Sejarah mencatat, Indonesia termasuk negara yang paling sukses dalam menyelenggarakan Pemilihan Umum (Pemilu). Sejak Pemilu pertama tahun 1955 sampai yang kesebelas tahun 2014 lalu, Pemilu di Indonesia tidak sampai memantik perpecahan dan perang saudara yang menyebabkan krisis kemanusiaan seperti kelaparan dan kemiskinan.
Demikian halnya, Pemilu tahun 2019 ini, meski ada dinamika “panas”, diharapkan tidak sampai memunculkan gesekan yang berujung kekacauan apalagi krisis kemanusiaan. Karena jika sampai hal itu terjadi, sia-sialah hasil pembangunan selama ini. Tiada guna siapa pun yang terpilih menjadi pemimpin bangsa ini.
Pemilu justru diharapkan menghasilkan pemimpin-pemimpin bangsa yang bisa melanjutkan pembangunan. Pemilu diharapkan bisa menghasilkan pemimpin yang bisa melaksanakan pembangunan berkelanjutan. Negara-negara di dunia di bawah Perserikatan Bangsa-bangsa, telah mendeklarasikan pembangunan berkelanjutan ini.
Pertama yang dikenal sebagai Millenium Development Goal’s (MDGs) dideklarasikan di New York September 2000 dan ditargetkan selesai 2015 lalu. Beberapa target MDGs ini, di antaranya menanggulangi kemiskinan dan kelaparan, mencapai pendidikan dasar, mendorong kesetaraan gender. Juga, menurunkan angka kematian anak, meningkatkan kesehatan ibu, memerangi HIV/AIDS dan penyakit menular lain, kelestarian lingkungan hidup dan membangun kemitraan global.
Indonesia sebagai salah satu anggota PBB telah gencar melakukan semua ini. Masalah kelaparan misalnya, Indonesia cukup berhasil menanggulanginya. Di bidang pendidikan, Indonesia memprogramkan wajib belajar 12 tahun. Demikian halnya masalah kesetaraan gender, kesehatan ibu dan anak, terus mendapat perhatian.
MDGs ini kini ditingkatkan lagi menjadi Sustainable Development Goal’s (SDGs) atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Targetnya tiada lain, tidak ada lagi manusia di muka bumi ini yang ketinggalan dalam pembangunan. Dalam hal ini, pembangunan fisik dan jiwa, seperti tercantum dalam syair lagu kebangsaan Indonesia Raya, “Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya, untuk Indonesia Raya…”
Itulah yang disebut sebagai membangun manusia seutuhnya. Tujuannya, untuk kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Masyarakat yang makmur dan sejahtera. SDGs ini targetnya tercapai tahun 2030 mendatang.
Target baik MDGs maupun SDDs memang sangatlah mulia. Namun, kadang situasi politik dan kondisi tertentu bisa menciptakan kemiskinan baru. Katakanlah kisruh politik yang berujung perang saudara di beberapa negara dunia, telah memantik krisis kemanusian seperti kelaparan dan kemiskinan. Ini telah membuat MDGs maupun SDGs tidak tercapai seperti yang ditargetkan.
Indonesia yang sebentar lagi akan menyelenggarakan pesta demokrasi besar-besaran berupa Pemilihan Umum (Pemilu) serentak, haruslah bekerja keras tetap menjaga situasi politik dan keamanan tetap kondusif. Pemilihan presiden dan wakil presiden berbarengan dengan pemilihan anggota DPR RI, DPD dan DPRD secara serentak di seluruh tanah air, diharapkan tidak menyulut perpecahan yang bermuara pada konflik dan krisis kemanusiaan seperti terjadi di beberapa negara dunia.
Pembangunan berkelanjutan seperti diamanatkan dalam SDGs, tidaklah semata menyasar fisik. Tetapi haruslah seperti tersurat dalam syair lagu Indonesia Raya, pembangunan jiwa dan raga bangsa Indonesia. Apalah gunanya manusianya sejahtera makmur jika mental spiritualnya sakit.
Pembangunan fisik telah digenjot pemerintah, maka pembangunan spiritual haruslah lebih banyak diperankan para pemuka masyarakat. Para pemuka masyarakat dan kaum spiritualis haruslah menanamkan kedamaian, toleransi, dan nilai-nilai kemanusiaan. Bukan sebaliknya, menebar fanatisme sempit mengarah radiakalisme. Sekali lagi, kita semua tidak mengharapkan Pemilu menjadi pemicu perang saudara yang menghasilkan krisis kemanusiaan. Pemilu harus melahirkan pemimpin yang bisa melakukan perbaikan dan melanjutkan pembangunan untuk mencapai masyarakat adil, makmur, dan sentosa.