Oleh Putu Sunarta
Bulan April 2019 disebut-sebut sebagai bulan panas di Indonesia karena akan berlangsung pemilihan umum serentak, dan terutama ada pemilihan umum presiden/wakil presiden. Suasana penasaran antara pendukung kandidat akan berlangsung dua minggu sebelum dan setelah pemilu.
Memasuki awal bulan, suasana penasaran akan terjadi tentang berbagai hasil kampanye yang dilakukan, sedangkan hari-hari setelahnya pasti terjadi penasaran juga. Biro jajak pendapat sejak setelah waktu pencoblosan selesai, telah mulai ‘’mengkredit’’ temuan-temuannya terhadap hasil pemilu tersebut.
Namun, di Bali bulan-bulan sibuk telah berlangsung mulai Maret 2019. Jika dilihat dari awal, hari raya Nyepi jatuh pada awal minggu di bulan itu. Kesibukan sudah terjadi empat atau tiga hari sebelum hari ‘’H’’. Setelah hari Nyepi, ternyata ‘’hari baik’’ juga jatuh berbarengan.
Satu minggu setelah hari Nyepi, banyak anggota masyarakat yang melaksanakan pernikahan. Sampai ada yang menyebutkan selama satu minggu itu harus kundangan sebanyak lima sampai tujuh kali. Bahkan, ada yang menyebutkan selama minggu kedua bulan Maret ini, harus menghadiri pernikahan lebih dari tujuh kali.
Masyarakat yang berada di lokasi pernikahan, dua atau tiga menjelang hari ‘’H’’ pasti juga melaksanakan gotong royong, matulungan di tempat pernikahan. Inilah tradisi yang berlaku di Bali. Sebab, jika tidak ikut terlibat matulungan akan ‘’dibalas’’ pada saat nanti menggelar upacara.
Hari-hari setelah ritual pernikahan tersebut sampai menjelang akhir bulan Maret, juga ditemui lagi hari baik yang berupa hari persembahyangan, misalnya Purnama Kadasa dan Anggara Kasih Perangbakat. Di Bali, dua hari itu dipandang sebagai lokus untuk melaksanakan ritual persembahyangan di pura.
Sudah tentu pula masyarakat yang mempunyai ritual persembahyangan pada dua hari itu akan kembali disibukkan untuk bergotong royong dan ngayah di tempat persembahyangan. Sebab, lagi-lagi apabila tidak ikut ngayah akan terkena hukuman denda yang dapat berbelok menjadi hukuman moral atau etis yang dapat membelenggu mental anggota masyarakat.
Tradisionalitas yang menginginkan tradisi itu tetap terpelihara berhadapan dengan modernitas yang selalu memperbarui diri. Sesungguhnya, ini fenomena lama di Bali tetapi perlu diungkap lagi untuk lebih memberikan penyadaran.
Di Bali, apabila bulan Maret dan bulan April 2019 ini digabung, kemungkinan besar tekanan psikologis masyarakat cukup tinggi. Terhadap demikian banyaknya acara kundangan pernikahan setelah Nyepi ini saja sudah muncul berbagai komentar nada berat karena harus menyita waktu kerja kantoran dan kerja para pekerja bangunan.
Para pekerja swasta sibuk dengan saling tukar shift kerja, sementara pegawai negeri saling lirik karena meja kosong. Dan para pekerja bangunan kebingungan mengatur ritme semangatnya untuk dapat bekerja secara kontinu yang berpengaruh kepada penghasilan mereka sebulan.
Dengan begitu banyaknya kesibukan pada bulan Maret, bagi para pekerja bangunan, boleh jadi mereka akan cuek terhadap Pemilu 2019. Artinya, lebih memilih tidak mencoblos karena waktu kerja mereka telah tersita oleh kegiatan-kegiatan sosial pada bulan Maret.
Gambaran di atas merupakan paradoks bagi dunia modern di Bali, dan juga tempat-tempat lain di Indonesia yang masih memegang teguh nilai-nilai dan prinsip tradisional. Nilai tradisional, di mana pun, sebagian besar bertabrakan dengan nilai-nilai dan paham modern.
Dan yang menjadi korban, sudah pasti masyarakat sebagai pelaksana dari prinsip-prinsip tersebut. Barangkali suasana ini, diakui atau tidak, banyak terjadi di Bali. Tidak dapat disangkal, bahwa tradisionalitas di Bali sudah berlangsung berabad-abad, dengan berbagai artefak, gambar, dan kenangan yang mengikutinya. Besar kemungkinan dasar dari hal itu adalah Hinduisme, atau paling tidak penafsiran tentang Hinduisme itu pada masanya. Tetapi harus juga dilihat Hinduisme di Bali sudah dimodernisasi Mpu Kuturan abad ke-11.
Sementara modernitas yang mendera, menekan, bahkan menjerat Bali, terjadi ‘’hanya’’ setelah pariwisata itu digelorakan mulai akhir dekade enam puluhan. Jadi, boleh dikatakan baru sekitar setengah abad. Derasnya modernisasi itu, mungkin juga baru sejak 40 tahun yang lalu, ketika kompleks hotel di Nusa Dua itu dibangun besar-besaran.
Bayangkan, bagaimana serunya ‘’pertempuran’’ antara modernisasi empat dekade menghadapi tradisi yang sudah berlangsung lebih dari seabad. Harus dikatakan ‘’pertempuran’’ karena tradisi dan modernisasi tersebut benar-benar ‘’makhluk’’ yang bertolak belakang.
Tradisi mempertahankan nilai-nilai lama yang dirasakan baik oleh masyarakat. Pada pihak lain, modernisasi mengakui dan memperjuangkan nilai-nilai baru yang lebih praktis, lebih meringankan beban, lebih hemat dibandingkan dengan nilai-nilai lama. Jadi, juga dipandang baik oleh segmen masyarakat yang lainnya.
Dekade delapan puluhan boleh dikatakan tradisi yang masih mengungguli modernisasi, tetapi beranjak dekade berikutnya keadaan seimbang mulai kelihatan. Dengan teknologi dan pembelajaran serta temuannya, modernitas demikian beranjak terus dan mulai menggerogoti akar-akar tradisi tersebut. Ketika dibuat Jalan By-pass Tohpati-Nusa Dua awal dekade delapan puluhan, teknologi dan arus lalu lintas modernisasi mulai menancapkan gas.
Hanya dalam kurun kurang dari lima tahun setelah selesai dibangun, pinggiran jalan ini telah mulai dikapling dan dibangun pertokoan, pantai diuruk dan dibuat bangunan baru dan sesaklah kemudian jalur Tohpati-Nusa Dua. Tidak usah lagi dihitung akibat dari dibukanya jalan alternatif Gatot Subroto, Sunset Road, dan apalagi sekarang By-pass Ida Bagus Mantra.
Ketika kompor jenazah mulai dipakai, maka gerusan tradisi semakin mulai dirasakan. Dan manakala krematorium diperkenalkan, lalu yang lebih modern lagi, kereta wadah (bade), maka tradisi sudah tergerogoti. Ketika canang dan kemudian penjor dijual habis-habisan, apalagi kemudian ada penjor mewah yang dijual dan sengaja dipajang, tradisi sepertinya sudah mulai ‘’diprotes’.
Kembali kepada gerutu masyarakat seperti yang diungkapkan di atas, maka segala fakta modernisasi di atas harus diakui keberadaannya. Maka untuk mengimbanginya, desa pakraman, pendeta (pedanda atau sebutan lain), dan intelektual (Hindu) menjadi titik tolak untuk melakukan keseimbangan antara tradisi dan modernitas tersebut.
Desa pakraman tidak perlu melarang ngaben krematorium, tetapi bersikap jauh lebih modern (post modern) dibandingan modernitas itu, yaitu memberikan anggotanya untuk memilih antara ngaben konvensional atau krematorium. Ilmuwan Hindu tidak harus takut dan malu-malu melakukan penyederhanaan upacara dan upakara.
Bukankah simbol-simbol memenuhi pelaksanaan upacara, dan simbol amat dapat disederhanakan. Semua hari adalah baik. Pendeta tidak usah ikut-ikutan jadi ‘’pedagang banten’’, dan layak mengikuti penyederhanaan upacara yang diinginkan masyarakat sesuai temuan intelektual. Inilah salah satu cara menyaingi modernisasi dan modernitas yang terasa menjerat masyarakat Bali saat ini.