Oleh Ngurah Sahadewa
Ketika orang mendengar kata Pulau Bali maka sudah terbayang akan maraknya pertunjukan budaya yang kental dengan berbagai nuansa dan filosofinya. Akan tetapi, jika melihat perkembangan politik nasional dengan ingar-bingar pelaksanaan Pemilu 2019 maka Bali tidak luput daripadanya.
Bali juga menjadi salah satu sumber kajian politik nasional mengingat keunikan dan kekhasan masyarakat Bali, di samping jumlah penduduknya juga tidak sedikit sekalipun dalam lingkupan pulau yang luasnya tidaklah terlampau besar kalau tidak dikatakan sebagai pulau kecil.
Di saat musim pemilu seperti sekarang ini, tampak bahwa Bali juga menjadi salah satu sasaran diselenggarakannya kontestasi politik seperti kampanye capres dan tentu juga para caleg. Namun, satu hal yang tidak dapat dihindari dari kontestasi ini adalah bagaimana para kontestan itu dihadapkan pada sebuah realitas yakni Bali sebagai wilayah budaya yang kental dengan penerapan budaya itu di dalam kehidupan sehari-hari, bahkan terbalut di dalam kehidupan keagamaan, khususnya dalam konteks keagamaan yang berbasis pada sanatanadharma.
Orang Bali, sekiranya bisa disebut demikian, memiliki suatu identitas yang unik dengan menyatakan dirinya sebagai orang yang tidak melepaskan diri dari tradisi lokal ataupun kebijaksanaan lokal yang telah diwariskan secara turun-temurun. Hal ini tentu saja menjadi salah satu sumber penting di dalam membaca alam pikiran orang Bali yang senantiasa tidak dapat dilepaskan dari tradisi itu, termasuk di dalamnya adalah memberikan penghormatan yang sedemikian tinggi terhadap leluhur.
Saya di sini tidak bermaksud untuk membeberkan tentang budaya Bali secara detail atau rinci, akan tetapi bermaksud untuk melihat bagaimana antara budaya dan budaya politik itu terjalin suatu lingkaran hubungan yang bersifat abstrak atau tidak terlihat secara kasatmata namun sebenarnya memiliki suatu garis logika yang mendasar memengaruhi bagaimana orang Bali berpolitik ataupun lebih ringkasnya adalah bagaimana orang Bali menentukan pilihan politiknya. Ketika orang hendak memilih maka sepertinya tidak terlihat bahwa bagaimana sebenarnya budaya yang menjadi kebiasaan masyarakat akan memengaruhi budaya politik.
Hal ini sekiranya relevan dengan konteks budaya politik lokal Bali namun memiliki relasi terhadap penentuan pilihan secara nasional. Bali sebagai wilayah yang pada umumnya menerapkan budaya lokal dalam kehidupan masyarakatnya, tampaknya juga akan menentukan pilihannya terkait dengan kemungkinan-kemungkinan terbaik maupun terburuk yang sekiranya dapat memengaruhi eksistensi budayanya.
Inilah yang kemudian dapat dikenal dengan sebutan floating mass based on culture. Jadi, masyarakat yang menimbang-nimbang beberapa aspek politik yang sekiranya mempunyai pengaruh atas eksis atau tidaknya budaya yang ada di dalam masyarakatnya. Inilah yang kemudian menjadi pertimbangan penting bagi masyarakat tersebut, termasuk juga di dalam mempertimbangkan pilihan politiknya.
Pada saat seseorang – dalam konteks ini adalah orang Bali yang memiliki kesadaran budaya yang tinggi – akan mempertimbangkan segala sesuatunya yang sekiranya memiliki relevansi tinggi bagi kelangsungan budayanya. Jika tidak maka patut diduga bahwa orang Bali telah mulai terkikis dari arus budaya yang ada ataupun kemungkinan telah memiliki suatu pilihan baru di dalam menata kebudayaannya untuk masa yang akan datang.
Singkat kata, tidaklah mungkin budaya yang saat ini masih terselenggara akan dapat bertahan jika tidak ada suatu kesadaran budaya yang tinggi, termasuk aplikasinya dalam penentuan budaya politik yang dimanifestasikan secara riil atau nyata dalam tindakan politik yaitu misalnya mencoblos di dalam pemilu termasuk pula dalam Pemilu 2019 ini.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa budaya yang diterapkan masyarakat Bali, untuk sekarang ini dan mungkin juga di masa yang akan datang terkait langsung ataupun tidak langsung dengan pilihan-pilihan politik yang tersedia saat ini. Oleh karena itulah, diperlukan suatu pemikiran kritis bagi orang Bali terutama yang bertindak sebagai pelaku budayanya (kebanyakan orang Bali umumnya juga sebagai pelaku budayanya) itu untuk dapat melakukan pertimbangan yang matang dalam berpartisipasi terkait dengan masa depan budaya Bali.
Budaya yang dicerminkan dalam masyarakat selayaknya menjadi pegangan bagi masyarakat itu di dalam mengembangkan budaya politiknya. Asalkan budaya itu pun tetap dalam koridor untuk memberikan kesejahteraan dan kebahagiaan sekala dan niskala, terutama dalam kaitan dengan bakti ke hadapan Tuhan. Dengan bakti itu semoga Bali diberikan pencerahan politik di dalam turut berpartisipasi menentukan masa depan Bali dan juga Indonesia.
Penulis, ahli Filsafat UGM