JAKARTA, BALIPOST.com – Pemberian diskresi terhadap Bulog yang mendapat keistimewaan untuk mengimpor bawang putih tanpa kewajiban menanam 5% dari volume impor sesuai Permentan Nomor 38 Tahun 2017 tentang Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH) menimbulkan pertanyaan dan protes banyak pihak.
“Pemberian keistimewaan kepada Bulog bukan hanya menciptakan ketidakadilan terhadap importir yang patuh terhadap regulasi, diskresi juga berpotensi melanggar hukum,” demikian kesimpulan diskusi membahas Impor Bawang Putih di Jakarta, Rabu (20/3).
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menilai, penugasan tersebut mesti termaktub dalam perundang-undangan, minimal dalam peraturan menteri pertanian (permentan) yang memang mengurusi rekomendasi impor produk hortikultura. “Pemerintah itu yang penting diatur dengan perundang-undangan. Ada pengecualian itu. Ada nggak ? Ketika ada, peraturan itu termasuk permentan, berarti dia dikecualikan,” ucap Komisioner KPPU Chandra Setiawan.
Sebaliknya jika tidak ada perundang-undangan yang jelas dalam penugasan tersebut, Chandra mengatakan, hal tersebut dapat membuat persaingan usaha menjadi tidak sehat. Apalagi, selama ini importir mesti mematuhi kewajiban menanam bawang putih dengan produksi 5% dari total yang diimpor, sementara Bulog tidak. “Adanya kewajiban menanam kembali membuat biaya produksi importir lain lebih besar. Pun, kebijakan merugikan petani bawang putih lokal yang terlindungi dengan kewajiban tanam itu,” paparnya.
Chandra mengingatkan, nantinya bawang putih yang diimpor Bulog tidak dijual di pasaran yang sama dengan bawang putih impor lainnya. Karena jika marketnya sama, hal tersebut akan membuat level persaingan terkait komoditas impor tersebut menjadi diskriminatif. “Kalau diskriminatif, itu berarti mereka bersaingnya tidak dalam level yang sama sehingga persaingannya tidak sehat,” tuturnya.
Rugikan Importir Dan Petani
Kebijakan mengistimewakan Bulog ini membuat kalangan importir protes. Sejumlah importir mengungkapkan kekecewaannya. Pasalnya, kondisi tersebut jelas merugikan dan membuat ketidaksetaraan dalam perdagangan komoditas ini di pasaran.
Harga jual bawang putih yang mereka pasarkan akan kalah saing dengan milik Bulog. Dikarenakan BUMN Bulog tidak memiliki beban tanam untuk memenuhi syarat kuota impor. “Yang kita pertanyakan satu, mereka tidak perlu tanam sedang kita perlu tanam. Kita sebagai importir berantakan semua dong,” keluh pengusaha impor, Bastari.
Beban biaya tanam sendiri untuk memenuhi aturan tidaklah sedikit. Menurut para pengusaha, untuk menanam 20 hektare lahan bawang putih sebagai syarat agar bisa impor membutuhkan dana sekitar Rp 5 miliar. Belum lagi jika harus menghitung beban bagi hasil yang harus diberikan kepada petani.
Sebagaimana KPPU pikirkan, importir juga khawatir akan ke mana nantinya Bulog memasarkan komoditas itu. Apalagi hingga kini impotir masih belum bisa melakukan impor lantaran RIPH tak kunjung dikeluarkan. Padahal banyak importir mengajukan sejak Januari lalu.
Sementara itu, importir lainnya mengatakan, harga bawang putih saat ini belumlah terlalu tinggi. Sehingga, intervensi dari Bulog guna stabilisasi yang bernuansa ‘darurat’ belumlah diperlukan. Harga tinggi di pasar saat ini hanya terjadi pada bawang putih jenis premium saja, yaitu berkisar Rp 40.000-Rp45.000. Sementara bawang putih yang umumnya dikonsumsi masyarakat masih kisaran harga yang relatif stabil antara Rp26.000-Rp27.000.
Para importir menolak diskresi yang diberikan pada Bulog untuk mengimpor bawang putih. Pasalnya, selama ini sebenarnya juga ada BUMD yang melakukan impor, tapi mereka juga tetap mematuhi prasyarat tanam 5% tersebut.
Ketua Umum Asosiasi Hortikultura Nasional Anton Muslim Arbi mempertanyakan impor tanpa wajib tanam ini. Menurutnya, pemerintah punya antensi baik untuk meningkatkan produksi bawang putih nasional. Namun, dengan memberikan diskresi menafikan peraturan wajib tanam ini, produksi bawang putih lokal menjadi terabaikan. (Nikson/balipost)