Tim gabungan melakukan penertiban APK melanggar di Denpasar, Rabu (23/1). (BP/dok)

Oleh Agung Kresna

“Pemasangan APK sebagai sarana komunikasi visual kepada publik seharusnya dapat menambah keindahan suatu kawasan di mana APK tersebut ditempatkan. Banyak APK yang dipasang di tiang listrik, tiang telepon, pohon, dan tempat lain yang justru tidak memberikan keindahan, namun justru bagai menghasilkan sampah visual pada suatu lingkungan.”

Pemasangan APK Cemari Wajah Kota (Bali Post, 15/3). Memasuki masa kampanye dalam tahapan Pemilu Legislatif (Pileg) dan Pemilu Presiden (Pilpres) 2019, terlihat mulai diwarnai dengan gencarnya pemasangan Alat Peraga Kampanye (APK). Sayangnya pemasangan APK banyak menyalahi peraturan yang ada karena dipasang di tempat terlarang. Juga tidak sedikit APK yang dipasang tanpa mengindahkan estetika sehingga acapkali membuat suatu kawasan terkesan semrawut secara visual.

Pemasangan APK sebagai sarana komunikasi visual kepada publik, seharusnya dapat menambah keindahan suatu kawasan di mana APK tersebut ditempatkan. Banyak APK yang dipasang di tiang listrik, tiang telepon, pohon, dan tempat lain yang justru tidak memberikan keindahan, namun justru bagai menghasilkan sampah visual pada suatu lingkungan.

APK sebagai elemen tata ruang luar dalam suatu kawasan, seharusnya justru dapat memberi tambahan keindahan visual pada kawasan tersebut. Sayangnya karena pemasangan yang sembarangan karena hanya sekadar mencari lokasi yang strategis, akibatnya justru bagai menimbulkan sampah visual pada suatu kawasan. Bandingkan dengan pemasangan penjor atau atribut upakara lain pada saat krama Bali sedang melaksanakan karya, justru keindahan yang muncul dalam suatu kawasan.

Baca juga:  Dilema Penegakan Hukum Saat Pandemi

Media komunikasi visual di ruang publik memang justru sering menimbulkan gangguan visual di ruang publik. Hal ini akibat seringnya media komunikasi tersebut dipasang secara serampangan, tanpa mengindahkan estetika dan peraturan yang ada. Tidak jarang poster atau pamplet dipasang dengan cara dipaku pada pohon, atau ditempel/dilem pada public facility seperti tiang listrik/telepon dan boks pembagi jaringannya.

Pesatnya kemajuan teknologi cetak/printing juga telah memunculkan peluang timbulan sampah plastik baru. Dahulu alat peraga promosi ruang luar yang berwujud spanduk maupun baliho banyak menggunakan bahan dasar kain, sehingga mudah untuk didaur ulang setelah tidak digunakan lagi. Sementara saat ini seiring kemajuan teknologi cetak, spanduk dan baliho justru lebih banyak menggunakan bahan plastik sehingga menjadi timbulan baru sampah plastik.

Penempatan lokasi videotron maupun tempat spanduk/baliho yang bersifat permanen pun tidak jarang mengabaikan unsur estetika lingkungan. Sehingga kehadiran elemen promosi luar ruang tersebut acapkali justru memperburuk wajah arsitektur suatu kota. Penempatan lokasi area promosi permanen ini lebih sering hanya mempertimbangkan unsur lokasi yang strategis dari sisi potensi calon konsumen semata.

Sampah Visual Kota

Kehadiran alat peraga promosi luar ruang pada suatu kawasan sebenarnya justru merupakan potensi untuk memberi nilai tambah estetika pada kawasan itu sendiri. Sarana promosi ruang luar memiliki karakteristik estetik sesuai masing-masing jenisnya. Hal ini terutama terkait dengan kecepatan pembaca yang melintasi/membacanya, karena sarana ini menyasar warga yang berjalan/berkendara melintasi area publik. Baliho dengan dimensinya yang besar ditujukan bagi pengendara berkecepatan tinggi, sementara poster diperuntukkan bagi yang berkecepatan rendah.

Baca juga:  “Hoax” dan Sifat Hakikat Manusia

Penataan papan nama toko, pusat perdagangan, kantor, serta fasilitas publik lainnya sebagai sarana komunikasi visual, juga harus dikelola guna memperoleh wajah arsitektur suatu kawasan/kota sehingga tidak memunculkan kesemrawutan visual. Jika kondisi ini terjadi, maka bagai menciptakan sampah visual bagi ruang publik suatu kota/kawasan.

Penempatan aneka tiang sarana instalasi jaringan listrik, telepon, televisi kabel, maupun tiang penyangga sarana promosipun bisa dikatakan sering mengabaikan unsur estetika visual lingkungan. Aneka macam tiang tersebut acapkali tertancap secara berjubel pada lokasi strategis, utamanya pada tepian persimpangan jalan. Tidak jarang pada satu persimpangan jalan raya bisa ditemui puluhan tiang tertancap di lokasi tersebut.

Sampah fisik maupun visual di Bali nampaknya sudah mencemaskan banyak pihak. Bertebarnya sampah fisik di ruang publik tentu dapat memberi dampak buruk bagi pariwisata Bali. Demikian juga halnya dengan sampah visual harus ditangani secara konseptual, sekaligus sebagai upaya dalam mengelola wajah arsitektur kota/kawasan.

Harus dilakukan pembatasan sarana promosi ruang luar. Terutama sarana promosi yang memiliki dimensi cukup besar, karena bentuk sarana ini paling berpotensi merusak estetika visual suatu kawasan. Hal ini memang terkait dengan potensi pajak yang akan hilang dengan berkurangnya jenis sarana promosi ini. Sehingga diperlukan sinergi kebijakan dari semua pihak yang terkait.

Baca juga:  Parpol Diminta Geser APK Dipasang di Pohon dan Fasum

Perlu adanya penataan lokasi yang diizinkan atau dilarang sebagai tempat pemasangan aneka sarana promosi ruang luar. Penataan ini diperlukan agar tidak sembarang tempat dapat digunakan sebagai lokasi penempatan sarana promosi ruang luar. Sehingga secara fisik maupun visual akan tercipta keindahan estetik pada suatu kota/kawasan, sekaligus memperoleh potensi pajak yang diperlukan sebagai sumber dana pembangunan kota/kawasan.

Penerapan perizinan yang ketat dan konsisten terhadap pemasangan sarana promosi/komunikasi ruang luar harus selalu dilakukan. Berbagai sarana yang tidak memiliki izin, harus secepatnya ditertibkan sesuai peraturan yang ada guna tetap menjaga estetika visual pada suatu kota/kawasan yang sudah diatur dalam perizinan yang ada.

Perlu dibangun kesadaran masyarakat bahwa sampah (fisik maupun visual) adalah masalah kita bersama. Pemerintah daerah Bali sebenarnya sudah mencanangkan program Bali Green and Clean yang diluncurkan pada 2010. Melalui program ini diharapkan dapat menghadirkan Pulau Bali yang bersih dan nyaman secara fisik dan visual.

Ajaran Tri Hita Karana yang dianut krama Bali mengajarkan bagaimana menjaga keselarasan hubungan antara Tuhan, manusia, dan alam lingkungan. Secara tradisional krama Bali sebenarnya sudah punya cara bijak dalam menangani sampah. Local genius krama Bali sudah mengajarkan bagaimana seharusnya menangani sampah. Tinggal bagaimana implementasinya secara kontekstual sesuai realitas kondisi saat ini.

Penulis, arsitek, Senior Researcher pada Centre of Culture & Urban Studies (CoCUS) Bali, tinggal di Denpasar

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *