Warga meletakkan bunga di depan Masjid Wellington, Kilbirnie, Wellington, Selandia Baru, Sabtu (16/3). Warga Wellington meletakkan bunga sebagai aksi solidaritas pascapenembakan di dua masjid kota Christchurch pada Jumat (15/3). (BP/ant)

Dunia dihentakkan oleh aksi brutal di dua masjid di wilayah Christchurh, Selandia Baru, Jumat siang pekan lalu. Terhentak, karena Selandia Baru selama ini dikenal sebagai negara yang damai, hampir nihil aksi kekerasan. Apalagi, aksi brutal itu sampai menewaskan 49 orang.

Tanpa bermaksud mengabaikan apalagi menyepelekan apa yang terjadi di Selandia Baru, sebenarnya kekerasan hampir tiap saat terjadi di berbagai belahan bumi. Mulai dari kekerasan dalam rumah tangga, tawuran pelajar atau antargeng, perkelahian akibat rebutan lahan parkir, rebutan penumpang dan lain-lain. Itulah kenyataan sebagai  dampak kerasnya kehidupan sekarang ini.

Tetapi, kekerasan tetaplah kekerasan, sekecil apa pun itu. Kekerasan haruslah dihindarkan, jika manusia memang sebagai makhluk yang beradab, bukan biadab. Ironisnya, di era kesejagatan ini informasi tentang kekerasan sekarang ini begitu cepat menyebar. Ini tidak lepas dari perkembangan media terutama media sosial.

Baca juga:  Demonstran Duduki Gedung Parlemen Selandia Baru

Penyebaran aksi kekerasan dengan berbagai komentar dan tanggapan yang mucul, justru berpotensi memantik kekerasan baru di belahan bumi lain. Alangkah indah dan damainya, jika setiap individu menebar pesan-pesan kedamaian, humanism, dan toleransi di media sosial.

Segala bentuk informasi tentang kekerasan, sebisa mungkin direduksi bila perlu tidak usah lagi disebar disertai berbagai komen menghasut, menghujat, ujaran kebencian dan sejenisnya. Apalagi kemajuan teknologi informasi, mengondisikan setiap orang bisa menjadi wartawan (netizen journalist). Ini tentu sangatah efektif mereduksi aksi kekerasan di berbagai belahan dunia.

Untuk membendung penyebaran ujaran kebencian, provokasi termasuk berita hoax/bohong, pemerintah memang telah membentengi dengan Undang-undang ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik). Bahkan, pihak penyedia layanan informasi dunia Google dan Facebook telah bersepakat untuk menghapus semua konten siaran langsung dan komentar yang menyatakan dukungan terhadap aksi kekerasan utamanya yang terjadi di Selandia Baru ini.

Baca juga:  Mengedukasi Warga Patuh Bayar Pajak

Namun, dalam upaya mencegah dan menekan aksi kekerasan di dunia, hal itu tidaklah efektif. Apalagi jika hanya mengandalkan UU ITE, yang dalam penerapannya menghadapi kendala SDM dan dukungan infrastruktur maupun suprastruktur.

Pencegahan dan upaya menekan aksi kekerasan, bisa dilakukan dengan lebih mengedepankan pendidikan kedamaian. Saat ini, kurikulum pendidikan lebih mengejar prestasi akademik ketimbang kemuliaan budi pekerti, akhlak dan karakter.

Penanaman nilai-nilai kemanusiaan dan kedamaian, harus dilakukan melalui pendekatan moral etika dari hati nurani. Ini menjadi tugas dan tanggung jawab tidak hanya dunia pendidikan (pendidik), tetapi berbagai elemen masyarakat seperti tokoh agama, tokoh masyarakat, para pemimpin dan terutama tiap individu di keluarga.

Baca juga:  Polisi Rekonstruksi Kekerasan Seksual Siswi SMP

Dalam berbagai interaksi sosial, komunikasi, baik di lingkungan keluarga, kelompok-kelompok sosial seperti banjar, desa, dan yang lebih luas lagi, haruslah lebih banyak dikedepankan pesan-pesan moral dan kedamaian. Bukan berbagai provokasi, ujaran kebencian, pendoktrinan fanatisme sempit yang menjadi bibit-bibit berbagai aksi kekerasan di dunia.

Karena fanatisme sempit di satu golongan atau kelompok, pastilah akan memicu dan dibalas hal yang sama di kelompok lainnya. Ini hanya menghasilkan dendam dan menjauhkan kedamaian. Semua aksi kekerasan hanya bisa dihentikan dengan menebar kedamaian, menyebar pesan-pesan damai tanpa batas waktu dan tempat, tanpa batas ras, golongan, suku, agama, dan sejenisnya. Kedamaian bagi umat manusia di dunia.

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *