Oleh Ni Komang Hevi Prima Dewi, SST
Indonesia saat ini tengah menikmati periode bonus demografi berkat banyaknya populasi penduduk dalam rentang produktif. Booming ketersediaan tenaga kerja di tengah yang bersamaan era revolusi industri 4.0 akan menjadi ancaman bagi low skilled workers, atau profesi dengan jenis pekerjaan yang repetitif, karena akan mudahnya tergantikan oleh mesin, robot, dan kecerdasan buatan.
Bonus demografi merupakan kondisi di mana jumlah penduduk usia produktif (15-64 tahun) lebih besar dibandingkan usia nonproduktif (0-14 dan 65 tahun ke atas). Indonesia diproyeksikan akan menikmati puncak bonus demografi pada tahun 2020-2035. Menurut data yang dilansir Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bali, rasio ketergantungan penduduk menunjukkan tren menurun dari tahun ke tahun.
Pada tahun 2017, angka rasio ketergantungan penduduk di Bali mencapai 44,71 persen, artinya secara rata-rata setiap 100 penduduk usia produktif menanggung beban 45 penduduk usia nonproduktif. Angka ini mengisyaratkan bahwa beban ekonomi yang ditanggung oleh usia produktif semakin kecil. Ibaratnya, beban tanggungan satu orang usia nonproduktif dibagi oleh dua orang usia produktif. Tentu hal ini sudah sangat diidamkan sejak dulu, bonus demografi yang harapannya akan memberi kesempatan dan peluang besar di berbagai lini kehidupan yang digerakkan oleh generasi muda produktif.
Namun sayangnya, di tengah euforia terhadap dampak bonus demografi, kecepatan pergerakan industri 4.0 benar-benar tidak terkejar. Hal ini bahkan diakui oleh Presiden Joko Widodo dalam konferensi yang menyatakan bahwa “Kecepatan revolusi industri 4.0 betul-betul 3.000 kali lebih cepat dibandingkan revolusi industri yang pertama, inilah keterbukaan teknologi yang sulit kita cegah dan hadapi”.
Berdasarkan data BPS Provinsi Bali, penyerapan tenaga kerja usia produktif yang digambarkan dengan Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) hanya 98,94 persen, artinya masih ada 1,06 persen angkatan kerja yang menganggur atau tidak terserap dalam lapangan pekerjaan. Meski angka ini tergolong jumlah yang relatif kecil, namun tetap saja perlu mendapat perhatian.
Lebih dalam lagi, jika kita cermati penyerapan tenaga kerja di Bali khususnya berdasarkan tingkat pendidikannya, hampir sebagian merupakan lulusan menengah pertama ke bawah (49,82 persen) yang artinya minim keterampilan dan kompetensi bersaing. Hal ini juga tergambar dari jumlah tenaga kerja berdasarkan jenis pekerjaannya, sebagian besar (65,56 persen) angkatan kerja di Bali bekerja sebagai buruh/karyawan, hanya sepertiganya yang berusaha sendiri baik dengan dibantu karyawan maupun tanpa karyawan. Jika dihadapkan pada era revolusi industri 4.0 dengan kecepatan seperti sekarang ini, kondisi tersebut tentunya akan menjadi tantangan tersendiri.
Revolusi industri 4.0 menawarkan berbagai macam kemudahan dan kecepatan bagi kita yang siap menghadapinya, namun juga bisa menjadi bencana bagi penduduk yang belum siap. Pemanfaatan internet of things (IoT), kecerdasan buatan, mesin dan robot yang akan menggantikan tenaga manusia dengan kompetensi rendah atau yang sering disebut sebagai low skilled workers bisa mengancam potensi bonus demografi.
Dengan adanya revolusi 4.0 akan ada banyak pekerjaan yang digantikan terutama pekerjaan yang bersifat repetitif, seperti angkutan, resepsionis, sopir, pekerja pabrik, bahkan juga teller bank. Dalam kasus dunia internasional, contohnya supplier Apple dan Samsung yaitu Foxconn sudah mengganti 60.000 karyawannya dengan robot. Di China, pabrik menggantikan 90 persen karyawannya dengan robot. Diproyeksikan 2030 nanti, secara global pekerjaan-pekerjaan yang digantikan oleh robot 800 juta lapangan kerja (Kompas, 05/2016).
Bagaimana dengan di Bali, apakah revolusi industri juga memengaruhi tatanan lapangan pekerjaan kita? Coba kita mundur beberapa tahun ke belakang, zaman Bali yang dipenuhi oleh tenaga kerja kreatif (seniman) yang mampu menghasilkan produk bernilai seni dengan harga tinggi seperti lukisan, patung, perhiasan perak, kerajinan bambu dan sejenisnya. Pekerja seni ini pernah berjaya pada masanya.
Hingga suatu ketika revolusi industri pun masuk dengan cepatnya menggerus tenaga kerja manusia dengan penggunaan mesin dan teknologi terbaru yang mampu meningkatkan produktivitas dengan biaya yang lebih kecil dan waktu yang jauh lebih cepat. Salah satunya teknologi pembuatan patung dengan casting.
Art Shop dan toko-toko penjualan konvensional pun mulai beralih ke dunia online. Dengan memanfaatkan teknologi terkini tidak hanya efisiensi tenaga kerja, namun jangkauan pasar pun jadi lebih luas. Kasus lainnya yang bisa kita jadikan contoh adalah munculnya berbagai unicorn (startup yang memiliki valuasi nilai US$ 1 miliar) seperti Gojek, Bukalapak, Tokopedia, Traveloka, dan sejenisnya.
Startup dengan berbagai penawaran kemudahannya telah mampu menggeser produksi dari padat karya ke padat modal dengan hasil yang optimal dan harga lebih bersaing. Masih banyak pekerjaan lain yang mungkin posisinya terancam.
Menghadapi tantangan tersebut, pemerintah tentu tidak tinggal diam, dengan adanya revolusi industri 4.0 yang menawarkan berbagai kemudahan sudah seyogianya kita menyambut hal ini secara optimis, apalagi bertepatan dengan momentum bonus demografi. Hal yang perlu diupayakan adalah menyiapkan generasi milenial yang masuk dalam rentang usia produktif ini dengan bekal yang cukup. Momentum yang baik ini harus dimanfaatkan agar industri semakin produktif dan berdaya saing sehingga mampu mendorong perekonomian nasional dan Bali pada khususnya.
Upaya kolaboratif “Triple Helix”, antara pemerintah dengan pelaku industri dan akademisi dinilai penting untuk mewujudkan ekosistem yang mendukung penerapan ekonomi digital. Membangun lebih banyak lagi pusat-pusat kawasan sains atau Science Techno Park seperti Bali Creative Industry Center (BCIC), yang nantinya diharapkan mampu mendorong munculnya produk-produk inovatif, memperkuat daya saing di daerah, mendorong hilirisasi hasil riset dan teknologi sehingga bisa dimanfaatkan oleh pelaku industri. Upaya lainnya adalah dengan memfasilitasi tumbuh kembang para pelaku industri kreatif melalui beberapa inkubator bisnis.
Dengan melihat potensi ancaman, tantangan, harapan dan peluang kemunculan revolusi industri dewasa ini. Kita harus tetap cerdas menghadapinya, jangan lupa selalu ada peluang di dalam tantangan. Selain menghilangkan beberapa lapangan pekerjaan, kehadiran revolusi industri 4.0 juga memunculkan lapangan pekerjaan baru yang berhubungan dengan teknologi dan internet yang sudah barang tentu membutuhkan tenaga ahli. Oleh sebab itu, kesiapan kita generasi milenial yang ada dalam usia produktif sudah seyogianya kreatif dan inovatif, memiliki kemampuan adaptif, kemampuan menyelesaikan masalah yang makin kompleks, berpikir kritis, mampu negosiasi serta memiliki kemampuan koordinasi yang baik.
Milenial harus sudah mengembangkan skill dari sekarang, memilih jurusan yang tepat bukan karena tren dan ikut-ikutan numpang keren. Mengembangkan diri melalui kegiatan workshop, menjalin relasi baru dan terbuka terhadap hal-hal baru. Dibutuhkan upaya meningkatkan kemampuan khusus yang sulit diterapkan di teknologi, seperti skill kepemimpinan, berpikir kritis, kemampuan kerja sama, dan komunikasi. Kalau kita sudah punya kemampuan tersebut, tentu kita akan punya nilai lebih di lingkungan kerja. Jadilah generasi produktif yang optimis dan berdaya saing.
Penulis bekerja di Badan Pusat Statistik