DENPASAR, BALIPOST.com – Demokrasi elektoral yang ideal mensyaratkan pemilih yang cerdas untuk menghasilkan wakil rakyat berkualitas. Sayangnya, sistem demokrasi elektoral juga membuka ruang menguatnya berbagai potensi yang mendangkalkan bahkan meracuni kecerdasan memilih.

Paket-paket bantuan sosial (bansos) yang dimediasi orang-orang politik yang berkontestasi dalam pemilu mendangkalkan kecerdasan memilih. Terlebih di Bali, yang sistem kekerabatannya masih cukup kuat mengikat dalam klan, dadia, banjar dan desa adat, maka bansos adalah racun yang merusak kecerdasan pemilih.

Ancaman besar bagi masa depan demokrasi dari pemberian bansos terungkap dalam diskusi politik yang digelar Bali Post di Denpasar, Jumat (12/4). Salah satu caleg DPR RI dari PDI Perjuangan dapil Bali, I Gusti Agung Putri Astrid yang telah menjelajah Bali dan bertemu dengan konstituen selama kampanye menangkap adanya potensi-potensi kecerdasan krama Bali dalam soal politik. “Saya telah berkeliling Bali nyegara gunung. Memang ada perbedaan antara masyarakat di pedesaan dengan di kota. Namun saya menilai masyarakat kini cukup cerdas dalam pilihan politik,” katanya.

Gung Astrid, demikian tokoh wanita Bali ini biasa dipanggil, mencontohkan bagaimana masyarakat di sekitar Danau Batur yang ditemuinya, menyadari bahwa wakil rakyat Bali di DPR RI berperan besar dalam penyelamatan lingkungan. “Dalam diskusi, warga Batur menyampaikan penanggulangan meluapnya air Danau Batur, tidak hanya bisa diselesaikan oleh pemerintahan di Bali, melainkan juga pemerintah pusat. Mereka lalu meminta wakil rakyat Bali di DPR RI harus lebih banyak berbuat,” katanya.

Baca juga:  KPU Gianyar Tetapkan 370.030 Pemilih

Kesadaran dan kecerdasan politik krama Bali ini sayangnya banyak dirusak oleh sikap-sikap pragmatis dari orang-orang politik yang berkontestasi dalam pemilu dengan pemberian bansos. “Pemberian bansos saya akui justru mendangkalkan kecerdasan memilih masyarakat Bali,” kata Gung Astrid.

Akibatnya pragmatisme itu lalu menular kepada krama Bali yang dalam masa-masa kampanye seperti saat ini tidak segan-segan mensyaratkan bansos sebagai pertimbangan penting memilih caleg.
“Bansos itu tidak hanya mendangkalkan tetapi menurut saya sudah meracuni kecerdasan memilih krama Bali, “ kata Dr. I Wayan Jondra, Pendiri Komite Demokrasi (KoDe) Bali, sebuah lembaga yang memiliki perhatian soal demokrasi.

Krama Bali menjadi kehilangan kemampuan melihat dengan jernih kualitas dan kemampuan caleg. Pilihannya kemudian tunduk pada kehendak bersama sesuai pihak yang memberikan bansos kepada dadia, banjar dan desa adat.

Baca juga:  Perjuangkan Aspirasi Krama Bali

Pemberian bansos melalui orang-orang politik baik yang sudah duduk di kursi legislatif maupun yang akan berkontestasi dalam pemilu, kata Jondra adalah bentuk perampokan tugas eksekutif. “Ini tugas eksekutif dirampok oleh orang-orang legislatif. Untuk itu saya menilai seharusnya pemberian bansos melalui wakil rakyat di legislatif harus benar-benar distop,” tegas Jondra.

Berbahayanya pemberian bansos yang berbau politik bagi masa depan demokrasi di Bali juga disepakati I Wayan Juana, tokoh yang sudah cukup lama berkecimpung di lembaga pengawas pemilu. “Paket-paket bansos yang dimediasi orang-orang politik berdampak hilangnya kecerdasan memilih,”.katanya.

Dampak negatif bansos terbesar mungkin dialami masyarakat di pedesaan yang homogen. Sementara masyarakat di perkotaan dengan heterogenitasnya, kata Juana mungkin bisa menjaga kecerdasan memilih.

Fenomena bansos berbau politik masa-masa pemilu menurut I Nyoman Mardika aktivis sejumlah LSM adalah hal yang logis ditengah politik yang makin pragmatis. “Yang penting pemilih harus mampu menyeimbangkan antara logika dan logistik. Bansos itu logistik yang diakui atau tidak memang diperlukan oleh masyarakat dan memberi manfaat. Namun warga juga harus menggunakan logika untuk menelaah maksud pemberian bansos. Jadi harus seimbang antara logika dan logistik,” kata Mardika.

Baca juga:  Gubernur Koster Hormati Pergerakan Mahasiswa

Sayangnya penggunaan logika warga tidak berjalan dengan baik, lanjut Mardika karena pendidikan politik yang masih lemah. Partai politik, pihak yang harusnya bertanggungjawab soal pendidikan politik kepada warga belum melakukannya dengan baik.

Ideologi partai menjadi tidak tersampaikan dengan baik kepada warga masyarakat. Padahal ideologi menjadi basis dari kecerdasan memilih warga. “Patut dicurigai, keengganan partai politik melakukan pendidikan politik karena tidak ingin warga masyarakat sebagai pemilih menjadi cerdas. Bukankah pemilih yang tidak cerdas akan dengan mudah untuk diarahkan,” kata Jondra.

Pemilih yang kecerdasannya telah teracuni, suaranya dapat dengan mudah “dibeli.” Wakil rakyat yang terpilihpun tidak berkualitas.

Kecerdasan memilih krama Bali, menurut narasumber yang hadir dalam diskusi Jumat, menjadi dasar penentuan pilihan wakil rakyat dalam pemilu 17 April nanti. Krama Bali harus mampu menilai wakil rakyat yang benar-benar mampu nindihin Bali, menjaga taksu Bali. “Janganlah memilih wakil rakyat hanya berdasarkan bansos yang diberikan. Gunakanlah logika,” tegas Mardika. (Winata/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *