Siswa saat mengikuti USBN pada 2017. (BP/ist)

Pendidikan menjadi barang mahal. Ungkapan itu menjadi pemahaman publik  saat negara ini mengalokasikan anggaran besar untuk sektor pendidikan. Bayangkan, rata–rata 20 persen Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) terserap untuk sektor pembentukan generasi bangsa ini.

Namun, patut disayangkan pula hingga tahun ini dunia pendidikan di negeri ini belum memiliki alur yang jelas. Rujukan pendidikan berupa kurikulum tambal sulam, tak ada yang pasti. Padahal dunia pendidikan di negeri ini telah melahirkan banyak guru besar dan orang pintar.

Terkait dengan besarnya dana untuk sektor pendidikan, ada banyak hal yang bisa dipertanyakan untuk menguji efektivitas penggunaannya. Dengan anggaran besar, sudahkah pendidikan murah dan berkualitas terwujud?  Dengan anggaran besar untuk sertifikasi, adakah korelasinya dengan peningkatan mutu pengajaran yang ditandai dengan kualitas lulusan? Lalu, apakah dunia pendidikan terbebas dari pungli?

Deretan pertanyaan ini tentu akan terjawab jika publik memiliki pengakuan bahwa pendidikan di negeri ini membanggakan. Tetapi faktanya, publik masih meragukan dan mencibir. Buktinya, ketika tahun ajaran berganti, publik berkonotasi bahwa musim pungutan telah tiba. Biasanya saat tahun ajaran berganti, para orangtua murid akan resah. Pungutan sana-sini bagi siswa baru berderet. Angka-angkanya pun tak rasional. Biaya pakaian seragam dikatrol. Biaya sumbangan pendidikan disesuaikan dan ada sumbangan pendidikan yang sifatnya ‘’wajib’’. Dikatakan wajib karena ada kesamaan jumlah sumbangan. Bahkan ada sanksinya bagi yang tak menyumbang. Misalnya rapor ditahan. Ini baru sebagian kecil fakta di dunia pendidikan.

Baca juga:  Saat Diperiksa, Begini Pengakuan Guru Cabul

Fakta lainnya adalah sering bergantinya kurikulum. Buku-buku ajar pun berganti. Ini menjadi lahan bagi para guru untuk mengembangkan ‘’bakat’’ bisnisnya. Oknum guru nakal akan menjadikan hal ini sebagai lahan untuk menjual buku kepada siswanya. Artinya, walaupun ada banyak bantuan kepada siswa, baik itu Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Bantuan Siswa Miskin dan beasiswa, itu tak cukup membuat orangtua murid terbebas dari penyiapan dana cadangan untuk anak-anaknya.

Baca juga:  Revolusi Industri 4.0 dan Kemunculan “Unicorn”

Di lain pihak, sertifikasi guru termasuk Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG) yang kini masih bergulir ternyata tak berkorelasi langsung dengan etos mengajar para guru. Guru nyambi mengajar dan ‘’jualan’’ les bagi anak didiknya masih menjadi ‘’sistem’’ pendidikan nasional. Pungli di dunia pendidikan selama ini jarang yang mengungkap karena orangtua rikuh mempermasalahkannya. Ada nasib anak yang menjadi pertimbangan pungli di dunia pendidikan tak dimasalahkan. Mestinya, bupati, gubernur dan lembaga yang bersentuhan dengan dunia pendidikan memiliki komitmen yang jelas dalam mengevaluasi kinerja para guru. Lakukan tindakan jika guru atas nama lembaga sekolah tetap membidik siswanya sebagai objek untuk mengeruk keuntungan.

Pemerintah harus memiliki tolok ukur yang jelas bagi guru-guru yang tersertifikasi. Jangan hanya mengukur mereka dari jumlah jam mereka mengajar, melainkan dari kecakapan profesi guru dan etos kerjanya dalam membangun dunia pendidikan. Cobalah evaluasi, sampai saat ini apakah dunia pendidikan ini sudah lebih berkualitas dengan banyaknya guru yang sudah bersertifikasi. Pemerintah harus mengingatkan guru bahwa sertifikasi atau PLPG bukan hanya untuk meningkatkan pendapatan, tetapi ada tanggung jawab moral yang menyertainya.

Baca juga:  Harmoni dalam Keragaman Mengawal Pancasila

Tantangan lain dunia pendidikan saat ini, selain terkait dana adalah adanya stigma bahwa dunia pendidikan kini juga menjadi kekuatan politis. Banyaknya guru dan aparatur yang terkait dengan dunia pendidikan membuat mereka jadi sasaran strategis untuk menjadi penggerak dukungan politik.

Itulah makanya seringkali birokrat dan politisi sangat jarang melakukan koreksi terhadap etos kerja guru dalam membangun kualitas pendidikan. Walaupun ada banyak komponen yang memengaruhi mutu pendidikan, namun guru yang berkualitas dan memahami hakikat pendidikan tetap menjadi faktor utama penentu keberhasilan pendidikan. Untuk itu, haruslah ada tolok ukur yang jelas dalam menilai etos kerja guru dalam mengelola pendidikan nasional.

BAGIKAN

1 KOMENTAR

  1. Pendidikan berkualitas menurut saya bergantung pada etos dan rasa tanggungjawab yang tinggi pengajar terhadap peserta didik bukan pada penghasilan pengajar, meski itu tetap harus di tingkatkan.

    Ini di buktikan dengan kualitas pendidikan di india yang tinggi dengan keterbatasan yang ada, jika kita hanya berfokus pada peningkatan penghasilan sampai kapan pun tidak akan pernah puas. Apalagi jika membandingkan dengan negara maju tanpa mempertimbangkan biaya hidup dan pajak yang tinggi

    Hal penting yang perlu dilakukan agar pendidikan di indonesia berkualitas adalah perbaikan metode pembelajaran dosen/guru menjadi pembelajaran interaktif. Mengarahkan pengajar untuk bisa menciptakan Kelas interaktif:

    1. Pengajar menjelaskan materi ajar secara jelas
    2. Memberikan tugas secara kelompok untuk mencari contoh kasus dari materi yang di ajarkan
    3. Diskusikan hasil presentasi contoh kasus tsb, tetap jaga diskusi agar tidak keluar jalur yang akan membuang waktu tidak berguna
    4. Pasif class yang sudah membudaya sejak sd – sma, membuat besar kemungkinan peserta didik cendrung diam saat di tanya. Maka pengajarlah yang harus aktif bertanya saat interaktif kelas mulai menurun.
    5. Jangan bertanya hanya pada beberapa peserta didik tapi harus merata agar pemahaman materi di pahami oleh semua

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *