Oleh Bambang Gede Kiswardi
Bali sudah saatnya mengembangkan budaya dan ekonomi berbasis Tri Hita Karana yang dijiwai oleh agama Hindu, karena pengembangan ekonomi Hindu sudah menjadi inspirasi masyarakat krama Bali yang diharapkan dapat didukung oleh pemerintah dan para stakeholder yang peduli terhadap ajeg Bali.
Walaupun pariwisata telah banyak memberikan kontribusi bagi perkembangan masyarakat Bali, namun masih diperlukan adanya penataan pariwisata Bali ke depan haruslah terlebih dahulu memperkuat jati diri krama Bali yang hidup dalam suatu komunitas desa pakraman. Karena desa pakraman merupakan pusat pengembangan nilai–nilai budaya yang dilandasi oleh agama Hindu, juga dalam berbagai bidang kehidupan termasuk bidang kesenian, globalisme, modernisme, dan materialisme telah merupakan ancaman, karena besarnya tantangan lebih kasat mata dibandingkan dengan peluang yang mampu direspons oleh masyarakat Bali khususnya, masyarakat dunia ketiga dan komunitas pedesaan.
Adapun potensi Bali yang memiliki luas wilayah 5.636,06 kelometer per segi dengan jumlah penduduk sebanyak 4.125.800 jiwa, di samping itu Bali memiliki Lembaga Perkreditan Desa (LPD) sebanyak 1.433 unit dengan aset Rp 19,5 triliun, dan koperasi sebanyak 4.934 unit dengan aset Rp 12,04 triliun, juga Badan Usaha Milik Desa sebanyak 455 unit dan Usaha Mikro, Kecil, Menengah (UMKM) sebanyak 313.822 unit, belum termasuk sumber daya alam dan sumber daya budaya yang menjadi pondasi dan pilar pariwisata Bali.
Dampak dari adanya potensi tersebut memberikan korelasi terhadap pertumbuhan ekonomi Bali diproyeksi 6 persen sampai 6,40 persen dan pada tahun 2018 mencapai 6,54 persen di atas rata–rata pertumbuhan ekonomi nasional kurang lebih 5,3 persen. (Bali Post, Agustus 2018).
Sejalan dengan potensi dan pertumbuhan ekonomi Bali, untuk itu Bali yang identik dengan desa pakraman sangat potensial mengembangkan nilai–nilai budaya yang berjiwakan agama Hindu, dengan demikian sudah saatnya Bali memiliki sistem ekonomi Hindu yang bercirikan: Pertama, roda perekonomian digerakkan oleh rangsangan ekonomi, sosial, dan moral. Oleh karena itu, sistem ekonomi Hindu seyogianya dilandasi oleh konsep Tri Warga (Dharma, Artha, Kama), konsepsi ini telah mencakup rangsangan ekonomi sosial, dan moral.
Kedua, perwujudan pemerataan sosial ekonomi dan keadilan ekonomi untuk tujuan hidup yang berupa Moksaartham Jagadhita yang merupakan tujuan sekaligus landasan dari sistem ekonomi Hindu. Ketiga, jiwa nasionalisme yang melandasi kebijaksanaan ekonomi, dalam hal ini makna sistem ekonomi Hindu adalah sistem di mana kebijaksanaan ekonomi yang dilahirkannya untuk menjaga keselarasan hubungan dengan masyarakat dan lingkungan di mana sistem ekonomi Hindu berada, yang dapat memberikan Multiplier effect terhadap segi pawongan dan palemahan dari konsep Tri Hita Karana yang mempunyai peranan sangat strategis.
Keempat, Badan Usaha Milik Adat adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh desa pakraman atau desa adat melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan desa pakraman yang dipisahkan, guna mengelola potensi ekonomi untuk sebesar–besarnya kesejahteraan krama adat. Kelima, menyangkut perumusan kebijaksanaan ekonomi dalam rangka pencapaian keadilan ekonomi dan keadilan sosial, diperlukan kepemimpinan model Asta Brata, sebagaimana termuat dalam buku Ramayana yang merupakan kelompok Smerti, akan dapat memberikan visi Moksaarthem Jagadhita kepada pimpinan di bidang ekonomi untuk merumuskan kebijaksanaan yang mengarah kepada pencapaian cita–cita keadilan ekonomi dan keadilan sosial yang sesuai dengan amanat dan cita–cita Pasal 33 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945.
Berdasarkan ciri–ciri dari sistem ekonomi Hindu dalam pengelolaan potensi sumber daya manusia dan sumber daya alam Bali yang berbasiskan kearifan lokal yang dijiwai oleh agama Hindu, diharapkan ada kolaborasi baik dari pemerintah pusat, pemerintah daerah maupun para stakeholder dan para pelaku usaha krama adat (pelaku UMKM) dalam akses pembiayaan, akses pemasaran, akses jaringan usaha, dan akses teknologi. Secara struktural kolaborasi tersebut dapat merumuskan master plan ekonomi Hindu. Sejalan dengan adanya master plan ekonomi Hindu tersebut, diharapkan ke depan muncul kebijakan–kebijakan yang memberikan perkuatan, memberikan perlindungan, dan memberikan kemudahan terhadap pelaku ekonomi Hindu. Dengan kebijaksanaan ekonomi tersebut, diharapkan ke depan ekonomi Hindu mampu berkembang dan profesional untuk sebesar–besarnya kesejahteraan krama adat Bali.
Dalam sistem ini, setiap masyarakat krama Bali sebagai pelaku ekonomi mempunyai keterikatan untuk menjalankan disiplin Catur Purusaartha, Catur Warna, dan Catur Asrama dalam perilaku hidupnya. Masalahnya, tantangan besar yang dihadapi oleh masyarakat krama Bali adalah bagaimana rangkuman nilai-nilai Hindu ini dapat menjadi landasan moral dan etika dalam setiap perilaku ekonomi Hindu, dalam zaman yang diyakini sebagai zaman kaliyuga, dengan ciri pokoknya; di mana setiap insan manusia sukar untuk memusatkan pikiran dan ukuran kemanusiaan terjebak dan jatuh sekadar pada tingkat material dan kekuasaan.
Masyarakat krama Hindu yang minoritas di negara Indonesia yang landasan falsafahnya juga adalah Pancasila. Secara normatif sudah tentu dengan mudah krama Bali menyatakan bahwa sistem ekonomi yang sekarang sedang berlangsung adalah sistem ekonomi kerakyatan yang identik dengan sistem ekonomi Hindu. Dengan melihat realitas ekonomi yang berlangsung saat ini, diperlukan kajian pemikiran yang panjang untuk dapat menerima dan menyetujui pemikiran normatif tersebut di atas.
Sebagaimana disepakati bahwa ekonomi kerakyatan adalah ideologi ekonomi terbuka, maka sejalan dengan ideologi ekonomi tersebut, kemungkinan bagi masyarakat krama Hindu untuk melakukan penafsiran, interprestasi terhadap sistem ekonomi kerakyatan dengan kerangka berpikir, keyakinan agama Hindu. Untuk tujuan interprestasi ini, maka sistem ekonomi Hindu yang merupakan penjabaran lebih lanjut dari rumusan tersebut di atas adalah sistem ekonomi dengan sejumlah ciri–ciri: Pertama, motivasi dasar dari gerak roda perekonomian adalah cita–cita kehidupan, sebagaimana tertuang dalam Catur Purusa Artha (Dharma, Artha, Kama, Moksa). Terkait ada unsur ekonomi moral, spiritual yang mendasari gerak perekonomian krama Bali.
Kedua, keterkaitan kuat untuk mewujudkan cita–cita bersama dalam artian Moksaartham Jagadhita, (kesejahteraan jagad dan kemudian mencapai moksa). Ketiga, sikap keagamaan masyarakat krama Hindu harus menjadi semakin dalam, sehingga mampu berubah menjadi sikap religius yang bercirikan menjadi lebih jujur, peka terhadap penderitaan dan kesulitan orang lain, rindu akan kehidupan yang mencerminkan kesejahteraan bersama.
Dengan demikian, akan lahir sejumlah pengusaha krama Bali yang religius, yang menjadi panutan dan pemberi inspirasi dari pengusaha lainnya. Keempat, komitmen yang semakin mengental dari setiap masyarakat krama Hindu untuk menciptakan keselarasan dan keserasian dalam kehidupannya dengan masyarakat ekonomi lain, alam semesta, dan Tuhan yang diyakininya (Ida Sang Hyang Widhi Wasa).
Ini berarti dalam implementasi ekonomi Hindu berfalsafahkan konsep Tri Hita Karana. Kelima, adanya dan terjaminnya kepastian hukum dalam kehidupan masyarakat krama Bali. Kepastian hukum di sini mempunyai pengertian yang universal, tidak semata–mata hukum dalam pengertian yuridis formal, tetapi juga mencakup rasa keadilan, serta tegaknya dharma di tengah–tengah masyarakat krama Bali.
Berdasarkan kajian ciri–ciri dan persyaratan sistem ekonomi Hindu tersebut, harus diakui bahwa perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan pergerakan sistem ekonomi global yang kemudian tampil dalam bentuk pertumbuhan, perkembangan ekonomi telah memberikan sumbangan besar terhadap perkembangan peradaban sistem ekonomi dan peradaban material kehidupan masyarakat krama Bali.
Penulis, pemerhati ekonomi kerakyatan