BANGLI, BALIPOST.com – Tradisi nganten bareng (nikah masal) kembali digelar Desa Pakraman Pengotan, Jumat (5/4). Tradisi nganten bareng kali ini diikuti sebanyak 17 pasangan pengantin.

Sesuai adat di desa setempat, tradisi nganten bareng ini merupakan hal yang wajib diikuti oleh pasangan pengantin. Tradisi nganten bareng di Desa Pengotan dilaksanakan di Pura Penataan Agung desa setempat.

Nganten bareng menjadi salah satu tradisi yang masih dilaksanakan dan dilestarikan krama Desa Pengotan sejak ratusan tahun silam. Bendesa Adat Desa Pengotan, Jero Kopok mengatakan dari 17 pasang mempelai yang mengikuti tradisi nganten bareng, 9 pasang mempelai diantaranya merupakan warga asli Desa Pengotan.

Sedangkan 8 pasang mempelai lainnya merupakan warga luar Pengotan yang memperistri wanita dari Desa Pengotan. “Walaupun statusnya akan keluar dari Desa Pengotan, mempelai tersebut tetap mengikuti upacara pernikahan masal ini. Sebab jika tidak mengikuti upacara ini, yang bersangkutan tidak diperbolehkan mengikuti persembahyangan jika di kemudian hari ada upacara pujawali di Pura Bale Agung,” terangnya.

Baca juga:  Bulan Bahasa Bali 2019, Momentum dan Langkah Nyata Pelestarian Bahasa dan Aksara Bali

Dijelaskan Jero Kopok tradisi nganten bareng digelar dua kali dalam setahun yakni pada sasih kapat dan sasih kadasa. Tradisi ini dilaksanakan dengan tujuan untuk meringankan beban krama.

Untuk mengikuti tradisi ini, seseorang yang hendak menikah terlebih dahulu menyampaikan ke prajuru adat di masing-masing banjar. Selanjutnya, prajuru adat dari seluruh banjar di Desa Pakraman Pengotan akan melakukan pertemuan untuk membahas rencana pelaksanaan nganten bareng.

Nganten bareng biasanya dilaksanakan jika jumlah mempelai yang menjadi peserta nganten bareng minimal 10 pasang. Dalam tradisi nganten bareng ini, diisi dengan sejumlah prosesi.

Baca juga:  PDIP akan Usung Jokowi di Pilpres 2019

Diawali dengan sangkep nganten. Dalam sangkep itu, Bendesa Adat menyampaikan identitas mempelai kepada krama Desa Pengotan.

Dilanjutkan kemudian dengan menyembelih satu ekor sapi yang dibeli secara urunan oleh pasangan pengantin. Setelah menyembelih sapi, dilaksanakan prosesi peserah.

Dalam prosesi itu, masing-masing pasangan mempelai yang melaksanakan pernikahan menyerahkan lima kilogram nasi putih kepada peduluan adat. “Nasi ini digunakan sebagai kawas yang selanjutnya dibagi-bagikan kepada 206 krama desa pengarep,” terangnya.

Prosesi kemudian dilanjutkan dengan memanggil mempelai untuk melakukan upacara di madia mandala Pura Agung Desa Pengotan lalu ke jeroan atau halaman utamaning mandala. Di sana, para mempelai duduk di bale nganten secara terpisah untuk makan sirih bersama.

Baca juga:  Tradisi Magoak-goakan di Kintamani, Dulu Libatkan Ribuan Warga Tapi Kini Hanya Segini

Oleh masyarakat setempat, prosesi itu dinamakan petemuan. Maknanya, para mempelai telah telah menempuh hidup baru atau dinaikkan menjadi krama.

Selanjutnya, mempelai mepamit dengan terlebih dahulu melakukan persembahyangan di sanggar agung gelagah. Setelah prosesi itu para pengantin akan menjalani prosesi membrata, yakni tidak diperkenankan melintasi jalan adat selama tiga hari ke depan.

Jika rumah pengantin itu berada di sebelah barat jalan, ia tidak diperkenankan pergi ke rumah yang berada di sebelah timur jalan. Demikian pula sebaliknya. “Setelah tiga hari, barulah dari purusa ke predana membawa tipat bantal sebagai tanda berakhirnya prosesi nikah masal, dan selanjutnya pihak wanita ikut di kediaman suami,” jelas Jero Kopok. (Dayu Swasrina/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *