Peledakan bom bunuh diri kembali terjadi di Indonesia. Kali ini terjadi di Sibolga, Sumatera Utara setelah istri seorang terduga teroris, meledakkan diri bersama anaknya. Meski ini bukan tindakan serangan yang dilakukan oleh teroris kepada sasaran tertentu, tetapi perilaku tersebut merupakan pesan dari mereka kepada kita.
Bahwa mereka tidak menyerah dan bersedia mengorbankan tubuhnya demi tujuan tertentu. Mungkin tindakan bom itu merupakan pesan bahwa metode kekerasan yang tidak akan ditinggalkan. Kedua, dapat saja merupakan cara untuk menghindari interogasi yang lebih dalam kelak oleh pihak kepolisian jika misalnya juga tertangkap.
Penghindaran interogasi digunakan untuk menyembunyikan informasi yang dimiliki, misalnya tentang informasi anggota jaringan. Bukan tidak mungkin pula, apabila terduga teroris yang tertangkap polisi di Sibolga tersebut akan meledakkan diri, apabila ia sedang berada di dekat bom saat ditangkap.
Pesan-pesan ini penting kita cerna untuk mengantisipasi perkembangan pada masa yang akan datang. Seperti yang sering kita dengar melalui media massa akhir-akhir ini, tidaklah berarti kegiatan teroris itu akan berhenti, meski ISIS yang di Timur Tengah itu berhasil dilumpuhkan. Banyak yang menduga bahwa sel-sel mereka masih menyebar di mana-mana, dan kemungkinan saja saat ini mereka sedang “istirahat” untuk menyusun kembali kekuatan mereka dengan metode lain.
Metode lain inilah yang harus kita waspadai. Juga muncul informasi bahwa apabila jaringan teroris itu telah dapat dipatahkan oleh pihak kepolisian internasional di berbagai negara, kemungkinan metode mereka sekarang bergeser menuju tindakan individualisme. Gejala-gejala ini sudah mulai kelihatan.
Penubrukan kendaraan kepada orang-orang ramai, boleh dikatakan sebagai bagian tindakan individu. Dan individual terorisme ini secara mudah dapat dilakukan, jika calon teroris ini telah berhasil diindoktrinasi. Cara itu dapat saja dimulai ketika masih remaja, atau malah disosialisasikan pada tingkat keluarga sejak kecil.
Maka dalam perkembangan waktu, mereka akan dapat berkembang sendiri, tanpa perintah berdasarkan informasi yang didapatkan melalui media sosial. Masa-masa usia dewasa awal, antara umur 20 sampai 30 tahun ini merupakan masa pengembangan yang paling harus diwaspadai.
Sebab, pada masa inilah nilai-nilai ideal dalam hidup itu muncul. Dengan inisiatif sendiri, mereka akan mampu melakukan tindakan teror entah bagaimanapun bentuknya, mulai dari menabrakkan kendaraan sampai dengan meledakkan diri.
Indonesia harus mewaspadai tindakan terorisme tunggal ini. Amerika serikat menilai bahwa tindakan teroris itu mempunyai akar pada kemiskinan. Kita coba tambahkan, mungkin juga akibat kecemburuan sosial. Inilah yang harus diwaspadai di Indonesia.
Tingkat kemiskinan di Indonesia masih berada pada persentase di atas delapan persen. Itu kira-kira mencapai 20 juta orang, atau lima juta keluarga. Bisa dibayangkan, apabila kita salah menangani persoalan kemiskinan ini, akan banyak orang terpapar radikalisme di Indonesia. Tentu kita tidak ingin hal ini terjadi.
Tetapi sebagai sebuah bentuk kewaspadaan, tidak ada salahnya kalau angka kemiskinan ini harus diperhatikan. Mengatasi kemiskinan, jauh lebih lambat dan lama dibandingkan dengan penyebaran ajaran sesat. Karena itu, pemerintah haruslah segera menangani persoalan kemiskinan ini dengan baik dan tuntas.
Bagaimana dengan Bali? Sudah dua kali Bali terkena ledakan bom yang dilakukan oleh teroris. Tetapi tidak salah kita harus waspada. Semakin sesaknya penduduk perkotaan di Bali, harus diwaspadai. Masyarakat yang rajin melakukan patroli merupakan salah satu solusi untuk mencegah itu.
Tentu saja kita apresiasi dengan tindakan Pola Bali yang dengan tegas menindak kelompok-kelompok yang suka membikin onar. Cara seperti ini juga dapat diterapkan untuk menindak unsur-unsur yang membawa pesan teror ke Bali.