Oleh Tenriola Ramizah Ajeng Prasetiya
Serangan tragis yang menewaskan 49 orang di dua masjid di wilayah Christchurch, Selandia Baru pada Jumat (15/3) siang, mengagetkan dunia. Indonesia, salah satu dari 57 negara yang tergabung dalam Organization of Islamic Cooperation (OIC) mengecam tindakan brutal itu. Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Arden menyatakan bahwa apa yang terjadi adalah kekerasan luar biasa dan belum pernah terjadi sebelumnya.
Brenton Tarrant, salah satu pelaku, menyatakan bahwa ia terinspirasi dari Anders Behring Breivik, pembunuh 77 orang di Norwegia. Ia mengaku bahwa ini merupakan balas dendam atas kematian Ebba Arkelund, anak 11 tahun yang terbunuh dalam aksi teror yang dilakukan Rakhmat Akilov pada 2017 di Stockholm. Balas dendam, anti-imigran atau apa pun alibinya, tidak dapat menjadi alasan dimakluminya aksi brutal ini.
Tindakan brutal tanpa rasa getir sedikit pun ini adalah penistaan biadab terhadap kemanusiaan, yang berhasil menghabisi puluhan orang yang sedang beribadah. Tampaknya, gagasan folosofis Emmanuel Levinas yang lahir pada masa Perang Dunia II, bahwa kekerasan akan terbendung ketika manusia memandang manusia lain sebagai enigmanya pun tak berlaku lagi saat kebiadaban menguasai kognisi.
Meski saat ini keempat pelaku telah diringkus, persoalan sosial yang ditimbulkannya masih meradang dan kita dihantarkan pada realitas sosial kronis yang terjadi dalam masyarakat modern ini. Persoalan ini mengingatkan kita dua teori besar dalam ilmu sosial: strukturalisme dan intrepretivisme.
Peristiwa penembakan brutal yang disiarkan live di akun Facebook menunjukkan peran media sosial dalam pembentukan perilaku krimimal. Jaringan pertemanannya yang menyaksikan siaran langsung tersebut, tak bergeming.
Tanggal 16 Maret lalu, Google dan Facebook bersepakat untuk menghapus semua konten siaran langsung serta komentar yang menyatakan dukungan terhadap aksi tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa komunitas online pun telah menjadi agen pengembang kebiadaban. Bahkan, remaja-remaja yang menyaksikan siaran langsung pun bereaksi tegang, seakan bermain game PUBG dan sejenisnya, ujar mereka.
Terverifikasi bahwa kekerasan yang terjadi di Selandia Baru kemarin, adalah kekerasan struktural. Pelaku telah dibentuk sedemikian rupa untuk melakukan kekejaman dan membenci tanpa rasa iba. Ini memperlihatkan bagaimana kekuasaan yang dipegang masyarakat berpengaruh sangat kuat terhadap individu.
Meski dalam perspektif interpretivisme, individu memiliki kekuasaan dan kontrol terhadap masyarakat, fenomena penembakan ini memberikan fakta berbeda. Bahkan, semangat awal media sosial yang bertujuan menolak strukturalisme dengan memberi kebebasan pada individu memiliki kontrol terhadap informasi pilihannya, justru menjadi pedang bermata dua dan menusukkan sisi lainnya dengan kontras dalam kejadian biadab kemarin.
Kontrol sosial seperti agama, keluarga, penegak hukum dan lembaga-lembaga pendidikan tampak tak berfungsi sebagaimana mestinya. Tragedi ini adalah alarm rapuhnya kontrol-kontrol sosial kita, bahkan di salah satu negara paling aman di dunia sekalipun.
Kekerasan struktural tidak dapat dibenahi jika peran institusi sosial tidak dibenahi. Hal ini menjadi penting mengingat masyarakat memiliki kontrol atas perbuatan anggotanya. Nilai yang dipegang masyarakat perlu ditanamkan di setiap institusi kemasyarakatan agar bisa menjadi tolok ukur apakah masyarakat sudah berfungsi dengan baik. Ancaman terbesar masyarakat struktural bisa jadi tidak hanya dirasakan masyarakat tertentu, namun dapat menjadi berita duka bagi seluruh dunia.
Jika di negara maju, hal itu dapat terjadi, lantas bagaimana dengan bangsa kita. Tak kebal dari cengkeraman media sosial dan rapuhnya kontrol sosial dalam masyarakat, Indonesia memiliki ancaman bahaya yang sama. Pembedanya ada di dalam kokohnya kontrol sosial melalui adat dan budaya di Indonesia. Toleransi, gotong royong, mencintai sesama manusia, menyayangi lingkungan mengakar melalui budaya bangsa; sebab memang bangsa kita sangat majemuk.
Selain itu, dengan perbedaan yang ada, terdapat kisah perjuangan bersama untuk meraih status sebagai bangsa merdeka. Berbeda jauh dengan strukturalisme yang mendorong penyerangan di Selandia Baru kemarin, strukturalisme di Indonesia justru mendorong individu untuk senantiasa berperilaku luhur; dan yang tidak luhur akan mendapatkan sanksi sosial.
Inilah modal besar bangsa kita untuk meretas ancaman bahaya di masa depan; pada saat yang sama menjadi modal kehancuran bangsa, ketika adat dan budaya serta keanekaragaman semakin samar dengan datangnya budaya global yang seakan membawa kebebasan namun menyeragamkan segalanya.
Penulis, pelajar Kelas X di SMA Cendekia Harapan