Oleh Putu Simpen Arini
Peran serta perempuan dalam pembangunan sangatlah strategis. Presiden pertama Indonesia, Soerkarno, pernah berpesan “Perempuan Indonesia, kewajibanmu telah terang, sekarang ikutlah serta dalam usaha menyelamatkan republik, dan jika republik telah selamat, ikutlah serta mutlak dalam usaha menyusun negara nasional.”
Melalui pesan ini, perempuan Indonesia diharapkan ikut serta mengambil bagian dalam proses pembangunan bangsa. Perempuan memiliki peran yang setara dengan laki-laki. Melalui kesetaraan, perempuan diberikan kesempatan mengembangkan potensi sehingga mampu berkontribusi baik pada perekonomian maupun pembangunan. Pencapaian kesetaraan gender dan pemberdayaan semua perempuan dan anak perempuan merupakan salah satu target dalam SDGs.
Perhatian dunia mengenai kesetaraan gender terlihat dari digunakannya hasil Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) oleh Majelis Umum PBB sejak tahun 1979. Konvensi ini berpedoman pada fakta bahwa meskipun sudah ada berbagai instrumen internasional mengenai hak asasi manusia (HAM) di mana perempuan termasuk dalam subjek yang diatur, namun pada kenyataannya di berbagai belahan dunia, perempuan kerap menjadi warga negara yang terpinggirkan. Bukan hanya tidak mendapatkan hak dan kesempatan yang setara dengan laki-laki namun juga tidak diakui perannya yang sangat sentral di ranah publik.
Salah satu cara untuk memastikan tersalurnya aspirasi perempuan adalah melalui keterwakilan dalam bidang politik. Keterwakilan perempuan dalam parlemen menjadi sangat penting karena dengan ikut dalam parlemen, perempuan memiliki kesempatan ikut menentukan kebijakan politik terutama mengenai prioritas pendanaan yang mendukung berkembangnya organisasi dan kegiatan pemberdayaan perempuan.
Di Indonesia kebijakan khusus bagi perempuan di bidang politik telah diterapkan pasca-Pemilu 1999. Negara menjamin kepentingan perempuan dengan menetapkan kuota sedikitnya harus ada 30 persen perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat dan pada bakal calon anggota lembaga legislatif. Kebijakan tersebut tercantum dalam
Undang-undang nomor 31 tahun 2002 tentang Partai Politik. Angka 30 persen tersebut adalah rekomendasi United Nations Divisions for the Advancement of Women (UN-DAW). Menurut rekomendasi ini, suara dan kepentingan perempuan baru diperhatikan dalam kehidupan publik, apabila peran serta perempuan di parlemen mencapai 30 persen.
Namun, walaupun telah dijamin undang-undang, masalah keterwakilan perempuan dalam politik dewasa ini masih memprihatinkan. Keterwakilan perempuan yang terlibat langsung dalam politik masih jauh dari kata proporsional.
Hal ini cukup miris, karena jika dilihat dari komposisi penduduk Indonesia antara laki-laki dan perempuan, jumlahnya hampir berimbang. Berdasarkan proyeksi penduduk dengan hasil SUPAS 2015 oleh BPS, pada tahun 2019, jumlah penduduk perempuan 132,89 juta jiwa sedangkan penduduk laki-laki 134,03 juta.
Sementara itu, jumlah keterwakilan perempuan dalam legislatif masih sangat minim. Pada tahun 2009, persentase kursi yang diduduki perempuan di DPR 17,86 persen sedangkan pada tahun 2014 turun menjadi 17,32 persen.
Di Provinsi Bali, partisipasi perempuan dalam bidang politik bisa dikatakan berkembang lambat. Partisipasi perempuan dalam parlemen masih jauh di bawah nasional yaitu hanya mencapai 9,09 persen atau sejumlah 5 orang pada tahun 2017. Persentase perempuan Bali yang bergabung dalam parlemen menduduki peringkat ke-32 dari 34 provinsi di Indonesia.
Agaknya sistem patriarki yang kuat di Bali menyebabkan masih rendahnya partisipasi perempuan dalam parlemen. Ideologi patriarki telah membatasi gerak kaum perempuan terutama di ruang publik karena umumnya pengambilan keputusan masih didominasi oleh kaum laki-laki.
Sebuah studi yang dilakukan oleh Sukerti (2016) mengenai pengambilan keputusan dalam adat menyebutkan bahwa sebagai penganut budaya patriaki, ideologi gender belum berimplikasi dalam hukum adat Bali. Faktor-faktor yang menjadi penghambatnya adalah budaya hukum adat patriarki yang masih kuat mengikat kehidupan masyarakat Bali. Budaya ini menciptakan mindset/pola pikir bahwa perempuan selalu mendapat tempat kedua.
Selain itu, kurang seriusnya kaderisasi partai juga menyebabkan sedikitnya kader perempuan Bali yang berkualitas. Dikutip dari mediaindonesia.com, yang terjadi di Indonesia, begitu banyak kader politik dadakan muncul saat proses politik berlangsung.
Munculnya kader dadakan ini untuk memenuhi syarat administratif partai politik bisa ikut dalam pemilu. Kader perempuan yang dipilih umumnya dari kalangan artis yang telah terkenal namun tanpa dibekali kemampuan politik yang mumpuni.
Dalam usaha meraup suara pemilih, kader perempuan Bali memilih memajang baliho-baliho di sepanjang jalan. Namun, baliho-baliho tersebut tidak dilengkapi informasi mengenai visi misi yang mereka tawarkan. Sepak terjang kader perempuan Bali bisa dikatakan masih jauh dari sosialisasi. Padahal, ada berbagai sarana yang bisa dimanfaatkan untuk sosialisasi dalam usaha meraup perolehan suara.
Sebagai contoh, sosialisasi bisa dilaksanakan melalui interaksi langsung dengan warga. Berdasarkan data Bali dalam angka 2018, Bali memiliki lebih dari 3 ribu banjar dinas. Hal ini berarti ada lebih dari 3 ribu kelompok ibu-ibu PKK (Pembinaan Kesejahteraan Keluarga). Sosialisasi visi misi melalui kelompok ini tentu dapat membuat kader perempuan Bali lebih dikenal pribadinya dan visi misinya. Selain itu, para kader perempuan dapat lebih mengetahui masalah riil yang sedang dihadapi masyarakat di lapangan.
Cara lainnya yaitu sosialisasi melalui media sosial. Penyampaian visi misi yang menarik melalui media sosial tentu mampu menarik perhatian masyarakat khususnya para generasi milenial yang merupakan potensi besar dalam perolehan suara pada pemilu tahun ini.
Berdasarkan hal ini, untuk meraup suara dalam pemilu mendatang, para kader perempuan harus lebih proaktif melakukan sosialisasi agar lebih dikenal oleh masyarakat.
Penulis, Statistisi BPS Provinsi Bali