PPDB
Suasana PPDB. (BP/dok)

Penerimaan Peserta Didik Baru atau PPDB selalu menyita banyak perhatian. Alasannya, masalah pendidikan adalah masalah kita bersama. Siapa pun termasuk orangtua kita, mengharapkan anaknya mendapatkan sekolah terbaik atau mininal sekolah negeri yang dekat dengan rumahnya.

Untuk itulah, PPDB yang diatur dalam Permendikbud No. 51 Tahun 2018 bahwa kuota 90 persen penerimaan lewat jalur zonasi, 5 persen lewat jalur prestasi, dan sisanya jalur perpindahan. Namun yang terjadi di Bali hampir tiap tahun terjadi kisruh PPDB akibat semua orang memiliki kepentingan tertentu.

Lihat saja setiap orang ingin bagaimana caranya masuk ke sekolah negeri favorit sekalipun jarak sekolah dengan rumahnya masih jauh. Memang secara teori dengan sistem zonasi tak ada lagi istilah sekolah favorit, namun di mata masyarakat tetap saja sudah menentukan pilihan di sekolah yang dianggap berkualitas. Di Denpasar, misalnya, kebanyakan warga memilih SMPN 1, SMPN 3, atau SMAN 1 dan SMAN 4 dan SMAN 3 Denpasar.

Baca juga:  Merevitalisasi Pariwisata Bali

Atau warga Singaraja pasti menentukan pilihan di SMPN 1 dan SMA 1 Singaraja. Demikian juga dengan di daerah lainnya. Apa pun caranya mereka lakukan alias mengorbankan kejujuran. Bahkan tahun lalu, jalur prestasi banyak kebobolan dengan sertifikat bodong. Peserta PKB yang tak tahu nenari dan menabuh juga diterima. Begitu mahalnya sebuah kejujuran.

Kita lupa dengan manajemen berbasis sekolah, mestinya sekolah diberi wewenang untuk menentukan siswa berprestasi yang diperlukan, bukan dipaksakan kalaupun dia juara nasional bidang nonakademis. Jika tak relevan dengan keperluan sekolah bisa ditolak.

Daerah lain mestinya belajar dari Kota Denpasar dalam memanajemen PPDB. Namun setelah urusan SMA dan SMK diserahkan ke provinsi, PPDB jadi kacau. Ini juga akibat ulah oknum anggota DPRD yang mengaku banyak siswa baru tercecer tak mendapatkan sekolah. Akhirnya yang terjadi semua sekolah negeri melanggar Dapodik.

Baca juga:  Memacu Pemerataan Mutu Pendidikan

Ini artinya, pemerintah yang mengedukasi masyarakatnya untuk menjadi kelompok tercecer. Makanya jangan salahkan tahun ini bisa jadi masyarakat akan mengadu lagi menjadi kelompok tercecer agar kelak mendapatkan sekolah negeri. Lihat saja di Kabupaten Badung yang berjanji membangun SMPN 5 dan SMAN 2 Abiansemal sampai sekarang siswanya tak kunjung memiliki gedung baru.

Mereka masih menumpang sekolah di SD. Jadilah semua sekolah negeri di Bali Dapodik-nya merah dan terus merah selama tiga tahun.

Nah, apakah ini yang kita harapkan? Tentu tidak. Syukur sekarang pencoblosan Pemilu 17 April mendatang, mendahului PPDB. Coba sebaliknya, bisa dibayangkan makin banyak lagi kepentingan yang masuk. Ombudsman Bali mestinya tampil lebih berani.

Jangan hanya menggertak pejabat tak boleh mengintervensi PPDB, bila perlu laporkan ke kejaksaan dan Polri sudah melanggar Permendikbud dan umumkan agar masyarakat tak memilih wakil rakyat dan pejabat yang demikian. Juknis semuanya baik. Kunci dasarnya adalah kejujuran para pelaksananya.

Baca juga:  Grace Tangkudung Jadi Juri Senam Poco-poco Piala Ibu Negara

Jika anak mendapat sekolah sesuai potensinya, mereka akan senang belajar dan berprestasi. Orangtua siswa tak boleh lagi memaksakan kehendaknya, juga bukan karena mengejar gengsi. Pertanyaannya, kalau hanya mencari sekolah sudah tak jujur, bagaimana kualitas SDM bangsa kita ke depan.

Di sinilah pentingnya pengawasan. Sekolah jangan dikasi ruang bermain, demikian juga pejabat melalui aturannya. Kebijakan pemerintah pun jangan suka gonta-ganti. Belum berumur empat tahun, program sekolah rintisan internasional sudah dihapus dengan tak lagi ada sekolah favorit. Jika ingin mengubah predikat sekokah favorit seharusnya guru di sekolah favorit juga harus disebar. Kaseknya juga dimutasi, jangan sampai ada kesan kasek seumur pensiun. Yuk kita berbenah.

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *