Mengawal Bali dan peradabannya mungkin akan menjadi tantangan serius jika budaya Bali dan alamnya tak bersahabat dengan dunia pariwisata. Mengapa dikorelasikan dengan dunia pariwisata?
Ini karena asumsi dan realita yang ada saat ini, pariwisata menyumbang hampir 80 persen pendapatan dan pergerakan ekonomi Bali. Makanya, sangat wajar jika pemahaman ini menjadi hal dominan di masyarakat bahwa penopang ekonomi Bali adalah sektor pariwisata.
Realitanya memang seperti itu. Di permukaan, pariwisatalah yang terlihat dominan. Namun, jika kita telusuri lebih dalam maka di sana akan kita temukan budaya, tradisi, dan alam Bali yang menjadi modal utama pergerakan ekonomi Bali. Jika budaya dan alam Bali tak bersahabat dengan dunia pariwisata maka pantas dicatat bahwa pariwisata Bali akan terpuruk.
Fakta ini baru kita lewati bersama ketika Gunung Agung erupsi dan tiga hari bandara ditutup. Gelombang pemutusan hubungan kerja terjadi dan pemulihan sektor pariwisata berlangsung lama. Terlebih kini, Gunung Agung kembali batuk–batuk dan kesannya tetap akan menghantui kita.
Erupsi yang tentatif kemungkinan satu saat akan menjadi ancaman serius bagi pariwisata Bali. Itu artinya, jika pariwisata Bali terancam maka pergerakan ekonomi Bali akan lumpuh. Ini sudah dipahami bersama dan kita sampai saat ini belum memikirkan strategi alternatif.
Untuk itulah, sebagai sebuah kesadaran atas fenomena Gunung Agung yang belakangan terus erupsi, maka struktur ekonomi Bali tidak boleh hanya bergantung sepenuhnya pada industri pariwisata.
Harus ada ekonomi alternatif. Penggerak ekonomi alternatif ini adalah manusia dalam konteks ini tentu pendukung budaya Bali dan pengawal alam Bali. Agar dalam kondisi sulit jika Gunung Agung menjadi ancaman serius sektor pariwisata, maka SDM Bali haruslah tampil profesional, kreatif, dan peka situasi. Membuat SDM profesional jelas butuh investasi, fasilitas, dan dukungan regulasi. Keberpihakan terhadap SDM Bali harus dibangun dengan dedikasi yang jelas dan wajib mendapat dukungan pemerintah daerah.
Pemerintah Provinsi Bali tentu harus melakukan berbagai plan penyelamataan ekonomi Bali jika Gunung Agung meletus. Entah kapan erupsi akan terjadi, namun penyiapan strategi dan solusi tidak boleh lambat.
Sedini mungkin, alternatif penguatan ekonomi Bali harus dibangun. Libatkan semua komponen di Bali untuk mendesain hal ini. Tentu kita punya keyakinan ada sektor lain yang sangat mungkin menjadi solusi, jika satu saat industri pariwisata terupuruk karena erupsi Gunung Agung.
Yang kita pahami, pariwisata sangat rentan dari gangguan bencana alam yang tidak bisa kita prediksi kapan datangnya, seperti bencana gempa bumi, tsunami, puting beliung, maupun erupsi gunung berapi. Manajemen risiko (risk management) sebagaimana tertuang dalam Dimensi Ketiga pada tatanan kehidupan holistik Bali Era Baru, menjadi kata kunci. Krama Bali harus memiliki cukup kesiapan dalam mengantisipasi munculnya permasalahan dan tantangan baru.
Roda perekonomian Bali tidak boleh terhambat oleh munculnya gangguan bencana alam yang tidak dapat kita prediksi datangnya. Harus ada pilar ekonomi lain sebagai katup penyelamat ekonomi Bali.
Sebagaimana Indonesia pernah diselamatkan oleh kehadiran katup ekonomi sektor informal dalam krisis ekonomi 1998 yang melanda segenap korporasi Indonesia. Banyak pengamat ekonomi intenasional saat itu yang memprediksi bahwa Indonesia sulit keluar dari jurang krisis ekonomi, karena hanya melihat Indonesia dari sisi ekonomi korporasi.
Kita harus segera memperkuat sektor ekonomi kreatif sebagai alternatif pilar ekonomi Bali. Keterampilan krama Bali di sektor ini sudah tidak perlu diragukan lagi. Ribuan krama Bali menyandarkan roda ekonomi keluarga mereka di bidang ini.
Hanya, saat ini mereka harus melakukan adaptasi secara cepat dan cerdas atas masifnya pergerakan ekonomi digital yang berlangsung secara global. Menjadi tugas pemerintah sebagai regulator dan fasilitator krama Bali agar sektor ini dapat menjadi pilar ekonomi Bali yang tangguh dalam menjaga keseimbangan ekonomi Bali.