Oleh Dr. I Wayan Artika, S.Pd., M.Hum.
Pendidikan adalah praktik politik. Hal ini tampak nyata dari kehadiran ideologi negara di dalamnya. Namun, ada tindakan strategis kekuasaan untuk menyulapnya menjadi praktik lembaga yang sama sekali bebas dari aroma politik.
Inilah sebabnya, pelajaran politik di sekolah hanya untuk kepentingan pengetahuan. Mungkin hal ini amat masuk akal ketika sekolah harus memilih jargon “menolak atau menghindari politik praktis.” Tampak satu dilema dalam pelajaran sekolah yang politis dan praktik pendidikan sebagai lembaga yang bebas politik.
Karena itu, tidak ada sedikit ruang di sekolah untuk membuka celah politik nyata yang bisa diintip oleh para siswa ketika negaranya sedang ada dalam suasana hiruk-pikuk di tahun politik atau pemilihan umum. Tidak ada program-program pendidikan politik “praktis” yang dibungkus untuk membangun ruang kesadaran siswa dengan dirinya dan kenyataan hidupnya sebagai warga negara.
Karena itulah, cara, strategi, atau praktik antipolitik sesungguhnya berdampak pada tumbuhnya sikap siswa yang apatis. Mereka tidak peduli dengan pertarungan wacana dalam kehidupan masyarakat, sebagaimana semakin dipertajam oleh peran media konvensional dan media sosial.
Berhadapan dengan itu semua, siswa dapat melihat dan mendengar berbagai wacana politik namun tidak dapat dipahami. Salah satu wujud nyata pendidikan yang kontekstual adalah adanya kesadaran melembaga pada sekolah untuk selalu membuka hubungan-hubungan berdimensi edukasi nyata antara siswa yang dipelihara dengan sangat hati-hati dalam dunia sekolah dengan kehidupan siswa di dalam masyarakat.
Pendekatan pembelajaran yang kontekstual bukan untuk mencapai tujuan instruksional yang cenderung formal dan terisolasi dengan kehidupan. Pendekatan ini memiliki tujuan yang lebih luas dan mendasar, membangun kemampuan dan kesadaran siswa terhadap pemahaman eksistensi dirinya, yang sesungguhnya memiliki dua kutub sosial, yakni sekolah dan masyarakat.
Pendekatan kontekstual dalam belajar di sekolah sejatinya berurusan dengan perkara-perkara yang lebih hakiki, misalnya membangun hubungan-hubungan siswa dengan masyarakatnya. Pendekatan ini harus membantu guru dan siswa dalam memecah segala isolasi dirinya dengan kehidupan nyata atau masyarakat serta berbagai persoalan.
Salah satu manfaat pendekatan kontekstual yang nyata dan pragmatis bagi kehidupan siswa adalah tumbuh dan berkembangnya kesadaran atau kepekaan sosial. Siswa terlatih melihat dunia nyata dengan berbagai perspektif ilmu yang dipelajari di sekolah.
Pendekatan ini membantu siswa membangun jembatan-jembatan dari dunia sekolah yang terisolasi dengan kehidupan yang nyata dan selalu bergemuruh dalam dinamika yang hebat. Pendekatan kontekstual yang diterapkan dengan mendasar akan membantu siswa mengembangkan cara pandang lain terhadap kegiatan belajar di sekolah, yang bukan lagi sebatas untuk ujian tetapi berbagai ilmu yang dipelajari memiliki manfaat, yakni membentuk paradigma-paradigma baru bagi siswa dalam memahami kehidupan.
Karena itu, pendidikan seharusnya memberi dampak literasi secara luas. Terbentuknya kemampuan literasi sama artinya dengan membangun kecerdasan holistik dan praktis pada diri siswa, yang akan dengan sangat baik mampu menyeimbangkan atau menawar hegemoni pendidikan kognitif yang masih diagung-agungkan meski sesungguhnya pemenjaraan.
Walaupun pendidikan merupakan praktik-praktik politik yang terselubung yaitu dengan dikembangkannya jargon-jargon bahwa sekolah harus bersih dari kegiatan politik, sebagai hal yang benar dan antisipasi atas terjadinya gejolak atau perpecahan, namun dengan dikembangkannya kelembagaan yang kuat di atas paradigma bahwa sekolah tidak untuk melakukan isolasi sosial atau bahkan isolasi politik, maka dengan menggunakan pendekatan-pendekatan inovatif, semisal pendidikan yang kontekstual, di tengah hiruk-pikuk politik bangsa, siswa mestinya diajak menyaksikan secara langsung apa yang tengah terjadi dan untuk apa hal ini berlangsung agar mereka paham.
Wujud nyata dari kegiatan semacam ini di sekolah adalah adanya program-program penyuluhan politik yang disampaikan oleh lembaga-lembaga politik yang netral. Mungkin pelajaran di sekolah sudah mengakomodasi agenda seperti ini namun dari segi terbangunnya akses nyata sekolah dan dunia politik di masyarakat, masih harus dipecahkan.
Sekolah-sekolah harus bertanggung jawab untuk memberi pendidikan politik yang mencerahkan siswanya secara kontekstual nasional manakala bangsanya sedang menggelar hajatan politik besar yang melibatkan seluruh rakyat dan dengan biaya yang sangat besar ini. Kegiatan semacam ini tetap mengutamakan momen nyata sehingga memberi nilai dan makna tinggi atau praktis bagi siswa untuk menyiapkan mereka sejak awal bagaimana sebaiknya memahami peristiwa-peristiwa penting dalam negaranya.
Dengan kesadaran dan tanggung jawab ini, sekolah telah mengembangkan satu pendekatan yang sering dilupakan, yakni humanistik. Sekolah tidak melihat siswanya secara monokultur tetapi manusia-manusia yang multidimensi, yang memiliki genesis-genesis yang khas, ideologi-ideologi keluarga tersendiri, atau status-status sosial yang beragam.
Mengasingkan atau mengisolasi siswa tidak manusiawi karena sekolah mengembangkan pendidikan yang tidak adil. Sekolah bertanggung jawab membuka diri siswa terhadap berbagai persoalan dan mengajari cara yang benar dan berdasar dalam memahami berbagai kondisi sosial dan persoalan, yang bisa dilakukan sejak dini, dalam rangka sekolah berperan penting dalam menyiapkan sumber daya sosial, insan-insan pembangun fondasi masyarakat di masa depan.
Tidak bisa ditolak, sekolah walaupun tampaknya sebagai lembaga yang terisolasi dari berbagai kepentingan, kebijakan, dan permasalahan sosial, ternyata sangat ampuh dalam menyumbang pembangunan suatu masyarakat yang kelak membentuk wajah suatu masyarakat sedemikian rupa, apakah masyarakat yang toleran, yang disiplin atau tanpa disiplin hidup yang kuat, bangsa yang iliterate, bangsa yang pemarah, bangsa yang penuh percaya diri, atau mungkin juga bangsa yang rendah diri.
Karena itulah, tulisan ini bermaksud mengajukan satu gagasan untuk menghadirkan ruang kepada siswa secara melembaga bagaimana mereka memahami hajatan besar negaranya, yakni suksesi nasional dan pemilu legislatif 2019. Mereka tidak bisa dipandang sebagai anak-anak bangsa yang tidak perlu tahu atau belum waktunya karena sejalan dengan tingkat pendidikan, mereka membutuhkan informasi yang melembaga, dalam bidang politik.
Sekolah bertanggung jawab menyampaikan informasi autentik kepada siswanya karena sesungguhnya di atas paradigma atau pendekatan kontekstual, siswa juga harus beradaptasi dengan kondisi-kondisi sosial yang nyata untuk bisa mengimbangi informasi-informasi politik di masyarakat, lewat poster pemilu, kampanye-kampanye, acara bincang-bincang yang sengit di televisi, berita-berita yang tidak jelas kebenarannya di media sosial, dalam aneka rupa media.
Dengan demikian, siswa merasa memiliki negara dan merasa pula sangat dekat. Karena pelajaran-pelajaran sekolah yang membicarakan hubungan siswa dengan negaranya masih didominasi oleh materi-materi pelajaran mengenai masa silam (sejarah). Maka kini dengan paradigma pendidikan kontekstual, lembaga sekolah harus menghadirkan negara sebagai milik dan hubungan yang intim dengannya lewat peristiwa-peristiwa autentik kontemporer, yang terjadi hari ini, termasuk peristiwa pemilu 2019 ini.
Penulis, dosen Universitas Pendidikan Ganesha, Singaraja