DENPASAR, BALIPOST.com – Bali saat ini memiliki 300 lebih pendamping desa yang dibentuk berdasarkan Undang-undang No.6 Tahun 2014 tentang Desa. Pendamping desa utamanya bertugas mengawal dana desa yang diterima desa dinas.
Dengan adanya rancangan perda tentang desa adat, ratusan pendamping desa inipun siap mendampingi desa adat dalam menyusun rencana strategis desa adat dan APBDesa Adat. “Kalau bisa dikolaborasikan, 300 orang lebih pendamping desa ini, kami siap agar tidak lagi merekrut dari nol karena kami sudah dilatih secara profesional,” ujar salah seorang pendamping desa, I Ketut Wijaya Mataram saat memberi masukan dalam pembahasan Ranperda tentang Desa Adat di Wantilan DPRD Bali, Selasa (19/3).
Wijaya Mataram mengaku sudah lima tahun menjadi pendamping desa. Keberadaan desa adat dan desa dinas di Bali diharapkan tidak menjadi dualisme atau rivalitas, melainkan dualitas untuk saling bersinergi.
Oleh karena itu, pihaknya berkepentingan agar pembahasan Ranperda tentang Desa Adat benar-benar memberdayakan desa adat. Kendati, desa adat selama ini sudah diakui Undang-undang serta diatur lebih lanjut dalam perda dan pergub. Khususnya menyangkut kewenangan dan tujuan desa adat. “Kemudian dalam hal ini manajemen desa adat, harapan kami aspirasinya, ketika diakomodasi akan didampingi oleh pendamping desa adat,” jelasnya.
Secara kelembagaan, lanjut Wijaya Mataram, desa adat harus tetap berbasis kearifan lokal dan tradisional. Namun dari segi manajemen, pihaknya mendorong agar profesional dan modern. Disinilah pendamping desa bisa disinergikan menjadi pendamping desa adat. Salah satunya yang krusial dalam pengelolaan BUPDA (Baga Utsaha Padruwen Desa Adat), agar tidak berbenturan dengan Bumdes milik desa.
Kemudian terkait kerjasama antara desa adat dan desa dinas, serta kerjasama antar desa adat. “Jangan sampai ketika ini (Ranperda Desa Adat) dilegalisir, nanti sifatnya harusnya meredam, mengayomi, memberdayakan, malah menimbulkan konflik,” imbuh pria ini.
Ia juga sempat menyinggung soal Bendesa Adat dapat menjadi ketua merangkap anggota Kerta Desa Adat. Menurutnya, rangkap jabatan ini mestinya tidak ada dan lebih baik dilarang.
Diwawancara terpisah, Ketua Pansus Ranperda tentang Desa Adat, I Nyoman Parta menilai positif keinginan pendamping desa yang ingin terlibat dalam proses pemberdayaan desa adat. Terlebih, pendamping desa memang dicantumkan dalam Ranperda Desa Adat. “Apakah nanti pendamping desanya kita rekrut baru atau mereka yang sudah jadi dan profesional mendampingi desa itu kita jadikan lagi. Itu persoalan teknis,” ujar Ketua Komisi IV DPRD Bali ini.
Menurut Parta, pendamping desa dalam ranperda bertugas mendampingi Prajuru Adat ketika ada pesangkepan (rapat) berkaitan dengan rencana pembangunan di desa adat. Termasuk mendampingi dari sisi pemberdayaan, perencanaan, dan pengalokasian anggaran ketika desa adat menyusun rencana strategis dan APBDesa Adat. (Rindra Devita/balipost)