dan Memerangi "Hoax"

Pemerintah harus bersikap keras di sini. Bukan untuk menakut-nakuti masyarakat, tetapi justru untuk membela mereka, melindunginya dari bencana dan memberikan penyadaran. Masyarakat kita memang terkesan tidak  memedulikan keselamatan mereka sendiri. Padahal, berbagai nilai sosial, bahkan ajaran agama juga, menempatkan keselamatan diri sebagai hal yang utama harus dilakukan manusia.

Peristiwa menyesakkan jangan dibiarkan terulang kembali dan harus menjadi pelajaran besar untuk ke depan. Kalau kita membandingkan dengan sikap pemerintah di luar negeri, itulah gunanya penyelidikan terhadap peristiwa dilakukan. Jika sudah diketahui penyebabnya, maka harus diumumkan kepada masyarakat agar peristiwa yang serupa tidak terulang, apa pun peristiwa yang membahayakan tersebut.

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *