Oleh I Wayan Kerti
Permasalahan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) dari tahun ke tahun selalu menyisakan akar masalah, utamanya pada sekolah dan masyarakat yang tinggal di perkotaan. Terbitnya Permendikbud Nomor 51 Tahun 2018 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) untuk tahun 2018/2019 yang telah dipersiapkan juknis seleksi masuk siswa baru diharapkan mampu mengatasi permasalahan tersebut. Penyusunan juknis ini dimaksudkan sebagai evaluasi pelaksanaan PPDB tahun sebelumnya.Juknis dimaksud adalah mengatur sistem zonasi dalam penerimaan peserta didik baru.
Berdasarkan Permendikbud Nomor 51 Tahun 2018, PPDB dilaksanakan melalui tiga jalur, yakni zonasi (kuota 90%), prestasi (kuota maksimal 5%), dan perpindahan orangtua peserta didik (kuota maksimal 5%). Tujuan PPDB untuk menjamin Penerimaan Peserta Didik Baru berjalan secara nondiskriminatif, objektif, transparan, akuntabel, dan berkeadilan, sehingga mendorong peningkatan akses layanan pendidikan.
Melalui sistem zonasi, pemerintah berniat untuk memeratakan kualitas pendidikan. Artinya, semua sekolah harus jadi sekolah fovorit dan tidak ada lagi sekolah yang mutunya rendah. Niat seperti itu tentulah sangat mulia. Akan tetapi, kondisi di lapangan tentu tidaklah semudah niat dan perencanaan di atas meja.
Kondisi sarana-prasarana, geografis sekolah, kualitas dan kuantitas pendidik dan tenaga pendidikan di setiap sekolah tentulah sangat berbeda-beda. Minimnya upah yang diterima para guru kontrak atau honorer juga bisa menjadi penyebab belum meratanya mutu pendidikan. Perbedaan-perbedaan tersebut akan menjadi faktor pembeda kondisi dan mutu pendidikan di Tanah Air. Jadi, jika dikatakan bahwa melalui sistem zonasi sudah mampu untuk memeratakan kualitas pendidikan jelaslah kurang tepat.
Pemerintah semestinya juga membarengi programnya dengan menyeimbangkan dulu kebutuhan sarana-prasarana sekolah-sekolah di seluruh Tanah Air. Dengan cara seperti itu maka tidak akan ada lagi sekolah-sekolah yang lebih wah, lebih megah, atau sebaliknya sekolah yang masih memiliki sarana-prasarana yang memprihatinkan.
Sudah menjadi rahasia umum, di sejumlah daerah di Tanah Air letak geografis sekolahnya sangatlah sulit dijangkau. Kondisi seperti itu tentu akan membuat siswa terkadang malas atau mengalami kelelahan dan menguras fisik mereka jika hendak berangkat maupun pulang sekolah. Guru-guru juga banyak yang enggan untuk mengabdikan dirinya di daerah dengan kondisi geografis seperti itu. Hal itu tentu sangat manusiawi, kecuali bagi mereka yang benar-benar memiliki niat dan motivasi pengabdian yang tinggi untuk pendidikan.
Kualitas dan kuantitas pendidik dan tenaga pendidik di sekolah-sekolah sampai saat ini masih timpang antara di wilayah Indonesia bagian barat dengan wilayah Indonesia bagian tengah dan wilayah timur. Di satu sisi, para pendidik di sekolah-sekolah, khususnya di wilayah Indonesia bagian barat sudah banyak mengenyam pendidikan minimal S-1, bahkan banyak gurunya yang sudah menempuh pendidikan S-2 dan S-3.
Kondisi di wilayah lain justru masih banyak tenaga pengajarnya yang belum S-1, bahkan banyak relawan dengan latar belakang bukan pendidikan guru mengabdikan dirinya untuk menjadi tenaga pendidik, terutama di wilayah pedalaman. Begitu pun tenaga kependidikan, tidak semua sekolah memiliki tenaga khusus yang membantu guru mengurus administrasi pendidikan.
Di sekolah-sekolah dasar yang paling parah. Hampir semua Sekolah Dasar (SD) negeri di Tanah Air tidak memiliki tenaga kependidikan. Hal itu membuat guru-guru SD harus merangkap menjadi guru sekaligus tenaga administratif.
Kurangnya guru-guru yang PNS memaksa sekolah-sekolah memanfaatkan tenaga guru kontrak atau mengangkat guru honorer. Kesenjangan penghasilan antara guru yang PNS dengan non-PNS yang sangat tinggi, tentu menjadi pemicu rendahnya motivasi guru-guru non-PNS dalam melaksanakan tugas. Padahal, mereka juga melaksanakan tugas dan kewajiban yang tidak jauh berbeda dengan golongan guru PNS.
Ketika fakta-fakta permasalahan pendidikan di seluruh penjuru negeri masih seperti itu, tentu harapan akan sistem zonasi dianggap menjadi solusi pemerataan kualitas pendidikan hanyalah isapan jempol.
Masyarakat tentu berharap anak-anak mereka mendapatkan pendidikan yang layak dan terbaik untuk masa depannya. Kepercayaan masyarakat terhadap kualitas pendidikan di satu sekolah tentu didasarkan pada asumsi kelengkapan sarana prasarana sekolah, kondisi gerografis sekolah, kualitas dan kuantitas guru di sekolah tersebut, serta motivasi dan kreativitas para guru dalam mendidik, membina, dan melatih anak-anaknya.
Masyarakat yang sudah mengerti dan haus akan pendidikan yang bermutu terkadang rela mengeluarkan biaya yang cukup besar untuk membiayai pendidikan anak-anaknya. Dalam kondisi seperti itu, tentu mereka tidak rela jika mereka ‘’dipasung’’ dengan sistem zonasi.
Kuota masimal 5% untuk anak yang mengikuti perpindahan orangtua tentu juga menjadi permasalahan. Hal itu disebabkan karena dewasa ini jumlah penduduk urban sangatlah besar. Golongan ini tentu juga akan berharap anak-anaknya bisa bersekolah di sekitar wilayah mereka tinggal mencari pekerjaan. Ketika kuotanya sangat kecil, tentu menjadi problema tersendiri bagi mereka.
Oleh sebab itu, jika niat memeratakan kualitas pendidikan ingin berjalan baik dan mendapatkan hasil yang baik pula, semestinya pemerintah melakukan proses yang panjang, terencana, dan sistematis. Permasalahan-permasalahan pendidikan yang masih tersisa hingga saat ini mesti dituntaskan dulu barulah sistem zonasi diterapkan. Jika kondisi seperti itu telah terjadi, niat dan harapan pemerintah untuk memeratakan mutu pendidikan bukanlah isapan jempol semata.
Jika amanat Permendikbud Nomor 51 Tahun 2018 tersebut toh harus terlaksana pada tahun ajaran mendatang, maka perlu kajian yang mendalam terhadap juknis tersebut, serta pengawasan bersama antara berbagai pihak. Lebih lanjut, sistem zonasi harus diimplementasikan secara akurat agar siswa yang masuk memang benar-benar orang yang berhak. Semangat yang dibangun adalah pemerataan pendistribusian yang seadil-adilnya.
Namun, prinsip zonasi juga mesti memerhatikan sekolah swasta. Jangan sampai efek zonasi berpengaruh adanya sekolah-sekolah swasta yang tutup karena tidak ada lagi siswa yang mendaftar di sana.
Penulis, guru SMP Negeri 1 Abang