DENPASAR,BALIPOST.com – Seniman lukis asal Bali, Made Bayak menggelar pameran tunggal di Amerika Serikat. Bayak bekerjasama dengan salah satu dosen di departemen anthropology, University of Georgia (UGA).
Pameran yang berlangsung di sebuah gallery bernama ATHICA (Athens institute for contemporary art) ini akan dibuka pada 25 Maret dan berlangsung sampai dengan 28 April 2019. “Rencana pameran ini sudah dirancang selama 2 tahun, dari awal tahun 2016 pertama kali proses interview karya dan aktivitas saya sebagai seniman visual dan musik. Kurator dan penulis dalam pameran ini adalah Peter Brosius, Alden DiCamilio dan Sarah Hitchner,” ujar Bayak dalam keterangan pers yang diterima Bali Post, Jumat (22/3).
Menurut Bayak, pameran tunggalnya yang berjudul “old Gods | new Gods in Bali” bisa diartikan bebas. Terlebih, berbicara Bali tidak akan pernah habis karena pulau kecil ini sudah sangat terkenal dimana-mana.
Sebagai destinasi pariwisata dunia, Bali memiliki keindahan alam dan keunikan budaya. Tapi, ada wacana lain yang ternyata sangat miris. Seiring dengan semua gambaran pariwisata eksotis Bali, ada Tuhan “baru” menyeruak diantara Tuhan “lama” yang menjadi warisan leluhur di Bali.
Belum lagi, ada sejarah kelam pembunuhan massal yang sampai saat ini masih tersembunyi.
“Kita disuguhi dan dipaksa mengkonsumsi konsep-konsep seperti Tri Hita Karana dan bangga sudah merasa menyeimbangkan hidup dengan alam, manusia dan Tuhan, tapi di lain sisi kita membiarkan Teluk mau diurug, kita biarkan wilayah tempat suci kita dijual dan membangun beton-beton baru tidak terkendali, kita biarkan sumber-sumber air kita kotor oleh sampah, kita hanya asik memenuhi hasrat supaya dibilang menjadi lebih modern,” paparnya.
Di Bali, lanjut Bayak, juga ada dewa-dewa baru berwujud dollar dan investasi yang cendrung rakus dalam pariwisata massal yang mengabaikan semua aspek manusia, lingkungan dan Tuhan di Bali. Ada pula dewa konsumerisme dan yang paling mengkhawatirkan adalah berkurangnya pasokan air tanah yang notabne adalah sumber kehidupan bagi kebudayaan Bali.
Tercemarnya sumber-sumber air dari sampah plastik dan limbah rumah tangga adalah dampak nyata bentuk ketidakpedulian. “Ini bukan persoalan antipariwisata atau antipembangunan tapi bagaimana kebenaran itu seharusnya diketahui bersama, dipelajari sehingga kita bisa melangkah lebih percaya diri untuk melanjutkan yang namanya kebudayaan Bali dan harusnya kita bisa melahirkan sebuah budaya belajar, terbuka, dan bisa bersikap kritis terhadap diri kita sendiri,” jelasnya.
Dari hal tersebut, karya-karya Bayak yang dipamerkan utamanya mengangkat tema lingkungan, pariwisata massal di Bali, kekerasan, kemanusiaan dan hak asasi manusia, serta keterlibatan seni dan kesenian pada perjuangan Bali tolak reklamasi. “Saya juga memajang sebuah karya instalasi tentang cosmology Bali yang berkaitan erat dengan berbagai peristiwa di Bali, kabarnya pernah dipakai referensi untuk membuang potongan tubuh korban pembantaian massal sesuai arah mata angin, juga sempat digunakan sebagai tema perjuangan dan event besar menolak rencana busuk reklamasi Teluk Benoa,” imbuhnya.
Bayak menambahkan, ada beberapa karya yang ikut serta dalam ilustrasi buku Prison songs bersama taman 65 di Denpasar juga akan dipamerkan. Dua buah Karya kolaborasinya dengan sang anak, Damar Langit Timur dan istri, Kartika Dewi juga dipilih dan diikutsertakan dalam pameran ini. (Rindra Devita/balipost)