korupsi
Ilustrasi

Oleh Suparta Djelantik

Saat ini sedang ramainya dibicarakan tentang pembahasan Rancangan Peraturan daerah (perda) tentang desa (adat) yang sedang dibahas pemerintah daerah Provinsi dan DPR Bali mengingat perda tersebut memiliki arti strategis, substansial menyangkut kehidupan perekonomian, tradisi, sosial-budaya, religi dan martabat masyakat Bali yang mayoritas beragama Hindu.

Penulis sebagai pribadi maupun masyarakat memiliki ketertarikan dan memiliki keterkaitan yuridis berkenaan dari keberlakuannya. Sebagai anggota masyarakat, penulis mencoba untuk melakukan pemikiran reflektif terhadap berbagai permasalah hukum berkenaan dengan kedudukan Perda dalam sistem hukum nasional dan sebagai instrumen perlindungan nilai-nilai ekonomi, sosial, kultural dan menjaga keseimbangan alam yang eksotik.

Kesatuan masyarakat hukum adat sebagai stakeholder telah mengambil peran besar dalam membangun, menjaga dan mengembangkan nilai-nilai kearifan lokal dalam kerangka memperkuat basis kultural melalui desa (adat) yang kuat dan inspiratif untuk kesejahteraan masyarakat Bali.

Perda dalam Masyarakat Bali adalah pengaturan tentang kehidupan masyarakat Bali sebagai upaya-upaya menegakkan dan mensejahterakan diri lewat kehidupan yang tertib dan teratur. Perda berkenaan dengan masalah otoritas dan kontrol yang memungkinkan kehidupan kolektif masyarakat Bali, berkenaan dengan posisi keberadaannya sebagai lembaga politik pemerintahan komunitas dan sebagai bagian inheren pemerintahan (NKRI). Dua entitas ini memiliki kekuasaan mengatur bagaimana mewujudkan hubungan-hubungan itu selalu berada dalam keadaan yang tertib, berketeraturan dan menginspirasi.

Kekuatan kontrol dan otoritas pemerintah daerah (Pemda) baik pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota sebagai pengemban kekuasaan negara di daerah yang mendasari kontrol itu melalui “hukum lokal”, maka dalam hubungan ini tidaklah keliru kalau Black mendefinisikan hukum sebagai government’s social control.

Baca juga:  Pemetaan Produksi Antisipasi Masalah Pangan di Bali

Di satu sisi dalam kehidupan kesatuan masyarakat hukum masyarakat Bali juga memiliki lembaga otoritas ”desa adat” yang memiliki ciri-ciri homogen dan eksklusif dengan hukum umumnya tidak tertulis dan eksis sebagai asas-asas umum di dalam ingatan warga komunitas, dirawat secara turun temurun sebagai tradisi yang dipercaya berasal dari nenek moyang dalam menjaga tertib dan mengontrol komunitasnya.

Inilah yang disebut tradisi atau moral kehidupan suatu komunitas yang di dalam kajian sosiologi hukum sering juga disebut hukum rakyat, dan yang didalam ilmu hukum disebut hukum kebiasaan atau hukum adat, sehingga perda yang ditujukan untuk mengatur kehidupan komunitas berada pada skala dan format lokal yang memiliki ciri-ciri homogen dan eksklusif.

Perda sebagai hasil kesepakatan komunitas dalam perkembangan kehidupan yang lebih mutakhir, tatkala kehidupan-kehidupan lokal yang berskala kecil dan eksklusif, apa yang disebut hukum itu mulai menampakkan wujudnya yang tertulis. Inilah yang disebut hukum perundang-undangan yang ditulis dalam rumusan-rumusan yang lebih eksak, dibentuk atau dibuat melalui prosedur tertentu, dan terstruktur atau terlembagakan sebagai sarana kontrol yang nyata-nyata formal sifatnya, yang ditunjang oleh otoritas kekuasaan negara yang berwenang untuk mendayagunakan sanksi dalam fungsinya sebagai standar berperilaku warga komunitas, dan kemudian difungsikan seefektif mungkin sebagai kontrol dengan keyakinan bahwa aturan-aturan berperilaku dalam komuntias akan dapat diniscayakan demikian rupa, sehingga apa yang disebut kepastian hukum akan terjamin.

Perda sebagai Hukum Lokal

Dalam kehidupan komunitas Bali  sebagaimana yang telah dibentangkan di muka, perda selalu atau hampir selalu diartikan sebagai seluruh norma sosial yang telah diformalkan oleh institusi-institusi kekuasaan dalam mengatur dan mengontrol komunitas. Menilik keterangan di muka, tak salah kiranya apabila dikatakan bahwa perda dipandang sebagai titah-titah sepihak para penguasa.

Baca juga:  Empat Tahun Diterbitkan, Perda Terkesan Jadi “Macan Ompong”

Sebagai hukum yang lahir dari paradigma baru, bahwa suara rakyat (yang disatukan secara rasional lewat kesepakatan) sebagai kehendak Tuhan. Vox Populi Vox Dei. Hasil kesepakatan rakyat inilah secara langsung atau melalui wakil-wakilnya yang kelak diinstitusionalkan lewat lembaga legislatif atau referendum dan dipositifkan sebagai hukum yang menjamin kepastian secara adil dan benar.

Sebagai hukum lokal, hukum invensi  yang kemudian ditengarai (menurut doktrinnya) bercirikan sejumlah  karakter antara lain; pertama, hukum itu harus dibentuk oleh lembaga formal agar terakui secara formal yang penegakannya dapat dilakukan oleh aparat-aparat lokal/nasional yang ditegaskan dalam rumusan-rumusan yang tertulis. Kedua, hukum lokal haruslah diterima sebagai pengganti berlakunya semua norma sosial yang lain, yang ada di dalam komunitas.

Dalam statusnya seperti itu, perda akan berlaku sebagai hukum yang dipercaya sebagai hukum masyarakat. Ketiga, hukum lokal adalah hukum hasil kinerja kolektif dari komponen komunitas (Bali) yang oleh sebab itu memiliki ciri karakteristik khusus yang disebut ‘historisitas’. Hukum sebagai produk kesejarahan komunitas (Bali) dari berabad-abad yang lalu, yang oleh sebab itu walau didoktrinkan dan diindoktrinasikan sebagai hukum lokal yang menjamin kepastian dan disifati oleh ciri relativitas, yang oleh sebab itu pula akan mengalami perubahan dari masa ke masa, dan akan berbeda-beda  yang disebabkan dari progresi sejarah yang beragam.

Keempat, sebagai hukum lokal harus dikelola secara eksklusif oleh para profesional dengan keahlian tinggi, sanggup bekerja secara kolektif di bawah kontrol seperangkat norma etik. Keahlian dan etika inilah yang akan menjadikan para ahli hukum itu terpercaya untuk merawat dan menjaga kewibawaan hukum lokal yang berkedudukan supremasi itu dalam menegakkan ketertiban dalam kehidupan.

Baca juga:  Konsep Pendidikan Futuristik

Kelima, awig-awig sebagai hukum masyarakat derajatnya ditingkatkan sebagai hukum lokal yang berskala desa (adat) sebagai instrumen dalam menjaga dan melestarikan nilai-nilai kehidupan komunitas di tingkat desa (adat). Keenam, dalam pengembanan hukum lokal tak pelak lagi memerlukan dukungan dari dunia pendidikan tinggi hukum.

Tak ada hukum lokal modern harus berfungsi melayani kehidupan bernegara dan berbangsa, yang tidak dirawat dan dikelola serta dikontrol perkembangannya oleh para profesional yang memperoleh keahliannya dari lembaga-lembaga pendidikan akademik. Profesionalisme hukum dan pendidikan hukum adalah dua entitas yang saling melengkapi, dan dengan demikian memberikan karakteristik tersendiri kepada hukum lokal yang berakar dan berkarakter khas budaya lokal.

Di daerah-daerah yang dibangun di atas fondasi suatu komunitas yang berbudaya homogen seperti yang terjadi di Bali, Aceh, Papua, dan daerah lain, sebagaimana dikemukakan di atas sebagai upaya untuk membuat standar perilaku yang tunggal lewat kerja pengkodifikasian hukum itu tidaklah terlalu sulit. Indoktrinasinya pun tak dapat dibilang sulit.

Kodifikasi dikerjakan dengan cara mempositifkan norma-norma yang telah berlaku sebagai moral dan tradisi masyarakat ke dalam bentuknya yang formal dan baru sebagai teks-teks perda lokal.

Penulis, Pembelajar di Fakultas Hukum MIH dan Kenotariatan Universitas Warmadewa

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *