DENPASAR, BALIPOST.com – Peternak kembali gusar. Setelah 2018, harga ayam cukup memuaskan hasil jerih payah peternak, kini pada 2019 para peternak kembali dihadapkan pada permasalahan pemasukan daging ayam potong dari Jawa ke Bali yang cukup signifikan. Hal ini membuat peternak lokal menjerit karena stok ayam yang dimiliki menumpuk sehingga mau tidak mau stok ini dijual dengan harga murah yaitu Rp 17.000 – Rp 17.500 di tingkat peternak. Padahal HPP (harga pokok produksi) peternak yaitu Rp 20.500. Akibatnya peternak merugi Rp 6.000-an per ekor.
Ketua Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat Indonesia (Pinsar) Broiler Bali (PBB) Bali I Ketut Yahya Kurniadi, SKH. menuturkan, masalah tata niaga ayam ini telah dialami sejak tahun 2011. Dua tahun terakhir permasalahan ini kembali mencuat karena dengan mudahnya daging ayam potong masuk dari Jawa ke Bali. “Dua tahun lalu ia pernah mencoba berkoordinasi dengan Karantina dan KP3, ternyata kita mentoknya di Karantina,” ungkapnya ditemui Selasa (19/3).
Dengan adanya Pergub 99 tahun 2018 , ia berharap dapat menolong peternak. Karena pergub tersebut di nilai memberi peluang produk lokal Bali berjaya di daerahnya sendiri.
Ada sekitar 1.200 peternak di Bali yang sangat mengharapkan Gubernur Bali melalui Pergub tersebut menerapkan otonomi daerah agar tata niaga ayam di Bali berjalan kondusif. “Kondisi di Bali sangat terpuruk dengan masuknya daging dari Jawa ini. Ini yang menjadi keresahan kita. Kita berharap Pak Gubernur bisa memperhatikan kesusahan kita dan juga bisa mendukung berjalannya Pergub 99 tahun 2018,” ungkapnya.
Ia menjelaskan, masuknya daging ayam potong dari Jawa ke Bali tidak terlepas dari pengaruh kondisi tata niaga ayam secara nasional. Secara nasional, penyebaran DOC melebihi kebutuhan yaitu 17,5 juta – 20 juta per minggu. Sementara kebutuhan DOC per minggu 55 juta. “Informasi Pinsar pusat produksi DOC sekitar 72 juta – 75 juta per minggu,” ungkapnya.
Sementara tata niaga ayam di Bali dikatakan sudah cukup kondusif selama ini. Pihaknya sudah menyepakati dengan anggota Pinsar di Bali terkait angka sebaran DOC sesuai dengan kebutuhan. Jika dilihat dari penyebaran DOC selama ini, dikatakan Bali tidak mengalami over supply. “Yang menjadi momok kita adalah supply daging dari Jawa, sehingga harganya menjadi murah,” ungkapnya.
Harga ayam di Jawa menjadi sangat murah. Murahnya daging ayam dari Jawa ini mempengaruhi permintaan di Bali. Harga ayam yang rendah di Jawa ini dikatakan karena adanya over supply DOC di Jawa.
Selain itu saat ini di Jawa banyak muncul kandang close house permanen, baik milik perorangan ataupun milik pabrikan. Perbaikan manajemen produksi ini membuat produksi mereka menjadi bagus, sehingga over supply daging menjadi signifikan.
Ini membuat harga ayam di Jawa periode Januari- Maret 2019, secara nasional jauh di bawah HPP yaitu. HPP nasional adalah sekitar Rp 19.000, sedangkan HPP peternak ayam di Bali Rp 20.500.
“Di sinilah pemasok daging dari Jawa memasok daging ke Bali sekitar 50 ton per hari. Kalau dikonversi dengan ayam hidup yang ada di Bali dengan berat 1,8 kg, itu sama dengan 35.000 – 37.000 ekor per hari. Artinya, ayam kita yang di Bali harusnya keluar 180.000 – 200.000 ekor per hari (kebutuhan), sekarang dikurangi dengan masuknya daging dari Jawa, jadinya ada penumpukan stok di Bali,” bebernya.
Padahal Bali sendiri sudah mampu memenuhi kebutuhan daging ayam sendiri. Namun nyatanya Bali memasok lagi ayam dari luar Bali sehingga terkesan Bali tidak mampu memenuhi kebutuhannya sendiri. Apalagi di Bali sudah ada Rumah Potong Unggas (RPU) yang berstandar. Sehingga dari higienitas, kualitas daging lebih terjamin. Ia berharap permasalahan ini dapat segera diselesaikan dengan adanya Pergub 99 tahun 2018 ini. (Citta Maya/Balipost)