Mantan Kepala LPD Desa Kapal, terdakwa Drs. I Made Ladra (53), Kamis (28/3) menjalani sidang tuntutan. Kamis malam, terdakwa dituntut pidana penjara selama lima tahun. (BP/asa)

 

DENPASAR, BALIPOST.com – Mantan Kepala LPD Desa Kapal, terdakwa Drs. I Made Ladra (53), Kamis (28/3) malam dituntut pidana penjara selama lima tahun. JPU I Wayan Suardi di hadapan majelis hakim pimpinan Angeliky Handajani Day, didampingi Esthar Oktavi dan Miptahul Halis, juga menuntut terdakwa membayar kerugian keuangan negara sebesar Rp 1.796.916.100. Dan bilamana terdakwa tidak membayar dalam waktu satu bulan setelah kasus ini mempunyai kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita dan dilelang. Bilamana tidak mempunyai harta benda yang cukup, maka diganti dengan pidana penjara selama 2,5 tahun. Masih dalam tuntutan, jaksa juga meminta supaya terdakwa dituntut membayar denda Rp 500 juta, subsider enam bulan kurungan.

Dalam surat tuntutan jaksa dari Kejati Bali itu, juga dipertimbangkan sejumlah hal baik yang memberatkan maupun yang meringankan hukuman terdakwa. Yang memberatkan, perbuatan terdakwa tidak mendukung upaya pemerintah dalam memberantas korupsi. Perbuatan terdakwa merugikan keuangan negara. Sedangkan yang meringankan, perbuatan terdakwa belum pernah dihukum dan bersifat sopan dalam persidangan.
Jaksa Wayan Suardi juga mengatakan, bahwa unsur-unsur dalam Pasal 3 UU No.31 tahun 1999 tentang Tipikor, sebagaimana yang telah diubah dengan UU No.20 tahun 2001, Jo Pasal 55 ayat 1 KUHPidana, Jo Pasal 64 ayat  1 ke 1 sudah terpenuhi. Sehingga hukuman dinilai sudah setimpal.

Baca juga:  BPK Temukan Potensi Kerugian Negara Rp 10,56 Triliun

Sebelumnya,  I Made Ladra (53) diadili kasus dugaan korupsi. JPU Wayan Suardi di hadapan majelis hakim pimpinan Angeliky Handajani Day menguraikan peristiwa hukum, yang menyebabkan kerugian hingga Rp 15,35 miliar.

Awalnya, kata jaksa dalam surat dakwaanya, bahwa LPD Desa Kapal, Badung, mati suri. Sehingga dilakukan verifikasi, hingga dibentuk konsultan publik dan dilakukan audit. Dari sana disimpulkan ada 11 temuan prinsip yang menyebabkan LPD Kapal mati suri. Pertama adanya pemufakatan jahat pengurus LPD Kapal hingga menikmati fasilitas kredit dalam jumlah yang besar. Banyak kredit LPD yang jatuh tempo, namun tidak dilakukan upaya penyelamatan. Adanya rekayasa pemberian kredit (window dressing) kepada mantan kolektor LPD atas nama Ni Luh Rai Kristianti Rp 8,5 miliar dengan bunga 1%. Adanya kredit topengan, atau kredit atas nama (fiktif). Selain itu ada kredit tempilan, pemberikan kredit tanpa proses 5C, adanya pemalsuan dokumen gaji pegawai, adanya aset diambil alih atau digadikan, terjadi potongan uang asuransi, adanya kebijakan yang merugikan LPD, beban kantor dan lainnya, termasuk terdakwa Ladra dengan menggunakan programer atas nama Martinus Baha mengubah data di LPD yang dipimpinya. Tak pelak, sambung jaksa, LPD rugi hingga Rp 15,35 miliar.

Baca juga:  Lima Mantan Kolektor LPD Kapal Ditahan

Namun, sebagaimana dakwaan jaksa, yang harus atau menjadi tanggung jawab terdakwa sebesar Rp 7,18 miliar. Sedangkan yang menjadi tanggung jawab Ni Luh Rai Kristianti terkait dana nasabah yang diambilnya, sebut jaksa, sebesar Rp 5,02 miliar. Dan yang menjadi tanggungan kolektor Ni Kadek Kartaningsih antara lain temuan dana nasabah yang dipakai Luh Rai Kristianti sejumlah Rp 1,82 miliar dan tabungan sukarela nasabah yang ditarik adalah milik I Made Sama sebesar Rp 378 juta dan dikembalikkan Rp 404 juta, namun pengembalian kata jaksa menggunakan tabungan fiktif. “Sehingga total yang menjadi tanggungan Ni Kadek Ratnaningsih sebesar Rp 2,22 miliar,” cetus jaksa.

Baca juga:  Jalur Temukus Longsor, BPBD dan Warga Butuh Waktu Sepekan Bersihkan Material

Selain itu yang menjadi tanggung jawab kolektor Ni Nyoman Sudiasih terkait dana tabungan nasabah sebesar Rp 400 juta. Yang menjadi tanggungan  Wayan Suardani Rp 246,3 juta, dan tanggungan Ni Made Ayu Arsianti sebesar Rp 272,8 juta. (Miasa/Balipost)

 

 

 

 

BAGIKAN

1 KOMENTAR

  1. Benar-benar bobrok pengelolaannya. Namun ini patut menjadi pembelajaran yg sangat baik bagi para pengelola bank khususnya di desa. Di masa lalu, hal seperti ini dibiarkan begitu saja oleh para nasabah dan kerugian yg diderita dianggap “takdir”, karena umumnya “ngekoh meyegan”, apalagi bila pak ketua memiliki anggota keluarga besar yg membela perbuataannya, meski jelas2 perbuatan ini murni kriminal. Namun kini pengelola jahat seperti ini kena batunya dan tentu akan menebus perbuatannya di balik jeruji besi.

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *